Rusia bukanlah hal baru bagi Maulana Yodha Permana, mahasiswa magister tahun pertama di Fakultas Filologi Institut Bahasa Rusia A.S. Pushkin Moskow. Sebelas tahun lalu, ia telah mengenal aksara Rusia dari gim yang iseng-iseng ia ubah bahasanya menjadi bahasa Rusia ketika masih berpakaian putih abu-abu. Remaja belasan tahun itu tampak girang melihat aksara-aksara asing yang ada di hadapannya.
Yodha (kedua dari kiri), saat masih di SMA.
Arsip PribadiTentu saja, ia tak dapat membacanya. Namun, aksara yang terlihat unik di matanya tersebut membuatnya tertarik untuk mencari tahu lebih dalam tentang aksara dan bahasa Rusia. Ia lalu mulai mempelajarinya secara otodidak dari internet, di antaranya Wikipedia dan situs-situs pelajaran bahasa Rusia, seperti russianlessons.net, masterrussian.com, dan juga YouTube. Menurutnya, di YouTube saat itu materi belajar bahasa Rusia belum sebanyak sekarang.
Perkenalan putra daerah Subang, Jawa Barat, itu pun berlanjut dengan sastra Rusia melalui sebuah cerita pendek berjudul Berapa Luaskah Tanah yang Dibutuhkan Seseorang? Membaca saduran karya penulis Rusia Leo Tolstoy yang dimuat dalam majalah anak Bobo tersebut, membuatnya ingin menyelam lebih dalam ke dunia sastra Rusia.
“Sastra Rusia tak hanya mengandung estetika dengan keindahan dan tutur bahasa belaka, tapi juga berisi makna dari buah pemikiran yang mendalam, dan falsafah hidup. Itulah yang membuat saya tertarik,” akunya.
Baginya, tak terlalu sulit mempelajari aksara dan pemahaman tulis menulis, tapi pelafalanlah yang cukup sulit. Aturan fonetik yang tidak biasa — pengucapan yang tidak sesuai dengan yang tertulis, kasus-kasus yang tidak ditemui dalam bahasa asing lain, dan kosakata benda yang memiliki sistem gender, menjadikan bahasa Rusia begitu menantang untuk dipelajari.
Sulung dari tiga bersaudara buah hati pasangan Rahmat dan Rini Lestari itu kemudian membuat blog tentang bahasa Rusia. Melalui blog yang kini sudah dihapusnya itu, ia berkenalan dengan Aldrin Ali Hamka, pembaca blognya yang berasal dari Jawa Timur, yang sama-sama sedang belajar bahasa Rusia. Darinya, pria kelahiran 1992 itu memperoleh salinan buku bahasa Rusia cetakan Soviet karya Nina Potapova yang dikirimkan ke sekolahnya.
Keterbatasan materi belajar yang didapat siswa SMAN 1 Subang itu secara mandiri membuatnya tak puas. Ia berpikir, hanya pendidikan yang seriuslah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk di benaknya. Lulus SMA pada 2010, ia mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) — kini Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan diterima di jurusan Sastra Rusia Universitas Indonesia (UI).
Yodha (kiri), saat menyusun rencana proyek Hipesasi (Himpunan Pelajar Bahasa Seluruh Indonesia), ketika masih berkuliah di Universitas Indonesia.
Arsip PribadiApa yang ia harapkan tercapai di bangku kuliah. Para dosen memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanya. Terlebih lagi, ia juga diajar oleh seorang dosen asal Rusia Olga Portnyagina. Namun, semua itu ternyata masih belum cukup. Seiring banyaknya hal yang ia pelajari di bangku kuliah, tak sebatas bahasa dan sastra Rusia, tetapi juga budaya, sejarah dan perpolitikan, memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru yang jawabannya tidak bisa disediakan para dosen maupun buku-buku di Indonesia.
"Tidak semua dosen mengambil jalan dengan melanjutkan studi di Rusia, tapi mereka beberapa kali melakukan studi banding di Rusia. Adapun informasi yang mereka sampaikan serta kesan mereka tentang Rusia bisa jadi berbeda, karena beda dulu, beda sekarang,” jelas Yodha.
Literatur-literatur Indonesia menurutnya juga kebanyakan menggiring Rusia seperti Uni Soviet yang tertutup, di antaranya mengenai orang-orangnya yang tidak suka senyum dan tidak ramah. Itulah mengapa ia berpikir, untuk mengenal Rusia yang sebenarnya, ia harus datang sendiri ke Rusia, melihat dengan mata kepala sendiri, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang-orang Rusia. Salah satu jalan yang mungkin ditempuh adalah dengan berkuliah di Rusia.
Yodha (kanan), bersama teman-teman kuliahnya saat wisuda pada 2015.
Arsip PribadiSetelah diwisuda pada 2015, ia terpaksa harus memendam sementara keinginannya untuk mengenyam pendidikan di Rusia. Ayahnya yang berprofesi sebagai petani, dan ibu sebagai guru TK, tak dapat lagi dibebani biaya yang tak sedikit. Sementara, masih ada dua adiknya yang harus dibiayai. Sebenarnya, info Beasiswa Pemerintah Rusia telah ia ketahui sejak masih berkuliah, tapi karena bukan merupakan beasiswa penuh, ia masih harus berjuang mengumpulkan uang untuk membiayai pengurusan dokumen, tiket, visa, dan menutupi biaya hidup di Rusia.
Setelah dua tahun mengumpulkan uang dengan bekerja di berbagai tempat, di antaranya sebagai Sekretaris di Kedutaan Besar Republik Uzbekistan, penerjemah, pengajar privat Bahasa Rusia, berjualan kaus, bahkan beternak kelinci, Yodha yang juga sempat bekerja di Russia Beyond memutuskan untuk melamar beasiswa dan berhasil menjadi salah satu dari 161 penerima beasiswa tahun 2017.
Ia sempat ragu bisa menutupi biaya hidupnya di Rusia, tapi ia akhirnya nekat setelah Puspita Atirennu, kakak kelasnya ketika kuliah dan sudah lebih dulu berangkat ke Rusia, meyakinkannya. Di samping itu, ia pun mendapatkan uluran tangan dari dermawan yang membelikannya tiket pesawat, sehingga ia bisa terbang ke Moskow pada Oktober 2017.
Yodha (kiri), dan kakak kelasnya Puspita Atirennu (kedua dari kiri), berfoto bersama Dosen Program Studi Rusia Sari Gumilang (kanan), dan Kurnia Sofiah, saat berkunjung ke Universitas Indonesia sebelum berangkat ke Rusia pada 2017.
Arsip PribadiYodha yang kini mengambil jurusan Metode Pengajaran Bahasa Rusia bagi Penutur Asing, sebelumnya sempat mengenyam pendidikan di Kota Belgorod, Rusia, pada 2014. Pada waktu itu ia mengikuti program pertukaran mahasiswa selama empat bulan. Itulah pertama kalinya ia melihat salju. Namun, bukan salju yang mengejutkannya, melainkan hawa dingin yang menggigit kulitnya, menembus beberapa lapis jaket tipis yang membalut tubuhnya.
Yodha (tengah), berfoto bersama para Mahasiswa Indonesia saat transit di Moskow setelah program pertukaran mahasiswa di Belgorod pada 2014.
Arsip Pribadi“Memang saya sudah tahu kalau akan dingin, tapi dinginnya itu mengagetkan saya. Pakaian waktu itu tidak siap, cuma jaket yang biasanya saya pakai untuk ke Bandung. Itu pun sudah berlapis-lapis,” kenang Yodha. Ia merasa cukup beruntung karena suhu yang berkisar -5 derajat Celsius itu hanya berlangsung selama dua minggu, selama transisi dari musim semi ke musim panas. Pengalaman itu ia ambil hikmahnya, sehingga kini lebih siap menghadapi cuaca Rusia.
