Pada 5 Juli lalu sebelum balapan F1 GP Austria, para pembalap berlutut sebagai bentuk protes terhadap rasialisme dan diskriminasi yang akhir-akhir ini terjadi di AS. Meski begitu, lima pembalap tetap berdiri.
Di antara pembalap yang menolak berlutut adalah satu-satunya pembalap F1 Rusia, Daniil Kvyat. Akibatnya, ia dikritik habis-habisan oleh warganet. Beberapa penggemarnya bahkan menuduh sikap pembalap tim AlphaTauri tersebut amat buruk.
Meski begitu, para penggemar Rusia Kvyat mengapresiasi dan memahami keputusan sang pembalap untuk tetap berdiri. Lantas, mengapa orang Rusia ogah berlutut?
“Kami tak melakukan kesalahan”
Pembalap F1 Rusia pertama Vitaly Petrov adalah salah satu yang langsung pasang badan membela rekan pembalapnya.
“Saya percaya tiap orang berhak mengekspresikan pandangannya. Tiap orang bisa mengekspresikan sikapnya dengan caranya masing-masing. Tiap orang berhak menentukan apakah ia harus berlutut atau tidak. Seruan berlutut ini dapat dimengerti, tetapi Anda tidak bisa begitu saja mencela seseorang yang tak sependapat dengan Anda,” kata Petrov.
Anggota parlemen Rusia dan mantan petinju kelas berat profesional Nikolay Valuev juga setuju bahwa, dalam pandangannya, sikap semacam itu tidak perlu. “Kami berlutut di hadapan bendera, Ibu Pertiwi, mungkin di depan orang tua kami. Saya tidak mengerti kenapa sikap ini justru dikaitkan dengan (solidaritas) rasialisme. Saya tidak mendukung rasialisme, tetapi mengapa saya harus berlutut? Saya sama sekali tak mengerti,” kata sang politikus.
Masyarakat umum dan penggemar F1 Rusia juga menyatakan dukungan mereka terhadap Kvyat.
“Daniil, semua (orang) di Rusia bersamamu,” tulis seorang salah seorang pengguna media sosial.
“Orang Rusia tidak berlutut,” tulis yang lain.
“Berlutut tak lantas menunjukkan bahwa seseorang menghormati orang-orang Afrika-Amerika seumur hidupnya. Buktikan dengan perbuatan, bukan gerakan,” tulis penggemar F1 lainnya.
“Jangan berlutut. Kalau ditanya, katakan bahwa orang Rusia tidak pernah merencanakan genosida dan tidak pernah memusnahkan bangsa lain. Kami tidak melakukan kesalahan sehingga harus berlutut,” tulis pengguna internet lainnya.
Tunduk pada khan
Orang Amerika dan Rusia menafsirkan berlutut dengan cara yang berbeda.
Sementara berlutut kini dianggap sebagai aksi protes terhadap diskriminasi ras di Negeri Paman Sam, kebanyakan orang Rusia justru berbeda pandangan.
Orang Rusia pada umumnya menafsirkan berlutut sebagai tanda penyerahan diri. Secara historis, pandangan ini berasal dari abad ke-13 dan ke-14 ketika tanah orang Rusia didominasi oleh Kekaisaran Mongol dan Gerombolan Emas.
Ketika Batu Khan, penguasa Mongol dan pendiri Gerombolan Emas, menyerbu Rus Kiev pada 1237 – 1242, kekuasaan pangeran-pangeran Rusia secara politis bergantung pada restu sang khan (gelar penguasa berdaulat yang banyak dipakai bangsa Mongolia).
Kala itu, pangeran-pangeran Rusia kerap melakukan perjalanan jauh demi berlutut pada khan yang agung. Kadang-kadang, para pangeran Rusia dipaksa berlutut di hadapan orang-orang asing. Di sisi lain, berlutut di hadapan khan mirip dengan tradisi penghormatan abad pertengahan, sebuah upacara ketika seorang bawahan/pengikut bersumpah setia, menghormati, dan tunduk pada tuannya.
Ketika Pertempuran Besar antara pasukan Ivan III dari Rusia dan pasukan Akhmat Khan di Sungai Ugra mengakhiri kekuasaan Tatar-Mongol atas Moskow pada 1480, praktik berlutut kepada khan otomatis berhenti.
Berabad-abad kemudian, ketika kaum bangsawan Rusia muncul sebagai suatu kelas sosial, berlutut di hadapan siapa pun dianggap sebagai sesuatu yang memalukan. Selain merusak reputasi, asal-usul kebangsawanan orang itu pun bisa jadi diragukan.
Pesyair Rusia Aleksandr Pushkin menggambarkan rasa hina yang dirasakan seorang bangsawan gara-gara dipaksa berlutut dalam novelnya, Kapitanskaya Dochka (Putri sang Kapten), sebagai berikut:
Saya dibawa lagi ke Pretender dan dipaksa berlutut di hadapannya. Pougatcheff mengulurkan tangannya yang berurat ke arahku.
“Cium tangannya, cium tangannya!” semua orang berseru.
Seharusnya aku lebih baik mati dengan cara yang paling menyakitkan daripada dihina semacam ini.
Tak seperti berlutut, tradisi бить челом (bit chelom, ‘bersujud) lebih diterima dan tersebar luas di Rusia kuno. Pada awalnya, tradisi ini merujuk pada tunduk secara harfiah kepada otoritas yang lebih tinggi. Sikap semacam ini dianggap sebagai tanda penghormatan tertinggi. Seiring waktu, bit chelom mengalami perluasan makna: membungkuk, mengemis atau memohon sesuatu, dan menyapa seseorang.
Dalam bahasa Rusia, frasa itu sering kali digunakan secara tertulis dalam korespondensi pribadi sebagai bentuk salam dan ungkapan rasa hormat dan sikap yang terpuji.
Kini, kebanyakan orang Rusia modern menganggap berlutut sebagai isyarat memelas atau permohonan belas kasihan kepada otoritas yang lebih tinggi. Inilah yang membedakan persepsi berlutut dalam budaya Amerika dan Rusia.
Dewasa ini, orang Rusia yang menolak berlutut tak serta-merta mendukung rasialisme. Lagi pula, pembalap F1 Rusia Daniil Kvyat mengenakan kaus bertuliskan “AKHIRI RASIALISME”.
Orang Rusia menilai pertemanan dengan sangat serius. Karena itu, ada beberapa cara untuk menggambarkan hubungan keakraban dalam lingkaran pertemanan, tergantung pada tingkat kedekatan dan situasi.