Tentara Jepang berparade di Seoul, Korea, pada masa penjajahan di Korea.
AFPOrang-orang sering menganggap bahwa setelah Perang Rusia-Jepang tahun 1904-1905, Rusia akan mendukung perjuangan kemerdekaan Korea. Memang kenyataannya seperti itu, tapi situasi yang terjadi sebenarnya jauh lebih rumit.
Sejak akhir Perang Rusia-Jepang, Kementerian Luar Negeri Rusia didominasi oleh pendukung perdamaian negaranya dengan Jepang. Orang-orang ini (di antaranya Menlu Alexander Izvolsky dan penerusnya Sergei Sazonov) berusaha menerima kenyataan bahwa Jepanglah yang menguasai Asia Timur Laut dan mereka tidak mau Rusia terjebak dalam kompetisi militer yang merugikan perekonomian dengan ‘Negeri Matahari Terbit’. Mereka sadar bahwa Rusia tidak perlu balas dendam, dan percaya bahwa kepentingan jangka panjang Rusia akan lebih terlaksana apa bila ada hubungan yang damai dengan Jepang. Sepertinya, mereka benar.
Oleh karena itu, banyak diplomat Rusia yang percaya bahwa Rusia tidak boleh mendanai atau pun mendukung perlawanan Korea terhadap aneksasi bangsanya. Para diplomat beralasan bahwa perlawanan tersebut memiliki kemungkinan yang kecil untuk bisa sukses, selain itu dukungan terhadap Korea akan berujung pada ketegangan dan perselisihan tidak perlu dengan Jepang. Mereka juga tidak melihat imperialisme sebagai bentuk kekuatan yang jahat.
Tidak semua orang setuju dengan posisi itu. Militer Rusia, yang baru selesai berperang pada 1905, punya sikap lebih berani. Sebagai contoh, pada 1910, Vladimir Sukhomlinov yang kala itu menjabat sebagai Menteri Perang, dalam surat rahasianya kepada Perdana Menteri Rusia menyarankan bahwa Rusia harus secara diam-diam mendukung gerilya Korea dan mensubsidi perjuangan bersenjata untuk independensi mereka. Namun demikian, ide tersebut tidak meraih dukungan di luar lingkungan militer dan ditolak mentah-mentah karena dianggap nekat dan tidak perlu.
Meskipun begitu, bukan berarti semua orang Rusia seperti yang diharapkan oleh Menlu Izvolsky dan orang-orangnya. Otoritas Rusia di Primorye bersedia untuk memberi suaka kepada kelompok-kelompok gerilya Korea, yang setelah 1910 sering menyeberang ke wilayah Rusia. Dalam banyak kasus, otoritas lokal tidak memedulikan omongan-omongan orang dan membiarkan para kelompok gerilya Korea tersebut berlatih militer dan aktivitas lainnya di wilayah Rusia. Tentu saja, mereka juga tidak masalah dengan berkembangnya kelompok perlawanan Korea di Rusia.
Utusan negara Korea di Rusia kala itu, Yi Bom-chin, diizinkan untuk tinggal di Sankt Petersburg, di mana ia menerima tunjangan 100 rubel dari pemerintah Rusia. Jumlah ini tergolong besar untuk kelas menengah Rusia (mirip gaji guru sekolah yang terpandang atau dokter di pedesaan) — tidak cukup untuk membiayai aktivitas politik yang signifikan, tapi cukup untuk membiayai kehidupan sehari-harinya dengan mudah.
Pada bulan Januari 1911, ketika Yi Bom-chin bunuh diri sebagai simbol protes terhadap pengambil alihan Korea oleh Jepang, pemerintah Rusia memutuskan untuk membayar pemakamannya dan juga memberikan dukungan materi kepada keluarganya (anak cucunya masih hidup di Rusia sekarang). Meskipun keputusannya untuk bunuh diri aneh menurut standar Kristen, Yi Bom-chin tetap dibahas di media-media Rusia yang menganggapnya “pahlawan yang tumbang”.
Di saat yang bersamaan, Kota Korea di Vladivostok menjadi pusat pergerakan dan perlawanan anti-Jepang. Komandan-komandan gerilya Korea saat itu diasingkan dari negaranya dan menghabiskan banyak waktu di Vladivostok, sambil memimpikan pemberontakan mereka dan bekerja keras untuk mempersiapkan pasukannya bertempur di masa mendatang.
Pendudukan Jepang di Korea baru berakhir setelah Jepang kalah di Perang Dunia II.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda