Tiongkok akhirnya menghapus seluruh pembatasan impor kedelai dari Rusia. Menyambut gembira, Kremlin menganggap keputusan tersebut sebagai “terobosan besar”. Apalagi, Beijing telah lama membatasi produk-produk pertanian Rusia.
Media kemudian buru-buru mengaitkan keputusan ini dengan kebuntuan perundingan perdagangan antara Tiongkok dan AS. Padahal, Negeri Paman Sam merupakan salah satu pemasok utama kedelai ke Tiongkok selama beberapa tahun terakhir (Brasil adalah pengekspor utama kedelai ke Tiongkok dengan nilai perdagangan mencapai $28,8 miliar). Menurut Pusat Perdagangan Internasional (ITC), jumlah perdagangan kedelai antara Tiongkok dan AS mencapai $16,3 miliar pada 2014. Tahun lalu, angka tersebut terjun bebas hingga $7 miliar. Namun, itu masih jauh lebih tinggi daripada Rusia. Karena pembatasan impor, nilai pasokan kedelai Rusia ke Tiongkok hanya mencapai $ 257,4 juta pada 2018.
Kini, batasan tersebut telah dicabut. Lantas, tepatkah jika peluang baru yang terbuka lebar ini dikaitkan dengan perang dagang AS-Tiongkok? Jika begitu, bisakah Rusia mengambil keuntungan dari kebuntuan perundingan perdagangan itu?
Upaya Meningkatkan Hubungan Bilateral
Orang-orang mungkin berpikir bahwa kebuntuan perundingan perdagangan antara Tiongkok dan AS membuka peluang baru bagi para eksportir Rusia, misalnya, dalam produksi daging babi. Namun pada praktiknya, permintaan pasar Tiongkok sangat tinggi. Saking tingginya, kalaupun seluruh sektor produksi daging babi Rusia semata-mata ditujukan untuk memenuhi permintaan Tiongkok, Rusia tak akan mampu, kata Oleg Remyga, Kepala Unit Tiongkok di Sekolah Bisnis Skolkovo.
“Situasi ini kurang lebih mirip dengan ekspor kedelai. Berkat kebijakan Beijing, Ekspor produk pertanian dari Rusia ke Tiongkok memang meningkat, tetapi proses ini dimulai jauh sebelum perang dagang AS-Tiongkok,” katanya menjelaskan. Remyga menambahkan, peningkatan itu lebih merupakan dampak dari upaya yang dilakukan Rusia dan Tiongkok untuk meningkatkan hubungan bilateral.
Pemerintah Rusia telah berulang kali menekankan bahwa perang dagang antara Tiongkok dan AS tidak menguntungkan perekonomian Rusia. “Tahun lalu, perdagangan kami dengan Tiongkok mencapai $108 miliar dan kami ingin meningkatkan angka ini hingga $200 miliar, dan sama sekali tak ada hubungannya dengan segala jenis pembatasan dan perang dagang,” kata Menteri Keuangan Rusia Anton Siluanov pada Juni lalu. “Rusia tetap perlu mempromosikan produk-produknya, terlepas ada perang dagang atau tidak.”
Para pakar Tiongkok ternyata sependapat. Tiongkok dan Rusia sama-sama giat meningkatkan kerja sama bilateral karena dirasa bermanfaat, bukan karena ada perselisihan dengan negara lain, kata Li Yonghui, Wakil Direktur di Institut Studi Rusia, Eropa Timur, dan Asia Tengah, Akademi Ilmu Sosial Tiongkok.
Lebih Banyak Peluang atau Masalah?
Pada saat yang sama, sikap AS yang tidak menguntungkan terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok, seperti Huawei, tak serta-merta mendorong mereka lebih aktif di pasar Rusia. “Huawei atau Xiaomi, misalnya, sudah cukup lama masuk pasar Rusia dan, berkat strategi pemasaran yang tepat dan pengembangan yang adaptif, Huawei adalah produsen smartphone teratas di Rusia,” kata Remyga. Sebagaimana yang ia jelaskan, faktor-faktor ekonomi seperti harga yang bersaing dan kualitaslah yang terutama membuat merek ponsel itu sukses di pasar Rusia, bukan perang dagang antara Tiongkok dan AS.
Selain itu, ia percaya bahwa kebuntuan perundingan perdagangan antara kedua negara justru mungkin menghambat aktivitas Huawei di Rusia. “Google memutuskan untuk tidak memasang sistem operasi Android pada smartphone Huawei. Hal ini bisa menjatuhkan penjualan Huawei karena banyak konsumen yang terbiasa dengan sistem operasi Android,” jelas sang ahli. “Perang, apa pun bentuknya, justru menciptakan masalah yang lebih besar bagi ekonomi dan bisnis daripada peluang.”
Rusia memang bukan bagian dari aliansi militer yang sangat kuat, seperti NATO. Meski begitu, negara ini memiliki beberapa mitra politik dan ekonomi di seluruh dunia. Apakah Tiongkok termasuk di antaranya?