Mengapa Inggris Menyerang Rusia pada 1918?

Sejarah
BORIS EGOROV
Tentara Kerajaan Inggris bertempur melawan Tentara Merah di Rusia utara dan selatan, Asia Tengah, Kaukasus, serta Timur Jauh. Bentrokan juga terjadi di Tsaritsyn, yang beberapa dekade kemudian dikenal dunia sebagai Stalingrad.

Intervensi Kekuatan Entente Tiga di Rusia pada akhir Perang Dunia (PD) I tidak ada hubungannya dengan ketakutan dan kebencian terhadap komunisme (walaupun sentimen seperti itu pasti ada). Alasan utamanya adalah kebijakan Bolshevik, yang baru saja meraih kekuasaan dan bertekad untuk menarik Rusia keluar dari perang melawan Blok Sentral.

London dan Paris khawatir dengan prospek gencatan senjata antara Soviet Rusia dan Jerman yang akan membebaskan ratusan ribu tentara Kaiser (sebutan tentara Jerman pada PD I) untuk ditempatkan di Front Barat. Mereka percaya, cara terbaik untuk mencegah skenario seperti itu adalah dengan mendukung kekuatan Putih (pendukung Kekaisaran Rusia) yang muncul sebagai penentang kekuatan Bolshevik dalam perang sipil yang baru terjadi. Sebagian besar pemimpin gerakan Putih sangat ingin melawan Jerman sampai titik darah penghabisan, tetapi kemenangan tak berpihak kepada mereka. Alhasil, Inggris dan Prancis pun sepakat untuk turun tangan.

Pada 23 Desember 1917, Inggris dan Prancis menandatangani kesepakatan tentang intervensi bersama di Soviet Rusia dan pembagiannya wilayah pengaruh. Tentara Inggris pertama mendarat di pelabuhan utara Rusia pada musim semi 1918, segera setelah berakhirnya perjanjian damai antara Jerman dan Bolshevik di Brest-Litovsk pada 3 Maret. Pasukan Yang Mulia Raja George V juga melakukan serangan ke wilayah-wilayah selatan Rusia — Transkaukasus,Asia Tengah, dan di Timur Jauh. 

“ Saya membayangkan sebuah jalan masuk yang brilian ke ibu kota Rusia dan putri agung bisa diselamatkan dari revolusi,” tulis seorang mayor Inggris kemudian.

Namun, para pemimpin Inggris tidak berniat untuk terlibat penuh dalam konflik yang pada akhirnya berujung menjadi Perang Sipil Rusia itu. Mereka bermaksud mendukung sekutu Putih mereka, tetapi dengan pertumpahan darah sesedikit mungkin pada pihak mereka. Ketidakjelasan misi menimbulkan kesalahpahaman di antara pasukan. Bob Vincent dari Resimen Royal Yorkshire yang bertugas selama setahun penuh di selatan Rusia, mengenang bahwa dia “tidak pernah benar-benar bertemu orang Rusia sama sekali dan tidak tahu mengapa dia berada di sana.”

Pasukan Britania Raya lebih banyak terlibat dalam pengorganisasian dan pelatihan formasi anti-Bolshevik. Di utara, misalnya, mereka membantu menciptakan sejumlah legiun, seperti legiun Karelia, Sekutu Slavo-Inggris, dan Murmansk. Legiun Murmasnk berisi para prajurit Tentara Merah yang ditangkap. Di Rusia selatan, perwira Inggris memberikan pelatihan artileri dan tank. Selain itu, mereka juga bertugas di markas besar "Penguasa Tertinggi Rusia", Laksamana Kolchak, di Siberia.

Bantuan besar bagi Tentara Putih adalah pasokan senjata dan amunisi dari London. Angkatan Bersenjata Rusia Selatan (AFSR) yang dipimpin oleh Jenderal Anton Denikin saja menerima peralatan yang cukup untuk hampir setengah juta tentara (meskipun pasukannya tidak melebihi 300.000 orang), serta 1.200 artileri, 6.100 senapan mesin, 200.000 senapan, 74 tank, dan masih banyak lagi senjata lainnya.

Namun demikian, pasukan Inggris tetap bertempur secara berkala dengan Tentara Merah. Pada 9 Oktober 1918, mereka berhasil mengusir garnisun Soviet yang menduduki bekas Stasiun Dushak di Turkmenistan modern. Kemudian, pada bulan berikutnya, pasukan Inggris, Kanada, dan Amerika berhasil mempertahankan diri selama empat hari di Desa Tulgas, Rusia utara, melawan Tentara Merah dan hanya kehilangan lebih dari 30 orang. Lalu, pada musim panas 1919, kru tank dan pilot Inggris ikut serta dalam penyerbuan Tsaritsyn (Stalingrad).

Pada akhir 1918, tujuan awal intervensi sudah tak lagi relevan. Kekhawatiran London tentang perdamaian Soviet-Jerman dan pemindahan pasukan Kaiser (sebutan tentara Jerman pada PD I) ke Barat tidak terwujud karena Jerman terjebak di reruntuhan bekas Kekaisaran Rusia dan tidak dapat memanfaatkan peluang yang muncul dengan sendirinya. Penutupan Gencatan Senjata di Le Francport dekat Compiègne pada 11 November 1918, yang berarti penyerahan diri tanpa syarat Jerman, menimbulkan pertanyaan tentang kegunaan tentara Inggris yang bertempur dan menyetor nyawa di Rusia yang dingin jauh.

"Berperang saat ini, ketika ada perdamaian di front lain, (itu) sungguh keterlaluan!" tulis seorang insinyur militer Inggris.  

Pada kenyataannya intervensi terus berlangsung dengan alasan memerangi Bolshevisme, yang menyebabkan meningkatnya ketidakpuasan masyarakat Inggris. Pada Januari 1919, kaum sosialis Inggris meluncurkan kampanye besar-besaran di bawah spanduk “Lepaskan Rusia!” Pada saat yang sama, sebuah judul di surat kabar The Daily Express bergemuruh, ”Dataran beku di Eropa timur tidak sebanding dengan tulang belulang seorang grenadier.”   

Pendukung utama di dalam pemerintah Inggris untuk melanjutkan intervensi adalah menteri perang yang sangat anti terhadap komunisme, Winston Churchill. Dia menegaskan, “Bolshevisme bukan pemikiran politik,  tetapi penyakit.” Pers menggambarkan secara terang-terangan keterlibatan Inggris dalam urusan Rusia sebagai "perang pribadi Tuan Churchill," tetapi dia tidak berdaya ketika AFSR dikalahkan di Moskow dan harapan Tentara Putih untuk menang dalam Perang Sipil mencair seperti kepingan salju.

Seperti pasukan Kekuatan Entente lainnya, pasukan Inggris pada akhirnya ditarik secara bertahap dari Rusia. Meskipun London baru mengakui Uni Soviet secara resmi pada 1924, Perdana Menteri Inggris David Lloyd George telah memulai pembicaraan rahasia dengan pemerintah Soviet pada November 1920, dengan maksud melanjutkan hubungan perdagangan karena menyadari siapa penguasa sesungguhnya negara itu.

Banyak orang Rusia menganggap Amerika sebagai musuh, sebaliknya banyak orang Amerika yang curiga akan kepemimpinan politik Rusia.