Berkuliah di Moskow sebenarnya bukanlah impian Yodha, melainkan Sankt Peterburg. Selain jatuh cinta akan keindahan kotanya, penggemar Fyodor Dostoyevsky ini ingin berkuliah di kampus yang sama dengan kakak kelas yang telah memotivasinya untuk ke Rusia. Menurutnya, akan lebih mudah jika ada orang yang dikenal. Namun, karena ingin mendalami filologi, ia disarankan untuk berkuliah di Institut Pushkin ketika menjalani wawancara di Pusat Ilmu Pengetahuan dan Budaya Rusia (PKR). Ia menuruti saran itu meski sempat ragu karena tidak banyak tahu tentang kampus itu. Namun kini, ia mengakui saran tersebut tepat dan juga merasa nyaman berkuliah di Moskow.
Sekitar sepuluh bulan pertama, Yodha menempuh pendidikan di Fakultas Persiapan Bahasa Rusia Institut Pushkin. Di sana, ia ditempatkan di kelas bagi mahasiswa yang telah mempelajari bahasa Rusia sebelumnya di tingkat B1, B2 dan C1. Meski demikian, ia masih menemukan berbagai kesulitan. Di antaranya adalah mengulang kembali apa yang sudah dipelajari, seperti teori-teori, linguistik, sastra dan lain sebagainya. Jika di Indonesia bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia, di Rusia tentunya bahasa pengantar dan buku-buku teks berbahasa Rusia. Hal tersebut bukanlah hambatan berarti baginya.
Yodha (kiri), berfoto bersama para mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang juga berkuliah di Institut Bahasa Rusia A.S. Pushkin, Moskow, saat masih menjalani pendidikan di Fakultas Persiapan Bahasa Rusia.
Russia Beyond/Panca SyurkaniBelajar bahasa di Rusia menurut Yodha memiliki keuntungan tersendiri, karena baik di dalam kelas maupun di kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa Rusia. Hal ini berbeda dengan di Indonesia yang hanya menggunakan bahasa Rusia sebatas di kelas atau laboratorium bahasa, selebihnya menggunakan bahasa Indonesia. Dengan berlatih setiap hari, kemajuan yang dicapainya pun semakin cepat. Selain belajar bahasa, menurutnya kuliah di Rusia juga memberikan peluang untuk mempelajari budaya secara langsung, dan menyerap ilmu dari berbagai tempat edukatif seperti di museum, galeri, kuliah umum, konferensi dan lainnya.
Yodha terbilang aktif terlibat berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kebudayaan di Rusia. Belum genap sebulan berkuliah di Moskow, ia sudah ambil bagian dalam pemilihan Duta Bahasa Rusia yang diselenggarakan di Kota Yekaterinburg. Hasilnya, ia terpilih menjadi salah satu duta dan satu-satunya mahasiswa asing, pada pemilihan yang mayoritas diikuti mahasiswa Rusia itu.
Yodha (ketiga dari kanan), saat memerankan Romeo di Teater Pemuda Moskow.
Pushkin InstituteDua tahun belakangan, ia dua kali terlibat dalam lakon teater Romeo dan Juliet di Teater Pemuda Moskow. Tak tanggung-tanggung, dirinya didaulat sebagai pemeran utama dalam lakon tersebut, dan bermain bersama sejumlah orang asing serta tentunya orang-orang Rusia. Di periode yang sama, ia juga terjun sebagai relawan Peringatan Hari Kemenangan yang diperingati setiap tahun pada 9 Mei.
Yodha, saat menjadi relawan Perayaan Hari Kemenangan di Lapangan Merah.
Arsip PribadiKeuangan menjadi masalah utama bagi Yodha. Karena fokus belajar, ia hanya bisa bekerja paruh waktu. Sebelum berangkat ke Rusia hingga beberapa bulan setelah tiba di Moskow, ia sempat bekerja tetap sebagai penerjemah dan editor konten artikel di Russia Beyond, tapi terpaksa dilepaskannya karena beban studi yang tinggi. Ia berpikir, dengan menerjemahkan paruh waktu sudah cukup membiayai hidup.
Namun, pekerjaan paruh waktu itu tak selalu datang. Ada masa ketika tak satu pun proyek yang bisa digarapnya dalam kurun waktu dua bulan. Sementara, uang simpanannya juga sudah menipis. Alhasil, ia mengumpulkan koin-koin yang dimilikinya untuk membeli bahan makanan. Tatapan sinis petugas kasir tak ia acuhkan ketika menyesuaikan tagihan yang tertera dengan koin-koin dari tangannya. Pernah ketika sekeping koin pun tak lagi tersisa, ia terpaksa meminjam uang 1.000 rubel (sekitar Rp230.000) ke tetangganya untuk dapat menyambung hidup selama seminggu.
Yodha (kiri), hendak makan bersama para mahasiswa dan mahasiswi Indonesia di dapur bersama Asrama Institut Pushkin, saat masih menjalani pendidikan di Fakultas Persiapan Bahasa Rusia.
Russia Beyond/Panca SyurkaniTerkadang, ia juga berpuasa untuk dapat berhemat. Misalnya, ketika ada kebutuhan yang memerlukan biaya tak sedikit, seperti charger laptopnya rusak dan harus membeli yang baru. Namun, berpuasa telah ia biasakan saat berusaha mengumpulkan uang untuk ke Rusia. Selama 1,5 tahun, ia menjalani puasa Daud (sehari berpuasa, sehari tidak), tidak hanya untuk berhemat, tetapi juga untuk beribadah.
Kebutuhan hidup yang harus dipenuhinya tiap bulan tidaklah tinggi, hanya berkisar 6.000 rubel (sekitar Rp1,4 juta) per bulan. Sekitar 4.000 rubel (900 ribu rupiah) untuk makan, dan sisanya untuk keperluan lainnya. Dengan memasak makanan sendiri, pengeluaran untuk makan bisa ia tekan. Sebenarnya, setiap bulan ia mendapatkan uang beasiswa sebesar 2.300 rubel (sekitar 500 ribu rupiah), tapi setengahnya digunakan untuk membayar asrama.
Selain menjadi penerjemah paruh waktu, ia terkadang menjadi pemandu wisata dan pengajar bahasa Indonesia. Meski menurutnya penghasilannya saat ini terbilang cukup untuk bertahan hidup, ia menyayangkan karena terkadang harus mengorbankan pendidikannya. Baginya, belajar tidak hanya pada jam pelajaran, tetapi juga mengikuti konferensi penelitian ilmiah. Keinginan itu ia kalahkan karena harus bekerja demi menyambung hidup. Bulan ini saja banyak sekali konferensi, tetapi ia tidak bisa berpartisipasi sama sekali karena kurangnya waktu untuk mengerjakan penelitian.
Pada 2016, Yodha yang bercita-cita ingin menjadi guru atau dosen membuat blog Jiwa Rusia. Misinya adalah memperkenalkan budaya Rusia kepada orang Indonesia dengan bacaan-bacaan berbahasa Indonesia. Di situ, ia banyak menulis tentang sejarah, sastra dan informasi-informasi menarik tentang Rusia.
“Saya ingin orang Indonesia mengenal Rusia, bukan cuma Rusia yang ‘katanya’. Entah itu katanya film Hollywood, atau katanya media-media Barat yang sering menampilkan citra yang buruk, dan katanya Rusia itu komunis. Saya ingin mengubah pola pikir mereka dan mengenalkan seperti apa Rusia sebenarnya” jelas pemuda yang hobi membaca, menulis, dan melukis itu.
Penamaan Jiwa Rusia diambilnya karena menilai jiwa Rusia itu sulit dipahami. Baginya, jiwa Rusia itu sesuatu yang misterius dan berkaitan dengan budaya dan mentalitas orang Rusia.
Setelah lulus nanti, Yodha berharap bisa mengajar Bahasa Rusia di Indonesia. Menurutnya, jurusan Metode Pengajaran Bahasa Rusia untuk Penutur Asing yang diambilnya masih jarang di Indonesia. Itulah yang dibutuhkan di Indonesia, karena kebanyakan pengajar bahasa Rusia di Indonesia tidak memiliki dasar studi tersebut, melainkan hanya filologi, atau sastra, ujarnya. Sementara, pengajaran Bahasa Rusia untuk orang asing memerlukan ilmu khusus.
Selain itu, ia juga berharap lebih banyak orang Indonesia yang bisa berbahasa Rusia, sehingga bisa lebih mengenal Rusia lewat bahasanya. Mungkin bisa dengan mengajarkannya di sekolah-sekolah. Ia bermimpi untuk mengabdi di almamaternya, UI. Namun, jika kesempatan itu belum terbuka, ia memikirkan opsi lain seperti membuat tempat mengajar sendiri.
Yodha bercita-cita mendirikan Pusat Ilmu Pengetahuan dan Budaya Rusia, tapi tidak seperti yang ada di Jakarta saat ini. Menurut pandangannya, untuk menjelaskan budaya Rusia kepada orang Indonesia lebih mudah menggunakan bahasa Indonesia. Sementara, yang ada di Jakarta sekarang dikelola oleh orang Rusia, sehingga terkadang sifat-sifat kerusiaannya masih dominan. Selain itu, ia tidak ingin mendirikannya di Jakarta, agar orang-orang di daerah lain juga bisa tahu tentang Rusia.
Ia menganalogikan dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan orang Indonesia dengan pengetahuan tentang Rusia. Mengetahui informasi yang sebenarnya tentang Rusia akan mempererat persahabatan kedua bangsa sehingga keduanya bisa saling memahami, bekerja sama, dan saling membantu ketika ada yang membutuhkan.
Menurutnya, dengan berkomunikasi dalam satu bahasa, entah itu dalam bahasa Indonesia atau Rusia, orang Indonesia dapat memperoleh informasi langsung dari sumbernya, tidak melalui perantara. Mengetahui Rusia dari informasi media-media berbahasa Inggris tentunya sudah dibumbui ideologi media yang bersangkutan.
“Ketika bisa saling berkomunikasi dalam satu bahasa, entah itu dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya, mereka bisa mendapatkan informasi langsung dari sumbernya, tidak lewat perantara. Kalau kita mengetahui Rusia dari media-media berbahasa Inggris tentu ada ideologinya di sana. Misal itu dari Amerika, pasti ada ideologi dan kepentingan Amerika yang memengaruhi dalam menggambarkan Rusia,” terangnya.
Terkait dengan pernyataannya yang mengatakan bahwa menjelaskan tentang Rusia kepada orang Indonesia paling mudah menggunakan bahasa Indonesia, ia menilai RBTH Indonesia (Russia Beyond versi Indonesia) adalah media terbesar tentang Rusia yang akurat dan unggul, karena selain disajikan dari sudut pandang Rusia dalam bahasa Indonesia, mayoritas pengelolanya adalah orang Rusia yang ada di Rusia, bahkan juga ada yang bisa berbahasa Indonesia. Sementara, media lain kebanyakan mengambil sumber dari media-media Barat berbahasa Inggris, sehingga tidak memahami situasi yang sebenarnya.
“Sejauh yang saya tahu, (RBTH Indonesia -red.) media terbesar tentang Rusia yang disajikan dalam bahasa Indonesia, dan belum ada media lain yang membahas tentang Rusia dari sudut pandang Rusia. Ada media lain yang membahas Rusia, tapi mereka sebenarnya mengambil sumber dari media-media berbahasa Inggris, media Amerika, makanya mereka bisa jadi tidak terlalu paham akan situasi sebenarnya tentang Rusia. Sementara RBTH Indonesia, kebanyakan yang mengelolanya di Rusia, bahkan ada orang Rusianya sendiri yang bisa bahasa Indonesia, jadinya lebih akurat. Jadi jika dibandingkan dengan media-media lain, jelas RBTH lebih unggul.
Artikel ini adalah bagian dari seri “Kuliah di Rusia” yang mengulas kisah dan pengalaman para pelajar Indonesia di Negeri Salju.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda