Gereja Ortodoks Rusia di Seoul secara resmi didirikan pada 1897. Namun setelah Revolusi Oktober 1917, mereka kehilangan subsidi pemerintah dan berada dalam situasi genting. Posisi resmi Gereja Ortodoks Rusia pada 1917 – 1945 terbilang tak jelas.
Mereka bertahan sebagian besar dengan menyewakan properti, tapi kadang juga dibantu oleh Gereja Ortodoks Jepang. Gereja tersebut secara efektif merupakan bawahan Gereja Ortodoks Jepang, tapi memiliki otonomi operasional secara signifikan.
Oleh karena itu, sejarawan gereja kini kerap menyebut gereja ini secara de jure tetap menjadi bagian dari Patriark Moskow sepanjang masa penjajahan.
Namun, patut diingat bahwa klaim ini berhubungan dengan seluk-beluk politik gereja saat ini (dan artikel ini tak memiliki ruang untuk membahas seluruhnya).
Merah dan Putih
Pemerintah kolonial menoleransi kehadiran Gereja Ortodoks karena mereka melihat imamah antikomunis Rusia sebagai sekutu politik yang berguna, bahkan sekutu yang sangat kuat dalam persaingan melawan ‘Moskow Merah’ di Tokyo.
Meski demikian, pemerintah kolonial menaruh perasaan curiga terhadap penginjilan Kristen.
Oleh karena itu, sebagian besar kegiatan gereja terkonsentrasi pada komunitas Rusia di Seoul. Komunitas ini cukup besar karena pada awal 1920-an banyak pendukung perlawanan antikomunis yang kalah pindah ke Korea. Sebagian besar dari mereka segera pergi, tapi sejak akhir 1920-an hingga 1945, Korea adalah rumah bagi ratusan orang Rusia.
Pada 1925, Jepang menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Soviet dan akibatnya sebuah konsulat Soviet dibuka di Seoul. Bisa ditebak, hubungan antara gereja dan konsulat secara terang-terangan bermusuhan sekalipun kedua institusi ini berada berdekatan.
Untungnya, tak pernah ada konfrontasi fisik, terutama di kalangan anak-anak ‘Merah’ dan ‘Putih’.
Aktivitas Penginjil
Terlepas dari ketidaksetujuan kolonial Jepang atas penginjilan Kristen, gereja tersebut tetap melanjutkan kegiatan ini secara kecil-kecilan.
Pada akhir 1930, sebanyak seribu orang Korea pindah agama menjadi Ortodoks, dan beberapa ratus lainnya memeluk Ortodoks di tahun 1930-an.
Dengan dimulainya Perang Dunia II, pihak berwenang Jepang menjadi sangat curiga. Para pastor dilarang pergi ke pedesaan untuk bertemu dengan jemaat mereka, sementara kontak umum dengan warga Korea tak dianjurkan.
Meskipun demikian, kekristenan Ortodoks ditoleransi hingga batas tertentu. Tak seperti rekan-rekan Barat mereka, pastor Ortodoks tidak diusir dari negara itu pada 1941.
Setelah pembebasan Korea pada 1945, Patriark Moskow secara singkat menetapkan kembali kendali atas misi tersebut. Pada saat itu, pemerintah Soviet telah secara signifikan melunakkan sikap ateistik terhadap gereja tersebut, bahkan mulai melihatnya sebagai sekutu yang sedikit berguna, yang otoritasnya dapat digunakan untuk mobilisasi politik nasionalis.
Namun, komunitas kecil Ortodoks Korea tak lama mendapati diri mereka terseret ke dalam kontroversi Perang Dingin.
And quiet flows the Han adalah sebuah blog mengenai interaksi historis dan kontemporer antara orang Rusia dan orang Korea. Secara umum, tapi tak selalu, penulis menghindari penulisan isu politik, dan tema utamanya adalah kehidupan sehari-hari, budaya dan kehidupan individu. Dalam blog ini, Dr. Andrei Lankov mengeksplorasi bagaimana budaya Rusia hadir di Korea. Ia membahas migrasi, pernikahan antarbudaya hingga masakan.
Dr. Andrei Lankov, lahir 1963, merupakan sejarawan dengan spesialisasi Korea. Ia juga dikenal akan tulisan jurnalistiknya mengenai sejarah Korea. Ia telah menerbitkan sejumlah buku (empat di antaranya dalam bahasa Inggris) mengenai sejarah Korea. Setelah mengajar sejarah Korea di Universitas Nasional Australia, ia kini mengajar di Universitas Kookmin di Seoul.
Tahukah Anda bahwa stasiun metro di Pyongyang terlihat mirip dengan stasiun metro di Moskow? Lihatlah perbandingannya pada artikel berikut.