Bagaimana Kebijakan Harga Minyak Arab Saudi Memicu Kehancuran Uni Soviet?

Getty Images, Russia Beyond
Arab Saudi baru-baru ini melancarkan perang harga minyak yang memengaruhi perekonomian dunia. Tiga dekade lalu, tindakan serupa menyebabkan Uni Soviet runtuh.

Harga minyak selalu — dan masih — sangat rendah di negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Arab Saudi, Irak, dan Iran termasuk di antara anggota organisasi tersebut (Indonesia telah keluar dari keanggotaan OPEC pada 2008). Beberapa anggota OPEC bisa memotong atau menaikkan harga minyak mereka di pasar dunia untuk memengaruhi perekonomian global. Sebagai “raja minyak dunia”, Arab Saudi pernah menggunakan opsi ini — dan pada suatu waktu kebijakan tersebut memicu kehancuran Uni Soviet.

Krisis Minyak 1973

Tentara Israel menutup telinga ketika menembakkan Howitzer 155 mm buatan Prancis di Dataran Tinggi Golan, Suriah, dua minggu setelah dimulainya Perang Yom Kippur, 17 Oktober 1973.

Jatuhnya harga minyak saat ini sama sekali tak sebanding dengan penurunan nilai emas hitam pada 1973. Pada 17 Oktober 1973, seluruh Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Arab (OAPEC), yang didukung Mesir dan Suriah, berhenti menjual minyak ke negara-negara yang mendukung Israel selama Perang Yom Kippur, seperti Kanada, Jepang, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Embargo tersebut diikuti pengurangan produksi bulanan secara bertahap — pada Desember 1973, produksi OAPEC hanya seperempat produksi September 1973.

Pada 1973, produksi minyak AS hanya 16,5 persen dari total produksi dunia. Kala itu, Negeri Paman Sam adalah importir utama emas hitam. Meski AS dan negara-negara lain yang menjadi target keputusan OAPEC adalah adalah pelanggan kelas kakap, biaya ekstraksi minyak yang rendah memungkinkan negara-negara OAPEC mempertahankan neraca perdagangan mereka bahkan tanpa menjual ke AS, Inggris, dll. Keputusan OAPEC pada 1973 memicu resesi dan krisis ekonomi global. Ketika embargo dicabut pada 1974, harga minyak telah naik dari $3 per barel menjadi $12 per barel. Di Amerika, harga per barel bahkan lebih tinggi.

Semburan api gas industri Arab Saudi di sebuah ladang minyak.

Situasi ini menguntungkan Timur Tengah. Syekh-syekh Saudi langsung kaya raya. Di sisi lain, Uni Soviet pun ikut kecipratan untung. Produksi minyak dan gas alam Uni Soviet meningkat pesat. Negara Tirai Besi pun dengan cepat menjadi salah satu produsen minyak dan gas top dunia. Sejak itu, penjualan minyak dan gas menyumbang lebih dari separuh pendapatan nasional.

Sementara itu, di AS, tingkat pengangguran meningkat dua kali lipat, sedangkan PDB turun hingga enam persen. Meski demikian, Amerika Serikat tengah mempersiapkan serangan balasan dengan membujuk Arab Saudi untuk bertindak demi kepentingan AS.

Bagaimana AS Memenangkan Perang Dingin?

Direktur CIA William Casey berjalan melewati seorang polisi Capitol Hill pada Jumat, 21 November 1986.

Krisis 1973 menimbulkan konsekuensi jangka panjang. Mobil-mobil buatan Jepang yang konsumsi bahan bakarnya dua kali lebih hemat menjadi pemimpin pasar, sedangkan AS dan negara-negara Barat lainnya mulai mencari cadangan minyak baru dan meningkatkan teknik pengilangan. Sementara itu, Uni Soviet masih menikmati keuntungan besar dengan menjual minyaknya.

Pada 1979, Revolusi Iran menyebabkan negara itu memotong produksi minyaknya secara drastis. Peristiwa ini kembali menyebabkan kenaikan harga minyak dunia. Perang Iran-Irak yang dimulai pada September 1980 kian memperburuk situasi. Namun pada awal 1980-an, upaya “gotong royong” AS dan negara-negara Dunia Pertama akhirnya membuahkan hasil. Harga minyak mulai turun lantaran kelebihan produksi. Pada 1981, Washington memperkenalkan kontrol harga negara untuk minyak dan produk minyak seraya menurunkan pajak. Sejak itu, harga minyak terus menurun dari 1980 dan seterusnya.

Pemandangan jaringan pipa minyak yang hancur akibat dibom Irak selama perang Iran-Irak di Abadan, Iran selatan, 1981.

Di tengah kondisi itu, semua negara, termasuk Uni Soviet, mulai mengembangkan sumber energi alternatif, termasuk tenaga nuklir. Pada 1986, bencana Chernobyl terjadi. Banyak yang bilang, bencana nuklir itu terjadi gara-gara Pemerintah Soviet bersikeras untuk meningkatkan output daya yang dihasilkan pembangkit listrik tersebut. Meski begitu, hal itu masih diperdebatkan hingga kini. Yang jelas, bencana Chernobyl memberikan pukulan kuat bagi ekonomi, citra internasional, dan industri energi Uni Soviet.

Tak lama setelah itu, pada 1986, William Casey, yang kala itu menjabat sebagai direktur Badan Intelijen Pusat (CIA) AS, mengunjungi Arab Saudi. Menurut penasihat keamanan nasional Ronald Reagan, Richard Allen, Casey bernegosiasi dengan Raja Fahd. Selama enam tahun sebelumnya, Pemerintah Saudi telah menahan harga minyak sambil perlahan-lahan meningkatkan produksi minyak bumi mereka. Namun setelah Casey kembali, pada September 1985, Arab Saudi tiba-tiba langsung meningkatkan produksi minyaknya sekalipun harga masih rendah!

Arab Saudi ‘Banting Setir’

Sekelompok menteri negara-negara pengekspor minyak Arab meghadiri sebuah pertemuan di Kuwait, 17 Oktober 1973. Negara-negara pengekspor minyak Arab, termasuk Mesir dan Suriah, bertemu untuk membahas penggunaan minyak sebagai senjata melawan Amerika Serikat dalam peperangan di Timur Tengah.

Dalam empat bulan, produksi minyak Saudi naik dari dua juta menjadi sepuluh juta barel per hari, dan harga anjlok dari $32 per barel menjadi $10 per barel. Bagi Uni Soviet, yang sudah terbiasa menikmati keuntungan selangit dari minyaknya, ini merupakan pukulan mematikan. Pada 1986, Uni Soviet kehilangan lebih dari $20 miliar (sekitar 7,5 persen dari pendapatan tahunan Uni Soviet), dan sudah mengalami defisit anggaran.

Namun, perekonomian Arab Saudi juga hancur karena harga minyak yang rendah! Lantas, mengapa Arab Saudi rela mengambil langkah ini? Allen berpendapat, Casey menawarkan perbaikan ekonomi kepada para syekh sebagai ganti rugi atas langkah tersebut. Pendapat ini didukung oleh fakta bahwa pada 1986, 80 persen minyak Saudi dijual ke Exxon, Mobil, Texaco, dan Chevron — semuanya perusahaan Amerika.

Akibat krisis minyak 1985 – 1986, Uni Soviet terjerumus ke dalam resesi. Kondisi ini sudah cukup untuk menghancurkan model perekonomian Soviet yang terencana dan telanjur tak sehat. Pada 1986, utang luang negeri Uni Soviet mencapai sekitar $30 miliar. Tiga tahun kemudian, utang negara itu membengkak hingga $50 miliar.

Harga minyak Arab Saudi berangsur-angsur pulih sampai awal tahun 2000-an ketika negara itu kembali untung. Namun, Pemerintah Saudi tampaknya tidak terlalu peduli. Arab Saudi kemungkinan memiliki banyak tabungan yang dikumpulkan dari laba superbesar pada 1970-an. AS pun diperkirakan mendapat untung. Pada 1986, SPBU-SPBU di Amerika bahkan memberikan bensin gratis untuk iklan.

Presiden Uni Soviet Mikhail Gorbachev berpidato pada hari kedua rapat luar biasa Majelis Agung Uni Soviet di Moskow pada 27 Agustus 1991. Gorbachev mengancam mengundurkan diri jika kelima belas republik menolak menandatangani Traktat Persatuan untuk menyelamatkan Uni Soviet.

Krisis minyak secara signifikan membantu AS memenangkan Perang Dingin melawan Uni Soviet. Resesi ekonomi membuat Mikhail Gorbachev membuat keputusan politik yang sangat tidak populer. Upaya untuk mereformasi sistem pemerintahan (dikenal sebagai Perestroika) sebagian besar sia-sia karena negara itu kekurangan dana. Retorika populis Gorbachev tidak cocok dengan populasi yang melarat. Rakyat menuntut tanggung jawab atas tindakan pemerintah yang sembrono. Saat itulah, Boris Yeltsin datang dengan kritik pedasnya terhadap sistem Soviet secara luas. Pada akhir 1980-an, keruntuhan Uni Soviet sama sekali tak terelakkan.

Industri petroleum modern dunia lahir pada masa Kekaisaran Rusia dan segera menjadi fondasi perekonomian Negeri Beruang Merah hingga kini. Bacalah selengkapnya!

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki