Perantau Ilmu di Rusia: Membangun Negeri dengan Musik

Jonathan Christian Turangan Wibowo

Jonathan Christian Turangan Wibowo

Russia Beyond/Panca Syurkani
Belajar musik tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemauan, tetapi juga memerlukan kedisiplinan. Prinsip itu juga bisa diaplikasikan dalam membangun bangsa dan negara.

Musik adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan Jonathan Christian Turangan Wibowo. Menurut mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan S-1 di Akademi Musik Gnesin Moskow itu, ia tak bisa hidup tanpa musik. “Musik adalah bagian dari hidup saya. Bermusik sama seperti makan, minum, dan bernapas, yang saya tak bisa hidup tanpanya. Kalaupun bisa, mungkin sudah tak ada esensinya.”

Saat berusia sekitar 6 – 7 tahun, Jonathan yang lahir di Jakarta, 26 tahun silam, senang memperhatikan orang bermain piano di gereja saat diajak orang tuanya beribadah di GPIB Paulus Menteng, Jakarta Pusat. Ia selalu bersemangat datang ke gereja dan selalu memilih tempat duduk yang terdekat dengan piano. Jo kecil selalu bersikeras untuk mengikuti ibadah orang dewasa bersama orang tuanya daripada mengikuti ibadah khusus anak-anak — Sekolah Minggu karena ingin melihat piano. 

GPIB Paulus Menteng, Jakarta.

Wajahnya berseri ketika gendang telinganya bergetar oleh harmoni yang terangkai dari alunan nada saat jemari sang pianis menari-nari di atas tuts piano. Apalagi, kalau yang dimainkan adalah organ pipa. “Kalau organ pipanya dimainkan, saya sangat senang dan antusias sekali,” kenang Jonathan yang kini menjalani tahun ketiganya di jurusan seni pertunjukan piano.

Triono Wibowo dan Romy Melany Turangan tak tinggal diam melihat perangai putra sulung mereka yang tak biasa itu. Untuk menyalurkan gairah seni sang putra, pasangan yang sama-sama bekerja sebagai karyawan swasta itu pun membelikan piano dan memasukkannya ke sekolah musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM), di samping menjalani pendidikan di sekolah umum. Alhasil, musik kian merasuki jiwa Jonathan sehingga tak berlebihan jika ia mengatakan musik adalah bagian dari hidupnya. 

Jonathan tak main-main dalam bermusik. Di YPM sendiri, ia menimba ilmu selama 12 tahun, dari 2003 hingga 2014. Selama pendidikan dasar, ia berada di bawah bimbingan Paulus Kristianto dan Carolina Lukito. Selanjutnya, pada program persiapan konservatori dan pendidikan keguruan, ia dibimbing oleh Empu Pianis Indonesia Iravati M Sudiarso. Selain itu, ia juga rajin mengikuti masterclass, di antaranya bersama Berenika Zakrzewski dan Profesor Boaz Sharon.

Jonathan berbincang dengan gurunya Iravati M Sudiarso seusai resital piano tunggalnya di Erasmuh Huis, Jakarta, 2014.

Prestasi mengiringi kemampuan Jonathan yang semakin berkembang. Selama masa studinya di YPM, banyak penghargaan yang telah diraihnya, di antaranya YPM Artist Diploma, YPM Gold Medal of Honour, The 2013 Franz Szabo Prize for Distinction (memperingati hari jadi YPM yang ke-60), Award for Most Outstanding Performance, dan berbagai penghargaan lainnya. Ia juga sering unjuk kebolehan pada konser-konser yang digelar di Erasmus Huis, Goethe Haus, Amir Pasaribu Concert Hall, dan Auditorium YPM Manggarai. Pada Juni 2014, ia menggelar resital piano tunggal di Erasmus Huis dan berpartisipasi sebagai pengiring dalam Pesta Paduan Suara Gerejawi ke-11 di Ambon pada 2015.

Penampilan Jonathan pada resital piano tunggalnya di Erasmuh Huis, Jakarta, 2014.

Keistimewaan Pendidikan Musik Rusia

Pendidikan musik tak menjadikan Jonathan mengesampingkan pendidikan umum. Setahun setelah menyelesaikan pendidikan musiknya di YPM, ia juga menamatkan studi sarjananya dengan predikat cum laude dan menjadi lulusan terbaik program studi gizi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Karena telah mengantongi gelar sarjana untuk pendidikan umum, penggemar pianis Soviet Emil Gilels dan Sviatoslav Richter itu pun memiliki keinginan yang sama untuk pendidikan musiknya. 

Alih-alih AS dan Eropa, Jonathan menjatuhkan pilihannya pada Rusia sebagai tempat melanjutkan pendidikan musiknya. Menurutnya, ia tak berhak mengatakan bahwa pendidikan musik di Rusia adalah yang terbaik karena dia tak pernah belajar di AS atau Eropa. Namun, ia mengakui bahwa sistem pendidikan musik di Rusia "sangat sistematis, teratur dan rapi." Jenjang pendidikan musik Rusia dimulai dari tingkat dasar, yaitu sekolah musik, naik ke college, dan baru masuk ke tingkat perguruan tinggi di akademi musik atau konservatorium. Jadi, hanya melanjutkan pendidikan dari yang sebelumnya sudah dipelajari. 

Selain itu, Jonathan memandang pendidikan musik Rusia unik karena terpengaruh karakter geografis yang membentang dari daratan Eropa ke Asia. “Jadi, pendidikan musik Rusia memiliki karakter yang dipengaruhi musik-musik Eropa dan Timur,” ujarnya. Keunikan itulah yang menjadikan gaya musik Rusia istimewa, yang di dalamnya bisa ditemukan gaya-gaya ketimuran, seperti Arab, Timur Jauh, dan Tiongkok. Itulah mengapa, gaya-gaya musik yang dipakai komposer Rusia sangat berbeda dengan gaya yang dipakai Beethoven atau Mozart yang sangat kental dengan gaya Jerman. Keunggulan sistem pendidikan musik di Rusia menjadikan profesor-profesor Rusia banyak diminati untuk mengajar di AS dan Eropa. 

Kuliah di Rusia

Setelah melewati proses penyaringan, Jonathan terpilih menjadi salah satu penerima Beasiswa Pemerintah Federasi Rusia tahun 2016. Namun, tahapan yang dijalaninya berbeda dengan pelamar beasiswa lainnya karena program studi musik berada di bawah Kementerian  Kebudayaan, bukan di bawah Kementerian Pendidikan seperti program studi lainnya. Penempatan universitas juga terbilang lebih lama sehingga ia baru tiba di Moskow dua bulan setelah tahun ajaran baru dimulai. Alhasil, ia cukup ketinggalan materi pelajaran Bahasa Rusia di Fakultas Persiapan Sekolah Tinggi Ekonomi (HSE) Moskow. 

Jonathan sempat merasa putus asa saat baru menempuh pendidikan bahasa di fakultas persiapan. Ia mengaku kesulitan mempelajari materi yang diajarkan. Tak seperti teman-teman sekelasnya yang kebanyakan orang-orang Slavia dari Polandia, Bulgaria, dan Montenegro yang memiliki kemiripan bahasa dengan bahasa Rusia, ia hanya sempat belajar selama enam bulan di Pusat Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Rusia di Jakarta. Namun, ia percaya pada nasihat yang sering didengarnya bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan pada seseorang yang lebih berat daripada yang ia selesaikan. “Jadi, saya ‘paksakan’ untuk terus, dan akhirnya semua bisa diatasi hingga sekarang,” akunya.

Setelah menyelesaikan pendidikan bahasa, Jonathan masih harus mengikuti audisi untuk bisa berkuliah di Gnesin. Audisi itu terbilang berat karena banyaknya peminat, sedangkan kuota yang tersedia untuk jurusan pilihannya hanya sepuluh orang. Oleh karena itu, ia mulai mempersiapkan diri sejak jauh-jauh hari. Meski audisi diadakan pada Juli 2019, ia sudah mulai berlatih piano dengan mengikuti les privat sejak Desember 2018. Menurutnya, meski sudah belasan tahun bermain piano, mustahil dapat menampilkan yang terbaik jika tidak terus berlatih.

“Sehari saja tidak bermain piano, kita akan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak benar dalam permainan kita, dan jika dua hari tidak bermain, orang lain pasti menyadarinya,” jelasnya. “Karena musik adalah sebuah keterampilan, dan itu bisa hilang jika tidak dilatih,” tambahnya. 

Jonathan mengikuti les privat seminggu sekali selama sekitar enam bulan sebelum audisi. Menurut gurunya, materi yang dimilikinya sudah cukup dan hanya perlu lebih dimatangkan. Dengan tekad yang bulat dan keterampilan yang terus diasah, ia akhirnya lolos audisi dan diterima di Gnesin. 

Bahasa, Musik, dan Jemari Musim Dingin

Saat masa awal kuliah, Jo tak hanya mengalami kesulitan dalam berbahasa Rusia, tetapi juga dalam bahasa musik. Istilah-istilah musik yang digunakan di Rusia berbeda dari yang ia pelajari di Indonesia, begitu juga prinsip-prinsip harmoninya. Jadi, ia harus “mencuci otak” dan benar-benar mengulang dari nol. Akan tetapi, itu semua dapat diatasinya pada tahun pertama.

Di akademi, ia tak hanya belajar piano, tetapi juga teori, psikologi, sejarah musik, sejarah seni, dan tentunya sejarah piano. Untuk itu, bahasa Rusia sangat dibutuhkan. Terlebih lagi, bahasa percakapan sehari-hari tentunya sangat berbeda dengan bahasa perkuliahan yang sarat dengan bahasa teknis dan istilah-istilah seni. “Itulah yang membuat saya syok,” akunya.

Awalnya, ia mengira bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah belajar bahasa selama setahun dan sudah agak bisa berbahasa Rusia. Namun, tak secuil pun pelajaran yang masuk ke otaknya pada awal-awal perkuliahan. “Pada kuliah pertama, nol! Oh my God!” Jo pun sempat khawatir, bagaimana ia bisa belajar dengan hambatan bahasa yang dihadapinya. Ia mencoba meminjam catatan teman sekelasnya, tetapi percuma, karena tak terbaca. Selepas tahun pertama perkuliahan, semuanya mulai membaik dan kemampuan bahasa Rusianya terus meningkat. Meski demikian, ia mengakui, bahkan hingga saat ini ia tidak bisa mengerti seratus persen. “Ya, 80 – 90 persen mengerti,” akunya.

Jonathan mempelajari Piano Solo di bawah bimbingan Seniman Kehormatan Federasi Rusia Tatiana Levitina (murid pianis Soviet Tatiana Nikolayeva), Musik Kamar di bawah bimbingan Irina Silivanova, dan Musik Iringan di bawah bimbingan Sergei Margaritov. Ia juga aktif berpartisipasi dalam konser dan festival, baik di Moskow maupun wilayah Rusia lainnya. Beberapa di antaranya adalah Noch' iskusstv 2017, Gnesinskaya obshchedostupnaya filarmoniya dan Konser Jubileum Sergei Rachmaninoff ke-145. Pada April lalu, Jonathan berhasil meraih juara II dalam 25th International Music Competition “Musica Classica” di Ruza, Rusia. Pada Juli lalu, Jo menduduki peringkat IV pada Carl Filtsch International Piano Competition di Sibiu, Rumania.

Bermain piano pada musim dingin memiliki tantangan tersendiri. Jo sendiri pernah merasakan suhu -30 derajat Celcius di Moskow. Ia harus berusaha ekstra menjaga kehangatan jari-jari tangannya sebelum bermain piano untuk mencegah jemarinya menjadi kaku sehingga tidak bisa bermain dengan leluasa. Untuk itu, terkadang ia selalu menggenggam termos berisi air panas atau menggunakan sarung tangan meski berada di dalam ruangan sebelum membiarkan jemarinya menari merangkai harmoni.

Membangun Negeri dengan Musik

Pendidikan musik sama seperti langit yang tak berujung. Oleh karena itu, setelah lulus nanti Jonathan berkeinginan melanjutkan kuliah sembari meniti karier musiknya. Pilihan karier di dunia musik ada banyak, di antaranya sebagai solois, pengiring, komposer, guru, dsb. Namun, kecintaannya terhadap opera lebih menarik minatnya untuk menjadi pengiring.

Baginya, opera adalah sajian seni yang lengkap. Dalam sebuah opera terdapat musik, vokal, drama, teater, dan tarian. Itulah yang membuatnya mencintai opera. Hampir setiap bulan ia menonton opera di berbagai teater di Moskow, termasuk Teater Bolshoi. Menonton opera tak sekadar untuk memuaskan dirinya, tapi juga menambah wawasan. “Di situ kita bisa menambah wawasan yang juga pasti berpengaruh dengan bagaimana kita membuat frasa dalam musik.”

Jonathan selalu bercita-cita dapat mengubah cara memandang musik di Indonesia. “Cita-cita saya tak berubah, supaya Indonesia memandang musik sebagai salah satu jalan untuk membangun negara dan manusia,” ungkapnya. “Menurut saya, musik adalah sesuatu yang dalam, bukan sekadar memainkan do, re, mi, fa, sol, la, si, do, seperti yang dipikirkan kebanyakan orang. Musik jauh lebih dalam dari itu,” tambahnya, sembari mencontohkan posisi seni yang sejajar dengan politik di zaman Yunani Kuno. Ia melihat, orang-orang Rusia juga sangat menghargai seni. 

Mungkinkah membangun negara dengan musik? “Kenapa tidak! Paling mudah dengan pendidikan musik. Pendidikan musik bisa membangun manusia. Belajar musik bukan hanya sekadar mau, tetapi memerlukan kedisiplinan. Itulah kunci utamanya.... Prinsip itu dapat diterapkan dalam membangun bangsa,” jelasnya.

Pelajaran itu ia petik dari gurunya Iravati Sudiarso yang sudah ia anggap sebagai seorang pahlawan. Di usianya yang kini sudah kepala delapan, Iravati masih aktif bermusik. Empat tahun belajar di bawah bimbingan sang guru telah mengubah cara pandang Jonathan. Di situlah ia menyadari, belajar musik tak hanya mempelajari not, melainkan juga kehidupan. Bagaimana melihat realitas di sekitar dan kedisiplinan adalah salah satu cara untuk membangun diri. 

Jonathan berpesan kepada semua mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Rusia, “Jangan pernah menyerah! Menyerah itu mudah, tetapi penyesalan karena menyerah itu tak akan bisa kita lupakan sampai mati.”

Untuk mengenal Rusia yang sebenarnya, siapa pun harus datang ke negara ini, melihat dengan mata kepalanya sendiri, berkomunikasi dan berinteraksi langsung dengan orang-orang Rusia. Tidak bisa hanya bermodalkan 'katanya'. Entah itu katanya film Hollywood, atau katanya media-media Barat. Sementara, untuk memperkenalkannya di Indonesia, akan lebih mudah menggunakan bahasa Indonesia. Baca selengkapnya di sini!

Artikel ini adalah bagian dari seri “Kuliah di Rusia” yang mengulas kisah dan pengalaman para pelajar Indonesia di Negeri Salju. 

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki