Militer memegang peran penting di Indonesia. Salah tokoh yang paling menonjol adalah Jenderal Nasution. Kala itu, ia menjabat sebagai kepala staf angkatan bersenjata Indonesia.
Dalam memoarnya, Khrushchev mengaku sangat terkesan pada Nasution. Menurutnya, saat itu Nasution terbilang cukup muda. Sang pemimpin Soviet juga menggambarkan Nasution sebagai seorang pria tampan yang menjaga penampilannya. Tak diragukan lagi, ia pun seorang yang cerdas, tulis Khrushchev.
“Pertemuan dengannya (Nasution) sangat berkesan. Saya bertemu dengannya beberapa kali, tak hanya di Indonesia, tapi juga di Moskow. Ia berkunjung ke Uni Soviet untuk menandatangani kesepakatan penyediaan bantuan militer dan penjualan persenjataan kepada Indonesia,” kenang Khrushchev.
Teman Amerika
Khrushchev melihat Nasution sebagai sosok yang berpengaruh di Indonesia. Sayangnya, ia lebih tertarik pada Amerika. Sang jenderal bukan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia justru dianggap sebagai salah satu musuh PKI. “Tentu saja, di hadapan kami, ia tak menunjukkan sikap antipatinya terhadap komunis. Padahal, dia sebetulnya adalah pendukung utama golongan yang ingin mengembangkan kapitalisme di Indonesia.”
Kala itu, Sukarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan lagi tentara. Meskipun ia menegaskan posisi Indonesia sebagai negara nonblok selama Perang Dingin, sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang ternyata didukung AS membuat Sukarno mengadopsi sikap anti-Amerika. Dalam hal ini, PKI menjadi sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Sukarno justru memperkuat pengaruh mereka dalam sistem politik Indonesia.
Selama kunjungan delegasi Uni Soviet ke Indonesia, pemerintah tengah berperang melawan kelompok-kelompok separatis di sejumlah pulau. Di antara mereka terdapat pasukan pro-Amerika yang telah menerima senjata dari AS. Khrushchev mengetahui informasi tersebut dari intelijen Soviet. Menurut Khrushchev, Nasution diam-diam juga membantu kelompok pemberontak.
“Apa maksudnya? Dia (Nasution) tampaknya tak bisa memberi mereka senjata, tetapi dia menjalin komunikasi dan memberi mereka informasi tentang operasi yang tengah disiapkan pemerintah untuk menyerang mereka. Ketika saya berada di sana, pasukan pemerintah menangkap seorang agen Amerika di salah satu operasi melawan para pemberontak ini. Nasution membantu membebaskan orang Amerika ini. Amerika telah menekannya. Berdasarkan laporan dinas intelijen kami, dia memiliki koneksi dengan intelijen Amerika,” tulis Khrushchev dalam memoarnya.
Ini membuat Khrushchev ragu pada Nasution. Ia khawatir karena sosok yang akrab dengan Amerika ini adalah seorang yang berpengaruh dalam angkatan bersenjata Indonesia. Meski begitu, Sukarno kerap memuji Nasution di hadapan Khrushchev.
“Suatu hari, Sukarno menyebutkan bahwa Nasution bukan hanya seorang yang jujur, tetapi juga seorang yang religius, sehingga mustahil untuk mempengaruhi keyakinannya, dan bahwa pelan-pelan, dia dapat menjadi pendukung demokrasi,” kata Khrushchev.
Di sisi lain, Khrushchev pun mengakui bahwa ia sering berbicara dengan Nasution. Menurutnya, mereka saling menghormati. Sang jenderal tak menunjukkan sedikit pun kebencian terhadap Uni Soviet. Dia tahu bagaimana menyembunyikan perasaannya, sehingga kami tak punya alasan untuk berpikir bahwa ia memusuhi kami. Meski begitu, dia memang musuh, tulis Khrushchev.
“Dia (Nasution) juga menjalin komunikasi dengan militer kami. Mereka berhubungan baik dengannya walau intelijen kami pun memberi tahu bahwa Nasution memiliki hubungan dengan intel Amerika,” kenang Khrushchev.
Sukarno Goyah
Di sisi lain, mobilitas Sukarno sangat tinggi. Presiden Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu di luar negeri daripada di negerinya sendiri. Ketika pasukan yang dipimpin Nasution tengah menyiapkan kudeta untuk menggulingkan Sukarno, sang presiden tengah berada di Jepang. “Dari Jepang, ia terbang ke Uni Soviet. Dalam percakapan pribadi dengan Sukarno, saya bertanya, ‘Apakah Anda tahu bahwa Nasution berperan dalam membebaskan agen Amerika itu atas desakan intelijen AS?’”
Mendengar pertanyaan Khrushchev, Sukarno menatap sang pemimpin Soviet dan kemudian menjawab, “Ya, saya tahu itu. Itu adalah keputusan kami bersama.” Khrushchev, tentu saja, tak menduga jawaban itu.
Meski begitu, dalam memoarnya, Khrushchev merasa bahwa Sukarno berbohong. Menurut Khrushchev, Sukarno mungkin berpikir sebaiknya ia mengatakan bahwa ia mengetahui informasi itu demi menyelamatkan mukanya.
“Lagi pula, apa gunanya bagi presiden Indonesia untuk membebaskan mata-mata Amerika itu? Supaya dia bisa kembali mengacaukan sistem pemerintahan yang telah dibangun Sukarno? Namun, Presiden Sukarno tetap berterima kasih atas informasi tersebut dan meminta saya untuk memberi tahu dia hal-hal semacam ini di masa depan — dan kami sering kali memberikannya informasi,” kata sang pemimpin Soviet.
Mewaspadai Nasution, Sukarno mengambil langkah untuk melemahkan kekuasaannya. Pada Juli 1962, presiden Indonesia menata kembali struktur ABRI (gabungan TNI dan Polri pada masa Demokrasi Terpimpin hingga Orde Baru). Status kepala cabang angkatan bersenjata ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima. Sebagai panglima, kepala cabang angkatan bersenjata akan memiliki kekuatan lebih. Sementara, yang membantu Sukarno sebagai panglima tertinggi ABRI adalah kepala staf ABRI.
Karena itu, Sukarno menunjuk Nasution sebagai kepala staf ABRI dan mengangkat Ahmad Yani sebagai panglima angkatan darat. Dengan begitu, Sukarno menurunkan kekuatan Nasution. Sebagai kepala staf ABRI, Nasution hanya bertanggung jawab untuk hal-hal administratif saja dan tak memiliki pasukan.
Perjuangan membebaskan seluruh wilayah Indonesia dari penjajah belum usai selama Irian Barat masih dikuasai Belanda. Dalam memoarnya, Khrushchev menceritakan bagaimana menlu Indonesia kala itu, Subandrio, bermanuver demi membawa Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Ikuti kisah selanjutnya! >>>
Artikel ini diterjemahkan dan diolah dari buku “Memoirs of Nikita Khrushchev. Volume 3, Statesman (1953 – 1964)”, seri ketiga dan terakhir dari satu-satunya memoar berbahasa Inggris terlengkap Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev.