Hampir 21 tahun yang lalu, tepatnya pada 12 Agustus 2000, kapal selam nuklir Armada Utara Rusia yang paling modern, Kursk, mengalami bencana saat menjalani latihan rutin militer. Dua ledakan yang hanya terpaut dua menit membuat kapal selam itu dan seluruh awaknya yang berjumlah 118 orang tewas di dasar Laut Barents.
Ledakan itu langsung menewaskan 95 awak kapal, sementara 23 kapal selam yang tersisa berhasil selamat dari dua ledakan tersebut. Mereka lalu berlindung di kompartemen buritan dan berhasil bertahan hidup selama delapan jam.
Masyarakat baru mendengar tentang kecelakaan itu dua hari kemudian setelah media melaporkan: “Telah terjadi kecelakaan di Laut Barents. Sebuah kapal selam tergeletak di dasar laut."
Pada hari yang sama, komando Armada Utara mengumumkan bahwa kontak dengan awak telah dilakukan dan menurut temuan awal telah terjadi kerusakan di kapal.
Selama beberapa hari berikutnya, kapal selam penyelamat mencoba dan gagal mengaitkan diri dengan Kursk akibat arus bawah air yang kuat, jarak pandang yang buruk, dan sudut kemiringan kapal selam. Pada 21 Agustus, barulah tim penyelamat berhasil membuka palka dan mendapatkan akses ke kapal selam dengan bantuan ahli asing.
Kaus pidana atas hilangnya kapal selam Kursk dan kematian 118 awaknya ditutup pada 2002, karena tidak adanya corpus delicti ‘bukti kejahatan’. Penyelidikan menyimpulkan, kecelakaan itu disebabkan oleh ledakan torpedo peroksida yang rusak sehingga menimbulkan kebakaran yang memicu ledakan hulu ledak.
Setelah 15 tahun berlalu, ketika Russia Beyond the Headline (RBTH — kini Russia Beyond) mewawancarai keluarga awak Kursk untuk menulis artikel ini, mereka mengatakan bahwa masih butuh waktu yang lama untuk mengetahui kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi.
“Pada saat-saat terakhir, kami percaya bahwa itu tidak benar-benar terjadi”
“Jika Anda ingin tahu seperti apa rupa suami saya, ini salinan persisnya,” kata Lidia Panarina, ibu dari letnan senior Andrei Panarin, sambil menunjuk ke arah putrinya, Olga.
Keluarga Panarin khawatir bahwa setelah wajib militernya dia akan berakhir di Chechnya, Ossetia atau Abkhazia, yang kemungkinan besar terjadi pada masa-masa sulit itu. Namun, Panarin beruntung. Dia memasuki perguruan tinggi militer dan kemudian dikirim untuk bertugas di Armada Utara, ke Vidyayevo, pangkalan Kursk sekaligus tempat kapal selam itu bertolak untuk pelayaran terakhirnya.
Keluarga Panarin mendengar tentang tragedi itu dari berita, saat belum digambarkan sebagai tragedi. Mereka bahkan tidak tahu bahwa putra mereka berada di kapal selam nahas itu.
“Kami yakin dia ada di ‘Voronezh’, kapal selam yang mirip dengan Kursk, tetapi sedikit lebih tua,” kata ibu Panarin. “Kami menelepon ke sana, tetapi diberi tahu bahwa Andrei tidak ada. Saat kami mengetahui bahwa dia ada di Kursk, kami langsung bertolak ke Vidyaevo dan tiba di sana pada 19 Agustus."
“Sebenarnya, kami pergi ke sana dengan harapan mereka semua masih hidup. Kami hanya ingin membawanya pulang untuk memberinya dukungan,” kata Olga.
Di Vidyayevo, semua orang berjalan dengan jarum suntik dan gelas obat.
“Saya tidak merasa sakit, tapi Olga terus mengatakan kepada saya: 'Ambillah.' Saya berharap Andrei akan muncul. Saya tidak ingin terlihat lemah dan sakit di depannya,” ujar ibu Panarin.
Putrinya melanjutkan: “Dia adalah orang yang sangat ceria. Dia selalu berhasil keluar dari situasi sulit tanpa cedera. Pada saat-saat terakhir, kami percaya bahwa itu tidak benar-benar terjadi dan dia akan berhasil keluar dari sana."
Pada 25 Oktober 2000, penyelam menemukan 12 mayat dari kompartemen sembilan, di buritan kapal selam. Sementara, mayat Panarin yang berada di kompartemen empat bersama dengan yang lain baru ditemukan setahun kemudian dan tiga awak sisanya tidak pernah ditemukan.
"Kami diberi tahu bahwa mereka masih hidup"
Sofia Dudko sedang duduk di apartemennya di Sankt Peterburg, memegang sebuah buku berjudul Pomnim ikh poimenno ‘Kami Mengenang Mereka dengan Namanya’. Dia menghabiskan beberapa tahun mengumpulkan uang untuk menerbitkan buku itu. Pada akhirnya, sumbangan dari veterang kapal selamlah yang memungkinkan penerbitan bukunya itu.
“Memori adalah hal terpenting. Saya sendiri terburu-buru untuk melakukan yang saya bisa agar mereka semua dikenang,” ujar Dudko.
Dinding kamarnya yang terang penuh dengan foto putranya, Sergei, yang merupakan orang nomor dua di kapal Kursk. Pusat perhatian utama di kamar itu adalah gambar kapal selam di laut. Kopernya yang masih terbuka ada di aula. Dia, bersama dengan 17 orang lainnya, baru saja kembali dari Vidyayevo, tempat mereka disambut seperti pengunjung yang sangat penting, bahkan dengan diiringi musik yang diatur secara khusus untuk acara tersebut.
Beberapa keluarga mendiang awak Kursk tinggal di blok apartemen yang berada tak jauh satu sama lain. Setelah kecelakaan itu, semua keluarga korban diberi apartemen di lingkungan yang baru dibangun di Sankt Peterburg atas perintah Presiden Rusia Vladimir Putin. Dudko enggan mengingat Agustus 2000.
“Kami terus-menerus berkumpul di Aula Petugas dan terus-menerus diberitahu bahwa kontak dengan kapal selam telah terjalin, mereka masih hidup, dan sedang diberi pasokan oksigen …” katanya.
Kesimpulan yang didapat dari penyelidikan membuatnya tidak yakin. Dudko terus percaya bahwa operasi penyelamatan itu terlalu lambat dan Rusia terlalu lama membuang waktu untuk menerima bantuan asing (Moskow baru setuju pada hari ketiga setelah tawaran dibuat oleh beberapa negara pada waktu yang sama -red)“ karena yang paling diutamakan adalah menyelamatkan kerahasiaan, bukan orang-orang”.
Sejauh yang dia ketahui, pertanyaan tentang apakah mungkin menyelamatkan setidaknya seseorang dari Kursk dalam beberapa hari pertama sudah lama sirna.
“Lalu apa alasan catatan Andrei Borisov tidak diberikan kepada jandanya, meskipun dia telah menuntutnya bahkan melalui pengadilan? Saya baru tahu bahwa surat itu bertanggal 15 Agustus. Para awak kapal itu masih hidup sampai 15 Agustus,” kata Dudko.
Misi Penyelamatan
Pada musim gugur tahun 2000, Andrei Zvyagintsev, yang memimpin tim penyelam dari Tim Penyelamat Ekspedisi ke-328 Angkatan Laut Rusia, adalah orang pertama yang memasuki Kursk yang terbaring 110 meter di bawah air dan menemukan jenazah 12 awaknya. Dia juga turut ambil bagian dalam operasi pengangkatan Kursk, sebagai bagian dari gugus tugas internasional
“Kursk ditemukan pada waktu yang tepat (pada 21 Agustus -red), tetapi yang ditemukan itu adalah kapal selam yang sudah mati. Namun, itu tidak ada hubungannya dengan kecepatan operasi pencarian,” kata Zvyagintsev.
Menurutnya, armada tersebut memiliki penyelam terbaik di dunia, tetapi tidak memiliki sarana teknis untuk membawa mereka ke kedalaman yang dibutuhkan. Pada akhirnya, operasi pembukaan palka dilakukan dengan bantuan kendaraan asing dan penyelam Norwegia. Pada musim gugur, tim tersebut diikuti oleh para ahli dari Rusia, Inggris, Irlandia, dan Amerika Serikat.
“Kami turun bersama-sama sedalam 110 meter di bawah air dalam satu ruang dekompresi dan tinggal di sana selama 28 hari tanpa naik ke permukaan. Itu adalah kondisi yang sangat sulit. Apa artinya kedalaman 110 meter? Itu sama saja dengan beban 110 kilogram menekan setiap sentimeter tubuh Anda,” ujarnya.
Sebelum operasi dimulai, para penyelam berlatih di kapal selam lain. Mereka mempelajarinya dengan sangat mendetail agar dapat beroperasi dengan mengandalkan ingatan mereka dan dengan mata tertutup. Mereka sadar bahwa di kedalaman Kursk terbaring, mereka akan beroperasi dalam kegelapan total.
Rusia menghabiskan sekitar $70 juta (sekitar Rp718,5 miliar dengan kurs Rp10.265 pada 2001) untuk mengangkat Kursk dari dasar laut. Itu adalah pilihan "yang paling optimal" dari pilihan-pilihan yang diusulkan, menurut Zvyagintsev, yang menunjukkan bahwa itu adalah operasi yang unik. "Tak seorang pun di dunia ini yang melakukan hal seperti itu," ujarnya berulang kali.
“Faktanya, kami menunjukkan kekuatan Federasi Rusia. Kami menunjukkan bahwa kami setia pada kata-kata kami. Itu adalah kapal selam kami dan tidak ada orang lain selain kami yang seharusnya mengangkatnya,” tegasya.
Pergeseran Mentalitas
Zvyagintsev mengatakan, apa yang dia lihat saat berada di dalam Kursk pada kedalaman 110 meter di bawah air sejalan dengan kesimpulan penyelidikan: “Bagi saya, teori tentang ledakan torpedo itu paling masuk akal. Saya percaya memang itulah yang terjadi karena saya melihat situasi di dalam dan saya merekam semuanya. Kita bisa menghabiskan waktu sebanyak yang kita mau untuk membicarakan semua teori lain, termasuk tabrakan dengan kapal selam lain."
Pada 2005, Roman Kolesnikov, ayah dari letnan komandan Dmitry Kolesnikov yang meninggal di kompartemen sembilan, mengajukan gugatan kolektif ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa di Strasbourg, menuntut penyelidikan penuh atas hilangnya kapal selam tersebut. Namun, dia mencabut gugatannya itu pada 2009 tanpa menjelaskan alasannya.
Saat itu, janda komandan Kursk Gennady Lyachin, Irina Lyachina, menentang gugatan tersebut.
“Sulit untuk dijelaskan,” kenang Lyachina (pada 2015). “Gugatan itu seharusnya dilakukan saat itu, ketika semuanya masih begitu dekat, masih sakit, dan berdarah-darah. Saya bahkan tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup. Saat itu, orang-orang membutuhkan waktu untuk pulih. Itulah alasan saya menentangnya."
Ketika ditanya apakah saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengajukan pengaduan ke pengadilan internasional, Lyachina menjawab bahwa mereka yang ingin, berhak untuk melakukannya. Namun dia tidak yakin, apakah itu akan membuat mereka merasa lebih baik.
“Apa gunanya? Untuk memahami kebenaran, menghukum seseorang atau untuk mengubah sesuatu?” tanyanya.
Dia tidak memiliki ilusi sejauh menyangkut kebenaran: "Untuk memudahkan Anda memahami, ayah saya di militer, suami saya di militer, anak saya di militer. Jadi, saya sangat mengerti bahwa bahkan cucu saya tidak akan dapat menemukan kebenaran tentang kematian mereka. Yang paling penting bagi saya adalah bahwa para awak kapal tidak bersalah atas apa pun."
Semua kerabat awak Kursk yang dapat dihubungi RBTH mengatakan hal yang sama: Hilangnya kapal selam dan semua awaknya menjadi titik balik dalam kehidupan di negara ini. Pemerintah mulai memberikan perhatian lebih kepada angkatan bersenjata, sementara orang-orang menjadi sedikit berbeda, bahkan orang-orang yang tidak pernah ada hubungannya dengan militer.
“Hanya saja, terjadi pergeseran mentalitas, termasuk mentalitas pemerintah juga. Kita tidak mungkin terus hidup seperti dulu, tetapi harus hidup berbeda,” kata Sofia Dudko.
Selain apartemen baru, Presiden Rusia Vladimir Putin juga memerintahkan agar keluarga masing-masing awak Kursk menerima kompensasi sebesar 720.000 rubel (sekitar Rp246 juta — nilai tukar dolar AS pada 2001 adalah 30 rubel dan Rp10.265)
Jumlah total kompensasi yang dibayarkan adalah 84.960.000 rubel, atau sekitar Rp28,7 miliar. Perusahaan asuransi militer membayar 19.628.505 rubel (sekitar Rp6,7 miliar) sebagai kompensasi, dengan jumlah yang tergantung pada pangkat para korban. Sekitar 18 juta rubel (sekitar Rp6,2 miliar) disumbangkan ke yayasan amal, bersama dengan sekitar $267.000 (Rp2,7 miliar) dan 2.000 mark Finlandia.
Sumbangan tersebut sebagian dibagikan kepada keluarga dan sebagian lagi digunakan untuk mendanai berbagai acara peringatan. Yayasan amal lain, yang didirikan oleh komando Armada Utara, menerima sumbangan sebesar 100,7 juta rubel (sekitar Rp33,9 miliar), $23.169 (sekitar Rp238 juta), dan 1.250 mark Jerman.
Selain itu, sumbangan diberikan oleh pemerintah daerah masing-masing, dari 30.000 hingga 165.000 rubel (sekitar Rp10 juta—Rp57 juta) per keluarga (tergantung pada wilayahnya). Sementara, negara lain mengundang janda dan anak-anak kapal selam Kursk untuk liburan. Palang Merah Jerman dan Museum Maritim Berlin mengumpulkan 50.000 mark Jerman untuk para janda, sedangkan Kedutaan Besar Tiongkok menyumbangkan $20.000 (sekitar Rp205 juta).