Pada akhir abad ke-18, Prancis berperang habis-habisan melawan koalisi negara adidaya Eropa lainnya, di antaranya Kekaisaran Rusia dan Inggris yang bersekutu. Namun, Kaisar Rusia Pavel I sangat kecewa dengan kampanye militer yang sedang berlangsung karena Inggris hanya memanfaatkan Rusia untuk mencapai tujuannya sendiri, sedangkan tentara Rusia menumpahkan darah mereka di medan perang.
Pada 1800, Pavel I secara radikal mengubah arah kebijakan luar negeri Rusia dan menyeberang menjadi sekutu Prancis dan mempersiapkan perang melawan Inggris. Idenya adalah untuk menyerang sumber utama kemakmuran “kerajaan matahari tak pernah terbenam”, yaitu India.
Menurut rencana yang dibuat oleh Napoleon (Konsul Pertama Perancis), pasukan gabungan Rusia-Prancis yang berkekuatan 70.000 tentara akan mencapai Iran dari Rusia selatan melintasi Laut Kaspia, dan kemudian berbaris menuju India. Selain itu, pasukan besar Don Cossack juga akan berpartisipasi.
Kedua sekutu mengharapkan dukungan besar-besaran dari Pashtun, Balochi, dan suku-suku pribumi lainnya yang ditindas Inggris. Sebagai hasil dari kampanye itu, India utara akan jatuh di bawah kekuasaan Rusia, sementara Prancis akan mendapatkan bagian selatan.
Pada 28 Februari, pasukan Cossack yang berkekuatan 22.500 orang mulai bergerak menuju perbatasan selatan Rusia. Namun, 11 hari kemudian Kaisar Pavel I dibunuh oleh sekelompok bangsawan dan perwira, dengan dukungan rahasia dari Inggris. Pasukan Cossack segera diperintahkan kembali, dan rencana itu tidak pernah terwujud.
Pada tahun 1830-an, Kekaisaran Rusia beberapa kali berperang melawan suku-suku Kaukasus Utara, yang tidak senang dengan aneksasi kekaisaran atas wilayah tersebut. Para pemberontak menerima dukungan luas dari Inggris dan emigran Polandia.
Pada 1836, sebuah kapal patroli Rusia menahan kapal kecil Inggris Vixen yang penuh amunisi untuk para pemberontak di dekat pelabuhan Sujuk-Qale (Novorossiysk) di Laut Hitam. Inggris telah menurunkan delapan senjata, bubuk mesiu 28.800 pon, dan banyak senjata lainnya.
Penangkapan Vixen secara khusus direncanakan oleh diplomat Inggris di Konstantinopel dan emigran Polandia untuk memancing ketegangan antara kedua kekaisaran. Kapal itu ditangkap dan awaknya, dipimpin oleh Kapten (dan agen Inggris) James Stanislaus Bell, diusir ke Konstantinopel.
Para provokator mencapai tujuan mereka. Karena marah, London mulai bersiap untuk perang. Namun, Inggris tidak dapat menemukan sekutu di benua itu untuk melawan Rusia dan konflik itu segera dilupakan.
Selama perang Rusia-Turki (1877 – 1878), pasukan Rusia sangat sukses sehingga setelah beberapa kemenangan yang memukau pada akhir 1877, ia membuka rute langsung ke jantung Kesultanan Utsmaniyah, Konstantinopel.
Namun, jatuhnya ibu kota Utsmaniyah bukan bagian dari rencana Inggris. Pada 1 Februari, armada Inggris, yang dipimpin Laksamana Geoffrey Hornby, memasuki Dardanelles, dan kredit perang sebesar £6.000.000 diminta oleh parlemen. Inggris sedang mempersiapkan perang.
Tentara Rusia dapat dengan mudah merebut Konstantinopel, tetapi Kaisar Aleksandr II menentang godaan itu. “Konstantinopel adalah perang baru,” katanya. Lelah, Rusia tidak siap untuk konflik besar baru, dan perjanjian damai dengan Utsmaniyah dibuat.
Pertandingan Hebat antara Kekaisaran Rusia dan Kerajaan Inggris untuk dominasi geopolitik di Asia Tengah berlangsung tanpa bentrokan besar antara kedua negara adidaya. Namun, insiden Panjdeh menempatkan mereka di ambang peperangan terbuka.
Pada 1885, pasukan Rusia memasuki wilayah permukiman Panjdeh di Keemiratan Afganistan, yang saat itu berada di bawah perlindungan Inggris. Inggris sangat khawatir dengan kemajuan Rusia ke zona kepentingannya, menginspirasi emir Afganistan untuk mengusir Rusia.
Pertempuran berakhir dengan kemenangan Rusia yang menakjubkan. Inggris siap untuk meluncurkan perang sendiri, tetapi diplomat Rusia meyakinkan bahwa Kekaisaran Rusia akan menghentikan ekspansi lebih jauh ke wilayah tersebut.
Perang yang ditakdirkan antara Rusia melawan Jepang bisa menjadi lebih buruk, karena Inggris siap untuk terlibat di pihak Jepang. Itu terjadi karena ketika armada angkatan laut Rusia meninggalkan Laut Baltik menuju Timur Jauh, mereka hampir memicu perang dengan Inggris di sepanjang jalan.
Tidak jauh dari pantai Inggris, kapal perang Rusia menembaki kapal pukat ikan setempat, mengira mereka adalah armada Jepang di malam berkabut. Akibatnya, beberapa nelayan tewas dan satu pukat ditenggelamkan.
Inggris yang marah menyebut Rusia sebagai “armada orang gila” dan mulai bersiap angkat senjata. Untungnya, kompensasi Rusia untuk para nelayan menyelesaikan insiden dengan damai.
Di tengah Perang Rusia-Jepang, kapal-kapal Rusia berlayar melewati Hindia Belanda (kini Indonesia) dan berniat untuk berhenti di Sabang untuk mengisi bahan bakar. Akibatnya, Hindia Belanda nyaris terseret dalam konflik Rusia-Jepang.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda