Perantau Ilmu di Rusia: Lika-liku Pendidikan Kedokteran di Rusia

Arsip Pribadi/ Aleksandr Kislov
“Dulu sebelum ke Rusia, pasien kanker itu artinya mati. Tapi selama lima tahun menimba ilmu di Rusia, saya hanya kehilangan dua pasien,” ujar Dokter Spesialis Anak Steven Guntur, M.D. Ia berharap, dengan ilmu yang dibawanya dari Negeri Salju,  tak ada lagi orang tua yang harus menangis ketakutan akan kehilangan buah hatinya karena mengidap kanker.

Kedokteran merupakan jurusan yang menempati level teratas dari segi kesulitan, pengetahuan, banyaknya ilmu yang harus dipelajari, dan bahasa, seperti yang diungkapkan oleh Sarah Edna Fadilah Ramadhani, M.D. Federasi Rusia sendiri merupakan negara pertama di dunia yang membuka fakultas kedokteran anak, negara pertama di Eropa yang membuka fakultas biomedis, negara di mana banyak penemuan di bidang kedokteran, dan negara di mana banyak terlahir ilmuwan-ilmuwan hebat.

Menurut Chevalier Education Consultancy, saat ini deretan universitas kedokteran di Rusia menempati posisi sepuluh universitas terbaik peringkat UNESCO. Misalnya Universitas Kedokteran Negeri Moskow Pertama (Universitas Sechenov) yang menempati peringkat kedua. Ini membuktikan bahwa pendidikan kedokteran di Rusia memiliki kualitas yang sangat baik. Tak salah jika Rusia menjadi salah satu tujuan utama bagi para penimba ilmu kedokteran dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Untuk mengetahui lika-liku pendidikan kedokteran di Rusia, kami telah mewawancarai mahasiswa kedokteran Indonesia, baik yang sedang berkuliah, telah lulus, maupun yang telah terjun ke dunia kedokteran Indonesia dan mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di Rusia.

Berlimpah Ilmu dan Pengalaman

Steven Guntur (berpakaian hijau), berfoto bersama para dokter di sela menjalani jaga malam di rumah sakit.

Dokter Anak Steven Guntur, M.D. bersyukur bisa menimba ilmu kedokteran di Rusia. Pasalnya, banyak ilmu dan pengalaman yang ia dapatkan, yang mustahil diperoleh di Indonesia. Misalnya dalam hal penanganan pasien.  Pada 2012 hanya dua orang yang mengambil jurusan kedokteran anak di Universitas Kedokteran Anak Negeri Sankt Peterburg. Sementara, jumlah pasien di departemen tersebut mencapai 40 orang. Alhasil, mahasiswa berkesempatan menangani masing-masing 20 pasien per hari.

Dengan begitu, semakin banyak pula kesempatan melakukan diagnosis dan penindakan pada pasien, sekaligus lebih memperkaya pengalaman, wawasan, dan jam terbang mahasiswa. Tidak demikian di Indonesia. Steven yang menamatkan sarjana kedokterannya di Universitas Sumatera Utara (USU) pada 2008 mengatakan, jumlah mahasiswa program pendidikan dokter spesialis di USU per penerimaan pada 2012 adalah sekitar 20 orang . Sementara jumlah pasienya berkisar antara 40 orang. Alhasil, jika dibagi rata setiap mahasiswa tahun pertama hanya bisa menangani dua pasien. Sudah tentu jam terbang mereka lebih sedikit dibanding dirinya yang berkuliah di Sankt Peterburg.

Dari segi penindakan pasien pun terbilang istimewa, mahasiswa diberi wewenang yang tidak mungkin diberikan kepada mahasiswa kedokteran anak di Indonesia. Contohnya memasang infus langsung ke jantung, yang jika di Indonesia hanya bisa dilakukan oleh kompetensi dokter bius dan menangani reservoir ommaya, yang jika di Indonesia adalah kompetensi Dokter Bedah Saraf. Selain itu, Steven juga sering diberikan kesempatan oleh universitasnya untuk mewakili Rusia mempresentasikan kasus atau menghadiri seminar ke Jerman, Denmark dan berbagai negara Eropa lainya.

Pengidap Kanker Tak Perlu lagi Bergantung Mukjizat

Steven Guntur bermain dengan seorang pasien yang akan menjalani kemoterapi di Rumah Sakit Anak Pemerintah di Sankt Petersburg.

Pria kelahiran 1987 yang pernah menjabat Direktur Pendidikan The British Institute Indonesia pada 2011-2012 ini bercita-cita dapat memasukan teknologi dan fasilitas untuk mengobati penyakit-penyakit di Indonesia, yang menurut banyak orang tidak dapat diobati seperti berbagai jenis kanker. Padahal di Rusia hal itu adalah hal yang tidak mustahil karena tersedianya teknologi dan fasilitas yang memadai.

Koordinator Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia sekaligus Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Permira) di Rusia periode 2015 – 2016 ini mengaku terinspirasi dari profesornya yang membawa teknologi cangkok sumsum tulang belakang dari Jerman ke Rusia, sehingga pengidap kanker darah yang mengalami resistensi kemoterapi tidak perlu lagi menggantungkan diri kepada mukjizat tuhan untuk dapat terhindar dari maut yang membayangi.

Tindakan yang dilakukan adalah, menguras semua darah dari tubuh pasien sehingga pasien hidup layaknya zombi, mengosongkan sumsum tulang, lalu memasukan sumsum tulang baru dari donor yang cocok. Steven mengaku mampu melakukan itu semua. Hal ini melahirkan harapan baru bagi pengidap kanker dan dunia medis Indonesia.

“Dulu sebelum ke Rusia, pasien kanker itu artinya mati. Tapi selama lima tahun menimba ilmu di Rusia, saya hanya kehilangan dua pasien,” ujar Steven. “Sedangkan pasien lainnya yang mengidap kanker darah, hati, tulang, masih hidup sampai sekarang,” lanjutnya. Ia berharap, dengan ilmu yang dibawanya dari Negeri Salju,  tak perlu ada lagi orang tua yang harus menangis ketakutan akan kehilangan buah hatinya karena mengidap kanker.

Menurutnya, jumlah anak-anak Indonesia lebih banyak daripada di Rusia. Jumlahnya bahkan mencapai 1/7 jumlah total anak-anak di dunia. Sungguh sangat disayangkan jika mereka yang mengidap kanker hanya tinggal didoakan dan menunggu datangnya mukjizat. Padahal di Rusia dan Eropa anak-anak tersebut bisa ditolong karena tersedianya fasilitas dan teknologi yang dibutuhkan. Sayangnya, untuk saat ini pasien di Indonesia masih harus bergantung pada mukjizat dan doa karena memang belum adanya teknologi dan fasilitas itu.

“Saya mampu melakukannya, namun teknologi dan fasilitas itu harus ada yang memasukkannya terlebih dahulu ke Indonesia,” tegas Ketua Komite Tetap Pendidikan Kedokteran USU periode 2007 – 2008 tersebut.

Ia pun bercita-cita memasukkan teknologi dan fasilitas itu ke Indonesia, namun ia sadar bahwa kapasitas seorang dokter anak takkan mampu melakukannya tanpa campur tangan otoritas yang lebih tinggi, yang dalam hal ini berarti pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Itulah yang menjadi tujuan utama Steven saat kembali ke Indonesia pada 2016 seusai menamatkan pendidikan kedokteran di universitasnya yang merupakan universitas kedokteran anak tertua di dunia.

Memilih Kuliah Mandiri Meski ada Beasiswa

Steven Guntur

Ingin melihat dunia dan membawa sesuatu yang bermanfaat dari luar saat kembali ke Indonesia adalah alasan Steven berkuliah ke luar negeri.

“Saya merasa hidup saya hanya sekali, kalau hidup dan mati di Indonesia seperti tidak melihat dunia, padahal dunia ini kan luas,” ujarnya. “Mengambil sesuatu yang bermanfaat dari luar dan membawanya ke Indonesia. Kebetulan saja di tengah perjalanan dipertemukan dengan Rusia,” lanjutnya.

Pada 2011 Steven mendaftar beasiswa ke Jerman, namun tidak lolos. Di saat yang sama juga terdapat tiga pelamar beasiswa lainya yang sudah tiga tahun mendaftar namun masih belum diterima. Jadi ia pun memaklumi hal itu. Kegagalan tersebut ia selipkan dalam pidato pada sebuah pertemuan organisasi kepemimpinan Toastmasters. Tak disangka, itulah awal perkenalannya dengan Rusia. Seusai berpidato, salah satu peserta menghampirinya dan mengatakan memiliki saluran untuk berkuliah di Rusia.

Saat itu Steven yang mengajukan beasiswa ke Kanada dan sudah mempersiapkan kepindahan ke Vancouver merasa ada yang membisiki telinganya. “Kamu harus pergi ke Rusia,” kenangnya. Tak pikir panjang, dia pun memutuskan berkuliah ke Rusia meski tak banyak tahu tentang negara terluas di dunia itu.

“Keputusan ke Rusia itu benar-benar sangat mendadak. Saya bahkan baru tahu privyet saat transit di Dubai dalam perjalanan ke Rusia dengan memanfaatkan wifi gratis dan mencari tahu bagaimana mengatakan hai dalam bahasa Rusia,” ceritanya.

Dia pun tak tahu jika tersedia beasiswa untuk berkuliah di Rusia. Namun meskipun akhirnya dia mengetahui informasi beasiswa tersebut, dia tetap menempuh jalur mandiri karena tetap ingin berkuliah di universitas pilihannya. Pada 2011 mahasiswa jalur beasiswa memang harus siap berkuliah di tempat yang dipilihkan untuk mereka. Hal inilah yang membedakan dengan sistem saat ini, di mana mahasiswa dapat menentukan enam universitas pilihan mereka.

Steven bersyukur atas takdir yang telah menuntunnya ke Rusia karena keinginannya untuk melihat dunia dan membawa sesuatu yang bermanfaat ke Indonesia telah dicapainya.

Pikir Tiga-empat Kali Sebelum Memutuskan

Yoan Clara Teken berpose untuk Russia Beyond di Lapangan Merah, Moskow.

“Jika ingin berkuliah kedokteran di Rusia, harus pikir-pikir lagi. Jangan pikir dua kali, tetapi pikir tiga-empat kali!” tegas Yoan Clara Teken, mahasiswi tahun terakhir Universitas Sechenov.  Yoan yang berkuliah di jurusan kedokteran umum tak bermaksud menjatuhkan semangat para calon mahasiswa yang juga ingin menekuni bidang yang sama, melainkan kenyataan yang telah dijalaninya selama enam tahun terakhir dan proses adaptasi yang akan dijalaninya sepulang ke Indonesia nanti. Menurutnya kuliah kedokteran bukanlah untuk orang-orang yang cengeng atau hanya untuk gaya-gayaan.

Putri pasangan Andreas Teken dan Kristina O Yempormasse ini mengatakan bahwa banyak sekali kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi selama berkuliah. Jadi memang harus memiliki tekad yang kuat dan bulat agar segala kesulitan yang dihadapi dapat teratasi. Setidaknya para calon mahasiswa dapat mencari tahu terlebih dahulu dari para senior yang sudah berkuliah ataupun dari para alumni, sehingga nantinya tidak menyesal di tengah jalan.

Salah satu kesulitan yang dihadapi gadis manis kelahiran Ambon 25 tahun silam ini adalah saat transisi dari fakultas persiapan bahasa Rusia ke tahun pertama kuliah. Menurutnya, saat di fakultas persiapan mahasiswa layaknya menjalani pendidikan di taman kanak-kanak (TK). Dosenya sangat perhatian dan dengan sabar membimbing para mahasiswa asing. Cara berbicaranya pun lambat dan dengan pengucapan yang jelas sehingga dapat dimengerti dengan mudah.

Namun saat pendidikan kedokteran dimulai, terjadi perubahan drastis dari yang awalnya seperti di TK langsung melompat ke tingkat perguruan tinggi. Cara berbicara dosen tidak jelas dan tentunya tidak lagi berbicara lambat seperti di masa persiapan bahasa. Sepuluh bulan belajar bahasa Rusia seakan tak berarti sama sekali.

“Bulan-bulan awal saya gak bisa nulis apa-apa karena dosennya ngomong seperti kumur-kumur. Saya harus berpikir keras untuk dapat mengerti apa yang dikatakan dosen,” kenang anak kedua dari lima bersaudara ini.

Yang dapat dia lakukan hanyalah menulis kembali materi yang ditayangkan pada slide. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, memasuki bulan ketiga Yoan sudah dapat menyesuaikan diri. Namun dia mengakui, meski sudah tujuh tahun tinggal di Rusia, kesulitan bahasa masih kerap ditemuinya.

“Kesulitan gramatika bahasa masih tetap ada, karena menurut saya sampai kapanpun gak bisa sempurna seratus persen karena bahasa Rusia sangat kaya,” aku Yoan.

Menangis karena Perlakuan Tak Adil

Yoan Clara Teken mengikuti sesi foto mengenakan baju rancangan perancang Indonesia di Lapangan Merah, Moskow.

Meski mengaku bukan tipikal gadis cengeng dan mudah terbawa perasaan, gadis yang hobi menari dan modelling ini mengaku pernah menitikkan air matanya karena merasa diperlakukan tidak adil. Kejujuran malah menghadiahkan pemotongan nilai pada gadis kelahiran 25 tahun silam itu. Padahal menurutnya tak tepat menimpakan kesalahan kepadanya.

Hal itu dimulai ketika Yoan harus melakukan praktik musim panas di rumah sakit. Karena mahasiswa asing, pihak kampus meminta Yoan untuk bergabung dengan teman grup sekelasnya. Dalam grup itu Yoan satu-satunya yang bukan mahasiswa Rusia. Sesampainya di rumah sakit Yoan tidak diperbolehkan  masuk, sementara teman-teman lainya tak mengalami masalah. Alasanya adalah Yoan harus mengurus ijin khusus terlebih dahulu. Padahal sebelumnya pihak kampus tidak menyinggung apapun mengenai hal itu.

Mau tak mau Yoan pun mengurus perijinan yang diminta. Namun pengurusanya tak semudah yang dikira. Tak cukup sehari-dua hari, baru dua minggu kemudian perijinan itu selesai. Apa hendak dikata, Yoan hanya bisa menjalani seminggu dari tiga minggu waktu praktik yang ditentukan oleh kampusnya. Alhasil ia menuliskan dengan jujur di laporanya bahwa ia hanya menjalankan praktik selama seminggu dan akhirnya mendapat ganjaran pemotongan nilai.

Itulah yang membuat sedih hatinya sehingga air matanya terburai. Hal itu tidak adil menurutnya. Dengan kesalahan yang bukan miliknya, ia merasa berhak untuk mendapatkan dispensasi. Hal itu menjadi satu-satunya pengalaman tidak menyenangkan yang diingat Yoan. Selebihnya, ia mengaku tidak menemukan hal-hal negatif lainnya yang ia temui selama tujuh tahun menimba ilmu di negara yang dulu dijuluki Negeri Beruang Merah ini.

Tidak cuma di Indonesia, Yoan berharap dapat mengamalkan ilmu yang ia peroleh dimanapun ia berada. Yoan yang tahun ini akan menyandang gelar dokter juga berharap pemerintah Indonesia dapat lebih lunak dalam proses adaptasi bagi lulusan-lulusan kedokteran luar negeri, sehingga dapat bersama-sama membangun sistem kesehatan yang lebih baik.

Tidak Perlu Terlalu Pintar untuk Kuliah Kedokteran

Sarah Edna Fadilah Ramadhani

“Untuk kuliah kedokteran di Rusia tidak diperlukan orang yang terlalu pintar, melainkan orang yang tekun, bertekad kuat dan pekerja keras,” tegas Sarah Edna Fadilah Ramadhani, M.D. yang telah menamatkan pendidikan kedokteran umumnya pada 2017 di Universitas Kedokteran Negeri Bashkir, Kota Ufa, Republik Bashkortostan.  Sarah yang pada Juli ini akan menyelesaikan pendidikan kedokteran spesialis saraf di universitas yang sama mengatakan, kuliah kedokteran itu memiliki kesulitan yang tinggi dan tidak dimiliki bidang ilmu lainya.  

“Level kedokteran itu paling atas dari segi kesulitan, pengetahuan, banyaknya ilmu yang harus dipelajari, dan juga bahasa, di mana selain mempelajari bahasa Rusia juga harus mempelajari bahasa Latin juga,” jelasnya.

Sarah pun menceritakan pengalamannya yang harus bolak-balik sampai 5-6 kali menemui dosennya untuk dapat lulus salah satu dari sepuluh tema yang ia pelajari dalam satu semester. “Jadi tidak ada cerita bahwa mahasiswa belajar hanya menjelang ujian saja, melainkan harus belajar rutin setiap hari,” sambungnya.

Namun Ketua Permira Ufa yang hobi jalan-jalan dan membaca ini menegaskan bukan berarti mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan lainya seperti berekreasi untuk menyegarkan pikiran maupun berorganisasi. “Bisa gila kalau belajar terus,” candanya.

Dokter yang  sempat berkuliah di program studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini juga mengingatkan pentingnya mempelajari bahasa Rusia karena merupakan modal utama dalam belajar. Menurutnya, mustahil bisa menguasai ilmunya jika tidak mengerti bahasanya.

Berkuliah dengan program bahasa Inggris adalah hal yang tak dianjurkan Sarah. Alasanya, bahasa Inggris hanya terpakai pada tiga tahun pertama saat menjalani pendidikan non klinis. Sedangkan tiga tahun berikutnya mahasiswa menjalani pendidikan klinis di rumah sakit. Untuk itulah bahasa Rusia sangat diperlukan agar dapat berkomunikasi, baik dengan pasien maupun dengan tenaga medis lainya.

Meski sudah lancar berbahasa Rusia, putri pasangan Eddy Fuady dan Fitriah ini mengaku masih mengalami kesulitan saat beraktifitas di rumah sakit. Pasalnya di wilayah Bashkortostan terdapat dua kebangsaan besar selain Rusia, yaitu bangsa Bashkir dan Tatar, yang memiliki bahasa daerah masing-masing. Jika menemukan pasien yang tidak dapat berbahasa Rusia, biasanya Sarah meminta bantuan rekanya atau pasien lain untuk berkomunikasi.

Kesulitan bahasa ia temui ketika awal-awal menjalani pendidikan kedokteran, seusai menyelesaikan fakultas persiapan bahasa Rusia (Podfak) di Universitas Kedokteran Negeri Rostov pada 2010. Ketika podfak semua mahasiswa adalah mahasiswa asing, bahasa sehari-hari yang lebih banyak digunakan adalah bahasa Inggris. Namun begitu pindah ke Ufa, hanya ada 10 mahasiswa asing dari 200 mahasiswa tingkat satu. Sedangkan di grup kelasnya, hanya Sarah yang merupakan mahasiswa asing. Jadi, mau tak mau ia harus berbahasa Rusia.

Pada tiga bulan pertama Sarah benar-benar tak berkutik saat mengikuti kuliah. Tak satupun yang disampaikan dosen bisa dimengertinya. Hanya mendengarkan dan membaca gerak bibir dosen yang bisa ia lakukan. Ia pun tak dapat mengejar ketertinggalan saat mencoba mencatat apa yang disampaikan dosennya.  Oleh karenanya Sarah mengaku harus belajar tiga kali lebih keras dibanding teman-teman sekelasnya. Seusai kuliah, ia meminjam catatan temannya untuk disalin. Di waktu belajar ia selalu menggunakan tiga buku, yaitu buku catatan, buku pelajaran dan kamus.

Mengenai cuaca, Sarah mengatakan semua orang Indonesia yang berkuliah di Rusia pasti merasakan kesulitan dengan cuaca yang sangat dingin. Apalagi Ufa yang merupakan daerah dataran tinggi. Menurutnya, karakter cuaca di Ufa lebih dingin dan memiliki dingin yang stabil, tidak seperti beberapa kota lain di Rusia yang dinginnya berubah-ubah . Cuaca terdingin yang pernah ia alami adalah -41 derajat celcius pada 2016.

Dimarahi Keluarga Pasien

Sarah Edna Fadilah Ramadhani (keempat dari kiri), berfoto bersama para kolega dokter bedah saraf di sela acara

Ketika menjalani praktik di rumah sakit saat masih berkuliah di tingkat enam, sulung dari empat bersaudara ini mengaku pernah mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan dari keluarga pasien. Hal itu terjadi ketika ia ditugaskan membuat laporan kondisi pasien dengan mengunjungi pasien di bangsal perawatan. Menurutnya, tak ada masalah dengan si pasien yang ia periksa, namun istri si pasien lah yang tidak rela suaminya dijadikan obyek belajar.

Sarah pun dimarahi terang-terangan di kamar yang berisikan 4-5 pasien tersebut. Melihat perlakuan yang diterima sang mahasiswi, pasien dan keluarga pasien yang  lain pun ada yang membela Sarah, namun ada juga yang diam tak menghiraukan.

Ia cukup menyayangkan, meski tak terlalu mempermasalahkan penolakan itu. Menurutnya, jika mahasiswa tidak diberikan kesempatan belajar, bagaimana bisa terlahir dokter-dokter yang cakap. Apalagi pasien itu menjalani perawatan di rumah sakit pendidikan. Namun ia juga tak sepenuhnya menyalahkan si istri pasien, melainkan ia jadikan sebagai motivasi untuk mengasah cara berkomunikasi yang lebih baik lagi antara dokter dengan pasien, ataupun dengan keluarga pasien.

Ia sadar, dengan menjalani residensi sebagai dokter neurologi RS Tanggap Darurat Bashkiria, kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat krusial, khususnya saat berhadapan dengan pasien dengan penyakit berat, seperti stroke, trauma kepala ataupun gangguan organik lainya yang rutin ditemuinya setiap hari.

Selain itu, Sarah mengaku tak pernah mendapatkan perlakuan buruk atau diskriminasi selama delapan tahun berkuliah di Rusia. Ia malah disayang oleh para dosen dan selalu dijadikan contoh bagi para mahasiswa lainya.  

Jalan Panjang Menuju Rusia

Sarah Edna Fadilah Ramadhani

Menjadi dokter sudah menjadi cita-cita Sarah semenjak kecil. Untuk mewujudkan cita-citanya, sejak kelas 2 SMA ia pun sudah mulai mencari informasi beasiswa program kedokteran. Setamat SMA pada 2004 ia masih belum menemukan apa yang dicarinya, sehingga ia pun mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dengan harapan bisa berkuliah kedokteran di universitas negeri.

Namun sayang, Sarah hanya lolos di universitas negeri dengan program non kedokteran. Pikiran untuk berkuliah kedokteran di universitas Swasta tak pernah terlintas di benaknya karena biaya yang tak tergapai. Dengan berat hati ia pun terpaksa mengubur cita-citanya dan memutuskan berkuliah di program studi Fisioterapi FKUI. “Dengan berkuliah fisioterapi saya bisa berada di civitas akademik yang begitu kondusif dan intens dalam keilmuan di FKUI. Selain itu, disitulah ketertarikan saya pada ilmu neurologi kian terbangun” kenangnya.

Sambil berkuliah, Sarah masih tetap rajin mencari informasi beasiswa kedokteran. Ia percaya, masih terbuka jalan untuk membangkitkan kembali cita-citanya yang mati suri. Namun harapannya kian memudar. Hingga lulus tiga tahun kemudian, ia tak juga mendapat informasi yang diharapkannya.  Sarah akhirnya bekerja di Klinik Fisioterapi Sasana Husada selama tiga tahun dan akhirnya menjadi Kepala cabang Bunda International Clinic Jakarta.

Pada 2009, di saat karirnya sedang menanjak, tak disangka-sangka datanglah harapan baru untuk membangkitkan kembali cita-citanya yang telah lama terkubur. Setelah pencarian panjang selama kurang lebih tujuh tahun sejak 2003, ia akhirnya mendapatkan informasi Beasiswa Pemerintah Federasi Rusia dari seorang kenalanya.  Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu dan melakukan semua proses yang dibutuhkan hingga diterima sebagai penerima beasiswa program kedokteran di Rusia.

“Menurut saya hal itu terbilang gila. Di saat karir saya sedang menanjak sebagai profesional muda, punya uang sendiri dan punya anak buah, saya malah meninggalkan itu semua untuk bersekolah,” ungkap Sarah.

Kini cita-citanya menjadi dokter sudah tercapai. Ia menamatkan pendidikan kedokteran umumnya pada 2017 dan langsung melanjutkan pendidikan kedokteran spesialis saraf yang akan selesai sekitar Juli mendatang. Ia juga bersyukur, jalan panjang yang dilaluinya sejak mulai menimba ilmu di Fisioterapi FKUI hingga ke Rusia telah mengantarnya pada perubahan pandangan, bahwa tak selamanya pasien pasca stroke akan berakhir dengan disabilitas.

“Sebelumnya saya beranggapan pasien pasca stroke akan berakhir menjadi penyandang disabilitas, namun setelah menimba ilmu neurologi di FT dan Rusia, perspektif itu berubah total,”jelasnya. Pasien-pasien stroke, bahkan yang terkena serangan stroke berulang kali pun masih dapat beraktifitas kembali seperti sedia kala dengan penanganan yang tepat. Oleh karena itu ia optimis banyak pengetahuan yang bisa diamalkannya, juga diamalkan oleh para dokter lulusan-lulusan Rusia lainya ketika kembali ke Indonesia.

Sulitnya Menjadi Muslim

Ahmad Sulaiman Alwahdy, M.D.

Meski tak memiliki pengalaman buruk selama berkuliah di Rusia, Ahmad Sulaiman Alwahdy, M.D. mengeluhkan beratnya menjalani hidup sebagai seorang muslim saat menjalani pendidikan kedokteran umum di Universitas Sechenov pada 2003 – 2009. Saat tiba waktu shalat Aiman harus mencari teman-teman muslim lainya, seperti dari Malaysia dan Suriah agar dapat menunaikan shalat berjamaah di bawah tangga. Hal itu dikarenakan tidak adanya mushola di kampus tersebut, dan lokasi masjid maupun asrama juga tak dekat.

Dokter yang baru saja menamatkan pendidikan spesialis saraf di FKUI pada akhir desember 2018 ini juga terkadang harus bolos shalat Jumat, bahkan tidak mengikuti shalat Idul Fitri karena berbenturan dengan waktu ujian. Memang hari raya keagamaan di Rusia seperti  Idul Fitri, Idul Adha, Natal, Paskah atau perayaan agama lainya bukan merupakan hari libur nasional seperti di Indonesia. Saat itu juga cukup sulit menemukan makanan halal, tidak seperti sekarang yang cukup mudah menemukan restoran-restoran halal maupun produk-produk makanan berlogo halal.

Sulitnya beribadah di kampus juga diamini oleh Dio Rezza Baskara dan Ma'ruf Kusbianto, mahasiswa Indonesia yang saat ini sedang mengikuti fakultas persiapan bahasa Rusia di Universitas Teknik Negeri Tambov. Mereka mengaku mendapat teguran dari universitas karena menggunakan ruang kelas untuk shalat.  

Sarah juga pernah terpaksa harus melepaskan hijabnya saat akan melakukan pengamatan di ruang operasi. Namun hal tersebut dapat dimakluminya karena terkait dengan masalah sterilitas dan higienitas ruang operasi.

“Mahasiswa diberikan kesempatan untuk melakukan pengamatan di ruang operasi dengan menggunakan pakaian yang yang steril, sedangkan saya memakai hijab dari asrama dan mereka tidak menyediakan kain steril yang dapat saya gunakan sebagai pengganti hijab. Akhirnya saya harus melepas hijab,” ujar Sarah.  Namun ia masih bersyukur karena rambutnya masih tertutup oleh penutup rambut yang biasa digunakan di ruang operasi.

Bulan puasa Ramadhan pun menjadi tantangan yang tak mudah. Lama berpuasa di musim dingin lebih singkat, yakni hanya berkisar 7-8 jam. Namun dengan cuaca yang dingin tubuh menghabiskan energi yang lebih banyak sehingga lapar lebih cepat terasa. Sementara perkuliahan dan praktik di rumah sakit tetap berjalan seperti biasa. “Saya pernah kelaparan saat berpuasa ketika suhu di Moskow -30 derajat,” kenang Aiman. Berpuasa di musim panas pun memiliki tantangan tersendiri, yaitu lama puasa yang mencapai belasan hingga lebih dari 20 jam. Di Moskow sendiri tahun ini puasa terlama akan mencapai 19 jam.

Puluhan warga negara Indonesia (WNI) mengikuti acara berbuka puasa bersama yang diselenggarakan oleh Himpunan Persaudaraan Islam Indonesia (HPII) di Mushola Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Moskow, Rusia, Sabtu (26/5/2018).

Berdarah-darah di Negeri Orang, di Negeri Sendiri Tak Diakui

Meski telah lulus sejak 2016, Steven masih belum bisa menjalani praktik dokter dan mengamalkan limpahan ilmu yang ia peroleh dari Rusia. Pasalnya sampai saat ini ia masih menunggu antrian untuk menjalani program adaptasi. Program ini merupakan penyetaraan kompetensi dan penyesuaian kemampuan bagi dokter warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang penyelenggaraannya diatur oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).

Aiman berfoto di Lapangan Merah, Moskow, seusai wisuda.

Berbeda dengan Aiman, ia bersyukur sudah bisa berpraktik setelah melewati perjalanan panjang dan berat yang menguras energi, waktu dan materi tersebut. Banyak dokter lulusan Rusia yang akhirnya menyerah dan akhirnya berprofesi di bidang pekerjaan yang tidak berkaitan dengan bidang medis. Menurut Aiman, hanya 3-4 dari sepuluh lulusan Rusia yang terjun ke dunia kedokteran Indonesia.

“Banyak teman-teman yang kecewa, marah, dan akhirnya menyerah. Bagaimana tidak, sudah berdarah-darah belajar di negeri orang, namun di negeri sendiri tidak diakui,” tegas dokter yang gemar bermusik ini.  Alhasil banyak yang bekerja tidak sesuai dengan bidang ilmu mereka, seperti menjadi pegawai bank, menetap di negara lain, dan sebagainya.

Aiman sendiri sempat depresi dan stres berat saat pertama kali menjalani program adaptasi. Sepulangnya dari Rusia pada 2009, putera ketiga dari empat bersaudara pasangan Dr. Abdul Rahman Alwahdy dan Euis Rodiyah ini menjalani adaptasi di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Saat itu belum ada petunjuk pelaksanaan (Juklak) adaptasi yang mengatur berapa lama pelaksanaan adaptasi, berapa besaran biaya dan universitas mana saja yang bisa melaksanakannya. Tiga bulan menjalani adaptasi, ia  pun berhenti karena stres dan depresi. Namun dua tahun kemudian, tepatnya pada 2011, ia pun mencoba bangkit kembali dan menjalani adaptasi di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Disaat menjalani adaptasi, dia direkomendasikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia periode  2008 – 2011 untuk berkorespondensi dengan KKI dalam perumusan sistem kedokteran mengacu pada sistem-sistem di sejumlah negara, termasuk Rusia. Sistem adaptasi termasuk pada hal yang dirumuskan. Ia pun meminta rekan-rekan dokter lulusan Rusia dan sejumlah negara lain, seperti dari Amerika, Jerman, dan Filipina, untuk menuliskan pandangan dan keluhan masing-masing serta kemudian menyampaikannya kepada KKI. Menurutnya, itulah awal perjuangannya bersama beberapa dokter lulusan Rusia lainya, di mana keluhan-keluhan para dokter lulusan luar negeri mulai didengar.

Selama berkorespondensi dengan KKI, Aiman sangat bersyukur mendapat dukungan yang besar dari Adriyati yang merupakan bagian dari struktur KKI dari perwakilan masyarakat pada masa itu. Menurutnya Adriyati memiliki jasa yang sangat besar dalam membantunya memperjuangkan Juklak adaptasi yang tengah digodok bersama.

Sambil berjuang ia tetap menjalani adaptasi dan mengerjakan apapun yang bisa ia lakukan untuk dapat membiayai hidupnya yang tidak lagi membujang. Ia pun kembali dilingkupi depresi karena usaha ternak ikan yang dirintisnya gagal, ditambah lagi istrinya sedang mengandung. “Saya merasa itu titik terendah hidup saya. Usaha ikan gagal dan istri saya sedang mengandung,” ujar Aiman.

Pada 2012 akhirnya perjuangan Aiman membuahkan hasil dengan lahirnya Juklak adaptasi yang salah satunya mengatur waktu pelaksanaan adaptasi selama enam bulan hingga dua tahun. Bermodalkan peraturan tersebut, ia yang telah menjalani adaptasi selama setahun pun memberanikan diri menemui ketua program adaptasi FKUI dan memohon agar diperbolehkan mengikuti ujian nasional sambil menyodorkan Juklak adaptasi yang ia miliki.

Suami Fetta Ariefah Ervanti itu pun menyinggung kondisinya yang sangat membutuhkan pekerjaan guna membiayai kebutuhan keluarganya, terlebih lagi biaya persalinan istrinya. Permohonannya diterima, dan ia pun lulus dalam ujian. Setelah keluar surat tanda registrasi dokter di akhir 2012, ayah dari Alfatih Sulaiman Alwahdy dan Kayisyah Humaira Alwahdy itu pun memulai praktik kedokterannya secara mandiri.

Biaya Adaptasi yang Mencekik

Meski sudah empat tahun terlahir dan telah diperbaharui pada 2016, peraturan adaptasi yang dikeluarkan KKI masih menyisakan sisi abu-abu. Peraturan itu mengatur dengan jelas berbagai Juklak adaptasi seperti waktu pelaksanaan, kriteria instansi pelaksanaan dan lain sebagainya. Namun besaran biaya adaptasi tidak dirinci secara jelas. Pada pasal 25 ayat 2, Peraturan KKI No.41 Tahun 2016, tentang penyelenggaraan program adaptasi tertulis: Penetapan nilai nominal biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Institusi Pendidikan masing-masing dengan mempertimbangkan kepatutan dan mengacu pada biaya kuliah atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) pada masing-masing Institusi Pendidikan berdasarkan prinsip akuntabilitas, kemanusiaan, dan keadilan.

Saat menjalani adaptasi di FKUI pada 2011 – 2012, Aiman membayar Rp 20 juta per semester. Artinya dia menghabiskan Rp 40 juta selama setahun menjalani adaptasi. Menurut informasi yang didengarnya bahkan ada dokter yang menghabiskan biaya jauh lebih besar dari itu.

Aiman sendiri setuju dengan adanya program adaptasi untuk memberikan keadilan bagi dokter-dokter lulusan luar negeri, karena ada lulusan kedokteran luar negeri yang hanya menjalani pendidikan selama empat tahun. Sedangkan di Rusia, pendidikan kedokteran berlangsung selama enam tahun. Namun ia tak setuju ketika program adaptasi malah akhirnya memberikan beban yang baru bagi para lulusan luar negeri.

“Saya sudah pernah bilang ke KKI bahwa Indonesia itu perlu dokter. Ini sudah dikasih dokter gratis, disekolahkan pakai uang pemerintah Rusia, sudah datang kok malah harus keluar uang banyak lagi.”

Aiman mengaku pernah bertemu dengan profesor lulusan kedokteran dari luar negeri yang pertama kali melakukan adaptasi pada jaman Presiden Sukarno. Menurut sang profesor, adaptasi dilakukan karena mahasiswa kedokteran di Rusia kurang berpengalaman menghadapi penyakit tropis. Masa adaptasi juga hanya berlangsung selama setahun tanpa membayar apapun, melainkan mendapat bayaran.

Aiman yang memilih melepaskan beasiswanya setelah selesai Podfak agar dapat berkuliah di Universitas Sechenov mengatakan, para calon mahasiswa yang ingin berkuliah kedokteran di Rusia sebaiknya mengetahui bahwa perjuangan mereka belum selesai setelah menamatkan pendidikan kedokteran mereka, melainkan masih akan berlanjut di tanah air dengan program adaptasi yang tak mudah dan tak murah.

Sarah contohnya, sebelum berkuliah di Rusia ia tak tahu kalau ada proses adaptasi yang harus dilakukan setelah lulus dan kembali ke Indonesia. Menurutnya, ia hanya ingin mengejar cita-cita yang tak mungkin dicapainya jika berkuliah di Indonesia karena biaya yang selangit. Sedangkan di Rusia, ia bisa berkuliah dengan gratis. Ia pun mengaku telah mempersiapkan beberapa rencana sekembalinya ke Indonesia nanti.

Artikel ini adalah bagian dari seri “Kuliah di Rusia” yang mengulas kisah dan pengalaman para pelajar Indonesia di Negeri Salju

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki