Tujuh puluh tahun lalu, situasi di Timur Tengah sangat tegang. Letusan bom dan bentrokan berdarah terjadi hampir setiap minggu. Inggris, yang telah memerintah Palestina sejak 1920, ingin mengakhiri Mandat Britania atas Palestina dan membiarkan daerah bekas koloni tersebut merdeka. Namun, tak diragukan lagi bahwa kemerdekaan justru akan meningkatkan pertumpahan darah dan peperangan.
Mandat Britania atas Palestina adalah sebuah wilayah di Timur Tengah dari 1920 hingga 1948 yang kini terdiri atas wilayah Yordania, Israel, dan wilayah-wilayah yang diperintah Otoritas Palestina, yang sebelumnya merupakan wilayah Kesultanan Utsmaniah.
Ketegangan meningkat antara orang-orang Arab Palestina (1,2 juta orang atau 65 persen dari total populasi) dan para pemukim Yahudi (608 ribu orang atau 35 persen dari total populasi). Orang-orang Arab tak menghendaki berdirinya sebuah negara Yahudi di Palestina dan mengancam akan “melemparkannya ke laut” jika ada yang berani mendirikannya. Namun, orang-orang Yahudi, yang baru saja menderita akibat Holokaus (genosida terhadap sekitar enam juta orang Yahudi Eropa selama Perang Dunia II), siap berjuang untuk mendirikan tanah air mereka.
Meski begitu, mereka membutuhkan dukungan diplomatik dan ekonomi. Ternyata, pucuk dicinta, ulam tiba. Stalin, yang berambisi memperluas pengaruh Soviet setelah kemenangan dalam Perang Dunia II, siap menawarkan dukungan kepada orang-orang Yahudi.
Kesamaan Tujuan
Stalin sebenarnya tak tertarik untuk mempromosikan kepentingan Yahudi di Palestina. Dia telah meluncurkan beberapa proyek untuk memberi otonomi nasional kepada orang-orang Yahudi Soviet di dalam perbatasan Uni Soviet. Sayangnya, proyek itu gagal. Meski demikian, Stalin tak membiarkan warga Yahudi Soviet pindah ke Israel.
Sebagaimana yang dikatakan Leonid Mlechin, seorang sejarawan dan jurnalis Rusia, kepada radio Ekho Moskvy, “Menciptakan negara Yahudi di Palestina adalah cara Stalin untuk menendang Inggris yang melemah — yang ia benci — keluar dari Timur Tengah.” Karena kebanyakan negara-negara Arab lebih mendukung Inggris, Stalin lebih suka bekerja sama dengan kelompok Zionis.
Zionisme adalah gerakan nasional orang Yahudi dan budaya Yahudi yang mendukung terciptanya sebuah tanah air Yahudi di wilayah yang didefinisikan sebagai Tanah Israel.
Inggris, yang sebelumnya merupakan sekutu Soviet selama Perang Dunia II, tapi kemudian berubah menjadi saingan geopolitik, juga dibenci oleh para pemukim Yahudi. Pada 1946, militan Zionis mengebom Hotel Raja David di Yerusalem, yang merupakan pusat pemerintahan Inggris di wilayah itu, dan menewaskan 91 orang. Meskipun karena alasan yang berbeda, menyingkirkan Inggris sama-sama menjadi tujuan kelompok Zionis dan Uni Soviet.
Perang Diplomatik
Setelah Mandat Britania atas Palestina diakhiri, isu Palestina diserahkan pada PBB. Sementara Inggris tak mendukung gagasan untuk menciptakan sebuah negara Yahudi yang independen, dua kekuatan utama dalam tatanan pascaperang, Uni Soviet dan AS, memilih solusi dua negara (salah satu opsi solusi konflik Israel-Palestina yang menyerukan untuk dibuatnya “dua negara untuk dua warga” -red.), yang kemudian sangat ditentang oleh negara-negara Arab. Pada November 1947, isu tersebut dipilih saat rapat pleno Majelis Umum PBB.
Duta Besar Uni Soviet untuk PBB Andrei Gromyko mengatakan dalam pidatonya, “Orang-orang Yahudi telah terhubung dengan Palestina sepanjang sejarah.” Hal ini bertentangan dengan pandangan negara-negara Arab bahwa penciptaan Israel tidak adil. Dua hari setelah Israel mengumumkan kemerdekaannya pada 14 Mei 1948, Uni Soviet adalah negara pertama yang secara resmi mengakui negara tersebut.
Senjata Sosialis untuk Zionis
AS, yang juga mendukung penciptaan Israel, secara resmi melarang pasokan senjata ke Timur Tengah. Tak seperti Amerika, Moskow mengirim senjata kepada kelompok Zionis sekalipun secara tak resmi dan melalui negara lain, seperti Cekoslowakia. Uni Soviet menggunakan senjata-senjata Jerman yang direbut pada akhir perang.
Israel mendapatkan berbagai senapan, mortir, dan bahkan beberapa pesawat tempur Messerschmitt dari Cekoslowakia, tentu saja, atas persetujuan dan restu Soviet. Meski begitu, ini bukanlah satu-satunya sumber persenjataan untuk negara Yahudi tersebut. Pada dasarnya, Israel mendapatkan senjata dari seluruh dunia dengan berbagai cara, tapi Uni Soviet memang memainkan peran penting dalam kemenangan Israel pada 1948.
Akhir Bulan Madu
Dukungan Stalin untuk kepentingan Israel tak berlangsung lama. Sebagaimana yang dijelaskan Julius Kosharovsky, seorang sejarawan Israel kelahiran Rusia, dalam bukunya mengenai gerakan Zionis di Uni Soviet, hubungan bilateral antara Uni Soviet dan Israel memburuk setelah Dubes Israel untuk Uni Soviet Golda Meir mengangkat isu emigrasi orang-orang Yahudi Soviet ke Israel.
Uni Soviet dengan tegas menolak permintaan itu. Posisi resmi Soviet adalah bahwa seluruh orang Yahudi Soviet, seperti orang-orang Soviet pada umumnya, sangat bahagia dan tidak membutuhkan Tanah yang Dijanjikan. Para politisi Israel tidak dapat menerima ini, dan mereka segera berpaling ke AS sebagai sekutu utama mereka.
Aliansi baru Israel dengan AS membuahkan konsekuensi yang pahit di tahun-tahun mendatang. Sebagai contoh, pada 1952, 13 anggota Komite Anti-Fasis Yahudi yang berbasis di Soviet ditangkap dan dieksekusi. Akibatnya, mulai awal 1950-an hingga akhir Perang Dingin, Uni Soviet mendukung negara-negara Arab dalam konflik mereka dengan Israel.