Pada 1921, Lenin menulis surat kepada rekannya, penulis terkemuka Uni Soviet Maxim Gorky, sebuah kalimat yang terkenal: ‘Saya sangat lelah hingga saya tak bisa melakukan apa-apa’.
Kendati demikian, menurut saudara perempuan Lenin, Maria Ulyanova, ia terkadang masih menjalani aktivitas padat — menghadiri setidaknya 40 agenda pertemuan dan rapat, serta menemui puluhan orang dalam sehari.
“Dari pertemuan-pertemuan Sovnarkom [badan eksekutif di pemerintahan Uni Soviet], Vladimir Ilyich pulang ke rumah larut malam, atau lebih tepatnya dini hari pukul 2, benar-benar kelelahan dan wajahnya pucat,” kenang Ulyanova.
“Kadang-kadang ia bahkan tidak ada tenaga lagi untuk berbicara, tak mau makan, dan hanya menuangkan secangkir susu panas untuk dirinya sendiri, lalu meminumnya sambil berjalan-jalan di dapur — tempat kami biasa makan malam.”
Liverij Darkshevich, profesor yang memeriksa kondisi kesehatan Lenin pada Maret 1922, mencatat ‘sejumlah gejala neurasthenik yang sangat parah, yang membuatnya kehilangan kemampuan untuk bekerja seperti yang pernah ia lakukan sebelumnya’ dan ‘sejumlah gangguan yang sangat mengkhawatirkan’.
Namun, yang dikhawatirkan Lenin saat itu adalah kehilangan kewarasannya. “Tentunya gejala ini tak mengancam kegilaan?” tanya Lenin kepada sang profesor.
Pertama kali terkena stroke usai peluru dikeluarkan dari tubuhnya
Pada April 1922, Lenin mengalami sakit parah yang membuat para dokter menduga ia mengalami semacam keracunan imbas peluru timah yang bersarang di tubuhnya. Peluru itu berasal dari upaya pembunuhan terhadap Lenin oleh Fanny Kaplan, anggota Partai Revolusioner Sosialis, pada 30 Agustus 1918.
Seorang akademisi dan ahli bedah, Yuri Lopukhin, berpendapat bahwa operasi mengeluarkan peluru dari tubuh Lenin sangat riskan dan justru dapat membahayakan dirinya sendiri.
“Keputusan itu sangat kontroversial dan meragukan, mengingat empat tahun telah berlalu sejak percobaan pembunuhan itu. Pada saat itu, peluru sudah dikelilingi oleh lapisan pelindung, dan, seperti yang diyakini oleh profesor Vladimir Rozanov (salah satu dokter Lenin), operasi untuk mengeluarkan peluru tersebut akan lebih banyak mendatangkan mudarat daripada manfaat,” tulis Lopukhin.
Namun, Lenin memercayakan seorang ahli bedah asal Jerman, Borchardt, dan tetap menjalani operasi itu pada 23 April 1922. Empat hari setelahnya, Lenin sudah beraktivitas seperti biasa dan menghadiri pertemuan Politbiro.
Lenin terus menjalani rutinitasnya dan bekerja secara produktif selama satu bulan berikutnya — hingga sebuah malapetaka menerpa. Lenin untuk pertama kalinya terkena stroke saat sedang berada di kediaman desanya di Gorki (berjarak 7 km dari Moskow).
Sejak terjangan stroke itu terjadi, Lenin mulai kehilangan kemampuannya untuk berbicara — dan secara bertahap, ia tidak lagi mampu membaca dan menulis. Tangan kanan Lenin juga tidak bisa dikendalikan.
Pada 29 Mei 1922, sebuah pertemuan sekelompok dokter dan spesialis ulung yang merawat Lenin digelar. Mereka yang hadir antara lain ahli saraf terkemuka di Uni Soviet Grigory Rossolimo dan Komisaris Kesehatan Rakyat Nikolai Semashko.
Mereka tidak dapat memahami asal-muasal penyakit Lenin, tetapi berasumsi bahwa kemungkinan itu adalah arteriosklerosis — penyumbatan pembuluh darah dari arteri ke otak. Dalam kasus Lenin, keberadaan peluru di tubuhnya itu yang telah menghambat aliran darah.
Terlepas dari asumsi tersebut, para dokter terkejut atas fakta bahwa daya pikir Lenin tetap berfungsi sepenuhnya dan ada kemajuan singkat dalam tubuhnya.
Lenin Minta Dibawakan Racun oleh Stalin
Sehari setelah pertemuan para dokter digelar, Lenin meminta koleganya, Josef Stalin, untuk datang menemuinya di Gorki. Sebagaimana yang ditulis Lopukhin, Lenin meminta bantuan Stalin untuk bisa mengakhiri hidupnya.
“Mengetahui karakter Stalin yang tegas, Lenin memintanya untuk membawa racun (sianida) untuk mengakhiri hidupnya,” ungkap Lopukhin.
Namun, Stalin berhasil membujuk Lenin untuk menjalani pengobatan. Saat musim panas 1922, hasil pengobatan mulai menunjukkan kemajuan dan kondisi Lenin membaik. Pada Juni, ia diizinkan bangun dari tempat tidur — bahkan, menurut perawat Lenin, Petrasheva, ia sempat berdansa dengannya.
Kendati demikian, gejala penyakit Lenin kembali muncul dan terus berlanjut sepanjang musim panas, hingga tubuhnya terkadang kehilangan keseimbangan. Pada 4 Agustus, Lenin mengalami kejang-kejang dan tidak bisa berbicara usai menerima suntikan arsenik — yang biasa digunakan untuk mengobatinya.
Kondisi memburuk setelah kembali bekerja
Kurang lima bulan setelah stroke, Lenin kembali bekerja di Moskow pada Oktober 1922. Para dokter yang merawatnya yakin, Lenin sudah pulih sepenuhnya. Namun, Lenin mengakui bahwa meski ia sehat tapi ia merasa dirinya tidak lagi sama.
“Secara fisik saya merasa sehat, tetapi saya tidak lagi memiliki kesegaran pikiran yang sama. Saya telah kehilangan kemampuan saya untuk bekerja untuk waktu yang cukup lama,”.
Lenin tetap berusaha kembali bekerja seperti biasa, ia menghadiri banyak pertemuan Dewan Komisar Rakyat, Kongres, dan berbagai pertemuan kampanye. Namun, staminanya mulai menurun pada 7 Desember 1922 ketika menuju Moskow dari Gorki.
Pada 12 Desember, Lenin kembali mengalami kejang-kejang dan serangan stroke saat berada di Moskow. Setelah itu, Lenin mengalami kelumpuhan di sisi kanan tubuhnya.
Pada 24 Desember 1922, Stalin mengadakan pertemuan untuk membahas kondisi kesehatan Lenin dengan para pemimpin Uni Soviet termasuk Lev Kameneve, Nikolai Bukharin, dan para dokter yang merawat Lenin.
Mereka memutuskan untuk menjauhkan Lenin dari berita-berita mengenai dunia politik supaya tidak mengganggu ketenangan yang diperlukan Lenin. Ia bahkan dilarang menerima tamu.
Di tengah perjuangannya melawan penyakit, Lenin tetap berusaha produktif — ia masih tetap mendiktekan catatan dan surat-surat dengan bantuan orang lain hingga 9 Maret 1923, ketika ia mengalami gejala stroke ketiganya. Lenin lagi-lagi tidak bisa berbicara dan setelah itu ia tidak pernah lagi kembali bekerja.
Pada musim panas 1923, di bawah pengawasan Nadezhda Krupskaya Lenin dituntun untuk kembali melatih kakinya untuk berjalan, mengambil benda-benda, dan mengucapkan kata-kata secara perlahan.
“Sekarang, ia banyak berjalan (dengan bantuan) dan mandiri, bersandar di pagar, naik dan turun tangga. Suasana hatinya sangat baik, dan sekarang dia melihat bahwa dia sudah pulih,” ungkap Krupskaya. Moskow mengunjungi Moskow untuk terakhir kalinya pada 18 hingga 19 Oktober, setelah itu ia menikmati masa ‘pensiun’nya di Gorki, yang kini dinamai sebagai Gorki Leninskiye.
Status rahasia dokumen tentang kematian Lenin akan berakhir tahun ini
Perjuangan Vladimir Lenin melawan stroke berakhir usai ia mengembuskan napas terakhirnya di usia 53 tahun pada 21 Januari 1924. Otopsi dilakukan keesokan harinya di Gorki pada pukul 11 malam.
Ini adalah misteri paling penting dari kematian Lenin — mengapa jasad pendiri Uni Soviet ini tidak dibawa ke Moskow, yang punya fasilitas medis terbaik untuk melakukan otopsi? Dan mengapa mereka melakukan otopsi di sebuah dacha (vila pedesaan) di Gorki?
Ada dua versi untuk menjawab penyebab kematian Lenin: aterosklerosis dan sifilis. Namun, 100 tahun setelah kematiannya, masih tidak ada suatu jawaban pasti. Lopukhin berpendapat bahwa penyebab kematian Lenin adalah penyumbatan pembuluh darah ke otak akibat upaya pembunuhannya pada 1918.
Banyak dokumen arsip tentang kematian dan penyakit Lenin yang masih dirahasiakan atas permintaan keponakannya, Olga Dmitrieva Ulyanova (1922-2011). Namun, status rahasia dokumen tersebut akan berakhir pada 2024.
Seperti apa kepribadian Vladimir Lenin? Cari tahu di sini!
Pembaca yang budiman,
Situs web dan akun media sosial kami terancam dibatasi atau diblokir lantaran perkembangan situasi saat ini. Karena itu, untuk mengikuti konten terbaru kami, lakukanlah langkah-langkah berikut:
- ikutilah saluran Telegram kami;
- berlanggananlah pada newsletter mingguan kami; dan
- aktifkan push notifications pada situs web kami.