Sophony Cozucke: Seorang Rusia di Tengah Konflik Perdagangan Rempah-Rempah

Ilustrasi Pulau Bandanaira, pulau utama di gugusan Kepulauan Banda pada abad ke-17. Terlihat desa Naira dan benteng Nassau milik Belanda di pesisir pulau, serta benteng Belgica di belakangnya. Pala adalah komoditas utama dari Kepulauan Banda dan diperebutkan oleh pedagang-pedagang Inggris dan Belanda.

Ilustrasi Pulau Bandanaira, pulau utama di gugusan Kepulauan Banda pada abad ke-17. Terlihat desa Naira dan benteng Nassau milik Belanda di pesisir pulau, serta benteng Belgica di belakangnya. Pala adalah komoditas utama dari Kepulauan Banda dan diperebutkan oleh pedagang-pedagang Inggris dan Belanda.

Wikipedia
Tak banyak orang tahu bahwa Rusia telah hadir di Indonesia sejak masa pelayaran dan perdagangan rempah-rempah melalui sosok seorang pedagang East India Company (EIC) asal Rusia yang cekatan, Sophony Cozucke.

Tiga kapal Kerajaan Inggris, Edward Bonaventure, Bona Esperanza, dan Bona Confidentia, terpisah satu sama lain akibat dihantam badai. Ketiga kapal tersebut seharusnya berlayar untuk mencapai Kepulauan Rempah-rempah melalui rute laut Kutub Utara yang saat itu belum pernah dilayari. Karena kehilangan kontak dengan dua kapal lainnya, pada 24 Agustus 1553, Richard Chancellor, kapten kapal Edward Bonaventure, memutuskan untuk membatalkan misi tersebut dan memilih berlabuh di mulut sungai Dvina Utara, Arkhangelsk oblast, Rusia.

Bagi orang-orang Inggris masa itu, Rusia masih merupakan negeri yang asing. Pejabat setempat lalu mengantar Chancellor ke Moskow untuk menghadap Tsar Ivan IV Vasilyevich, yang kemudian lebih dikenal sebagai Ivan yang Mengerikan.

“Surat dari Raja Edward VI (raja Inggris) membuka jalan bagi Chancellor untuk datang ke Moskow, dan ketika ia kembali ke Inggris pada Februari 1554, ia telah menjamin izin dari Tsar Ivan, dalam sebuah surat yang ditujukan balik kepada Edward VI, bagi kapal-kapal Inggris untuk mengunjungi pelabuhan-pelabuhan di Rusia, dan juga tsar telah menyatakan keinginannya untuk membuka negosiasi dagang antara kedua negara,” tulis Isabel de Madariaga dalam Ivan the Terrible.

Hubungan dagang ini terwujud dengan dibentuknya perusahaan dagang Muscovy Company pada 1555. Inggris mengekspor barang-barang, seperti wol dan besi, sedangkan ekspor utama Rusia ke Inggris adalah tali kapal.

Kontak dengan Inggris membuat Rusia sadar akan keterbelakangan negeri mereka dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa Barat. Tsar Boris (berkuasa pada 1598 – 1605) lalu mengirim anak-anak muda Rusia untuk belajar ke Eropa Barat. Salah satu dari mereka adalah Sophony Cozucke yang dikirim ke Inggris. Malangnya, ia tidak dapat kembali ke Rusia karena setelah Tsar Boris mangkat, Rusia jatuh ke dalam masa huru-hara politik dan bencana kelaparan yang dahsyat.

Berdagang di Kalimantan dan Maluku

Tidak banyak yang dapat diketahui dari masa lalu Sophony Cozucke di Rusia. “Cozucke”, kemungkinan adalah nama panggilan Sophony, yang berasal dari kata “Kazaki” (Cossack), sebuah nama suku di Rusia. Sophony “si Cossack”, pastilah seorang anak muda yang tekun belajar. Dengan kelihaiannya, ia mendapatkan pekerjaan di East India Company (EIC), perusahaan dagang yang mendapatkan hak khusus dari Kerajaan Inggris untuk memonopoli perdagangan Inggris di Asia. Sejak 1601, EIC sudah berdagang ke Nusantara dan membangun pos dagang di Banten pada 1603.

Nama Sophony tercatat sebagai wakil bendahara kapal dalam ekspedisi pelayaran EIC yang kelima di bawah pimpinan David Middleton pada 1609. Sophony kemudian ditempatkan di pos dagang Banten. Saat itu Banten adalah kota perdagangan internasional dengan lada sebagai komoditas utamanya. Kapal-kapal dari Tiongkok, India, Portugal, dan Belanda sudah lalu lalang di Banten jauh sebelum Inggris tiba. 

Ilustrasi kota Banten di awal abad ke-17. Sophony bertugas di pos dagang EIC Banten selama kurang lebih tahun empat tahun, pada 1609 – 1613, sebelum akhirnya dipindah tugaskan ke Sukadana, Kalimantan Barat, pada awal 1614. Sumber: WikipediaIlustrasi kota Banten di awal abad ke-17. Sophony bertugas di pos dagang EIC Banten selama kurang lebih tahun empat tahun, pada 1609 – 1613, sebelum akhirnya dipindah tugaskan ke Sukadana, Kalimantan Barat, pada awal 1614. Sumber: Wikipedia

Di penghujung 1612, Sophony mendapat promosi dan ditugaskan untuk membuka sebuah pos dagang baru di Sukadana, wilayah pesisir Kalimantan Barat. Ia tiba di Sukadana pada 3 April 1614 dan bersama atasannya, Nathaniel Courthope, berhasil membangun pos perdagangan permata.

Setelah sukses di Sukadana, Sophony diberi tugas melakukan survei ke Landak, sebelah utara Sukadana. Dalam instruksinya kepada Sophony pada 11 April 1614, Courthope memerintahkan orang Rusia itu untuk “bertolak ke Landak dan berunding dengan para pemimpin wilayah-wilayah tersebut mengenai jaminan keamanan apabila Inggris membangun pos dagang di sana,” seperti dikutip dari Nathaniel’s Nutmeg yang ditulis oleh Giles Milton.

Meski memiliki cadangan permata, emas, dan batu geliga (yang berasal dari perut hewan untuk digunakan sebagai penawar racun) yang melimpah, Landak terlalu berbahaya. Sophony dan dua orang pengiringnya nyaris tewas setelah disergap oleh 1.000 orang Dayak di sungai. Para penyerang itu akhirnya lari ketakutan setelah ketiga orang tersebut melepaskan tembakan.

Meski sejauh ini menguntungkan, minat utama perdagangan Inggris di Nusantara bukan terletak di Sukadana, Landak, atau Banten. Ia terletak masih jauh ke timur, di wilayah yang orang-orang Eropa kenal sebagai Kepulauan Rempah-rempah, lebih tepatnya di Kepulauan Banda, yang di masa Indonesia modern kini masuk ke dalam wilayah administratif Provinsi Maluku.

Kepulauan Banda yang terdiri dari sebelas gugusan pulau vulkanik tersebut terkenal sebagai satu-satunya produsen pala, rempah-rempah yang biasanya digunakan sebagai bumbu masak, obat-obatan dan terkenal mahal harganya di pasar Eropa. Belanda, melalui Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) sudah lebih dulu berdagang di sana dan membangun dua benteng, yakni Benteng Nassau (1609) dan Benteng Belgica (1611) di Pulau Banda Neira. Namun kaum bangsawan Banda, Orang Kaya, tidak menyukai sistem monopoli pala yang dilakukan Belanda.

VOC

Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) yang didirikan pada 20 Maret 1602 adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. VOC dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia sekaligus perusahaan pertama yang mengeluarkan sistem pembagian saham.
Situasi tersebut akhirnya membuat penduduk Banda ingin bekerja sama dengan Inggris untuk melawan Belanda. Pada bulan Mei 1615, orang-orang Inggris dan penduduk lokal berhasil menghalau invasi 1.000 prajurit Belanda di Pulau Run. Sophony, yang juga terlibat dalam pertempuran, kemudian kembali ke Banten bersama enam Orang Kaya yang meminta agar kepala pos dagang EIC di Banten, John Jourdain, memasukkan Run ke dalam wilayah perlindungan Inggris karena mereka yakin Belanda akan kembali dan membalas dendam. Jourdain setuju. Courthope dipanggil dari Sukadana untuk melaksanakan tugas tersebut.

Pada Desember 1616, perwakilan Orang Kaya menemui Courthope, Sophony, dan Thomas Spurway di atas geladak kapal Swan yang tengah berlabuh di Run untuk menandatangani dokumen penyerahan. Nama Sophony empat kali disebut dalam salah satu dokumen awal sejarah kolonial Inggris tersebut, sebuah bukti akan peran pentingnya sebagai salah satu pedagang EIC yang paling cemerlang kala itu. Pulau Run resmi menjadi koloni Inggris pertama di seberang lautan.

Kubu pertahanan Inggris di Pulau Run dibangun di bawah pimpinan Courthope. Sampai beberapa minggu kemudian, cadangan air dan makanan pasukan Inggris mulai menipis. Courthope meminta nahkoda Swan, John Davis, serta Sophony untuk berlayar mencari perbekalan. Malang, pada 2 Februari 1617 Swan disergap oleh kapal Belanda Morgensterre ketika sedang berlayar menuju Pulau Seram untuk mengambil air bersih. Swan diserang habis-habisan. 

“Mereka yang bersembunyi di dalam kapal dipaksa keluar dengan tembakan senapan; mereka yang berada di geladak disabet dengan pedang-pedang. Satu dari yang mati adalah Sophony Cozucke yang sangat berani, ‘diterjang tembakan hebat’,” tulis Giles Milton.

Berita kematian Sophony pun menyebar ke pos-pos dagang EIC di Asia. Surat-surat pun ditulis berisi kecaman dan belasungkawa atas kematian Sophony. Hal ini membuktikan bahwa sosok Sophony cukup populer di kalangan pedagang-pedagang Inggris saat itu.

Run memang masih milik Inggris, tapi perdagangan pala akhirnya jatuh ke tangan Belanda tak lama setelah Courthope tewas dalam sebuah serangan di tahun 1620. Inggris kian tersisih, sampai akhirnya melalui Perjanjian Breda 31 Juli 1667, Pulau Run secara resmi ditukar dengan Pulau New Amsterdam milik Belanda di Amerika, yang kini dikenal sebagai kota New York. Saat ini, pala tetap tumbuh di Run, tetapi pamor pulau tersebut sudah menurun drastis dibanding empat abad yang silam. 

Sayangnya, kisah Sophony Cozucke belum dirujuk, baik oleh pemerintah Indonesia maupun Rusia, dalam menjelaskan ikatan historis masyarakat di antara kedua negara. Padahal, kehadiran Sophony dan kematiannya merupakan bukti bahwa kontak antara Rusia dengan Nusantara sudah terjadi jauh lebih awal.

Rahadian Rundjan adalah seorang penulis dan peneliti sejarah yang berdomisili di Bogor. Selain di RBTH Indonesia, tulisan-tulisannya juga dapat ditemui di Majalah Historia, GeoTimes, Rappler Indonesia, dan National Geographic Indonesia. Ia dapat disapa di @RahadianRundjan.

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki