Duta Besar Indonesia untuk Rusia Djauhari Oratmangun.
Elizaveta MoskvinaRBTH (R): Pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, hubungan Soviet dan Indonesia sangat erat. Kedua pemimpin negara kita bahkan pernah mengunjungi satu sama lain. Bagaimana sebenarnya hubungan bilateral antara kedua negara saat itu? Adakah peran Uni Soviet dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri Indonesia?
Djauhari Oratmangun (D.O.): Pada era kepemimpinan Soekarno, hubungan kami dengan Uni Soviet sangat akrab, sangat baik sekali. Pada periode tersebut, Soekarno setidaknya mengunjungi Uni Soviet sebanyak dua kali. Pada waktu itu Indonesia baru merdeka, ada banyak dukungan dari teman dekatnya, dan saya pikir salah satu teman dekat yang mendukung Indonesia saat itu adalah Uni Soviet. Khususnya dukungan luar biasa pada saat merebut kembali Irian Barat.
R: Bagaimana Anda menggambarkan hubungan bilateral antara Rusia dan Indonesia saat ini? Apakah kini menjadi lebih erat atau sebaliknya?
D.O.: Sekarang hubungan antara kedua negara bertransformasi sesuai dengan zaman. Zaman berubah, orang berubah, prioritas berubah, persepsi dan jenis dari hubungan juga berubah. Saya bisa berkesimpulan bahwa hubungan Indonesia dan Rusia sangat baik. Tetapi itu belum bisa bertransformasi dalam konteks hubungan ekonomi karena ada masalah di dua bangsa ini. Orang Rusia, kalau melihat ke Asia, akan melihat Tiongkok, Jepang, atau Korea. Pebisnis Rusia perlu datang ke kawasan Asia di luar Tiongkok dan membuka diri terhadap aktivitas bisnisnya di kawasan tersebut.
Begitu juga dengan pebisnis Indonesia, persepsinya sama. Mereka melihat hanya Eropa Barat. Tapi di sana ada banyak hambatan untuk mengelola bisnis, sedangkan Rusia lebih dekat. Mereka perlu memperhatikan negara itu (Rusia), ada banyak peluang untuk investasi dan mengembangkan hubungan ekonomi.
R: Apa komentar Anda mengenai pengembangan hubungan ekonomi antara Rusia dan Indonesia?
D.O.: Volume kerja sama di bidang perdagangan dan ekonomi mendekati angka empat miliar dolar AS. Namun, angka itu masih sangat jauh di bawah potensi yang kita punya. Contohnya, volume kerja sama antara Indonesia dan Tiongkok mencapai 85 miliar dolar AS, Indonesia dan Eropa Barat secara keseluruhan—30 miliar dolar AS, Indonesia AS—33 – 35 miliar dolar AS. Rusia dan Indonesia punya potensi yang luar biasa dan kita harus mencari solusi.
Potensi Rusia sangat luar biasa untuk bekerja sama dengan Indonesia dan ASEAN. Di sini, media juga memiliki peran penting untuk mengubah persepsi dan ini juga kami kerjakan. Wakil Menteri Telekomunikasi dan Media Massa Rusia Alexey Volin pernah ke Indonesia dan membawa media Rusia ke sana dan berbagai media dari Indonesia juga datang ke sini.
Saya pikir, keputusan Presiden Putin menyelenggarakan Far East Economic Forum sangat strategik, dan diharapkan dari forum tersebut akan dihadiri oleh para pengusaha dari kawasan Asia. Namun, saya punya pertanyaa. Apakah forum tersebut dipromosikan secara maksimal di sana? Belum. Promosi secara maksimal dilaksanakan di Rusia dan Tiongkok, tetapi itu tidak begitu aktif di Jakarta, Singapura, Kuala Lumpur, dan Manila. Promosi juga harus dilakukan di negara-negara yang menjadi sasaran. Kalau promosinya hanya di Rusia, pesan tidak akan sampai. Sama dengan Indonesia, kami perlu mempromosikan acara di Rusia, jika kami mau pesan kami sampai sasaran.
Ada banyak arah lain dalam pengembangan hubungan ekonomi, yaitu saya berharap bahwa proyek kereta api di Indonesia yang dikerjakan oleh Rusia akan berlangsung dalam waktu dekat. Kemudian ada Rusal—menurut saya, proyek Rusal sangat baik dan “skandal” di media di Indonesia mengenai Rusal sebenarnya bukanlah skandal, itu persaingan. Kemudian juga terkait produk perikanan, produk makanan (salah satu produsen makanan terbesar di Indonesia sudah pernah ke sini dan sudah pernah melakukan pembicaraan), industri kreatif, teknologi informasi (umpamanya, VKontakte, media sosial yang masih sangat “Rusia”, tapi bisa merangkum seluruh dunia), teknologi tinggi, UAV (teknologi kapal tanpa awak paling canggih di dunia adalah teknologi Rusia).
R: Bagaimana kelanjutan proyek nuklir yang ditandatangani oleh Rosatom dan BATAN?
D.O.: Saya pikir proyek ini positif. Selain BATAN, ada juga perusahaan swasta yang berkunjung ke sini. Kualitas peralatan yang terkait dengan nuklir yang diproduksi oleh Rosatom sangat bagus. Masalahnya, ada persepsi di Asia bahwa teknologi nuklir tidak terlalu baik—kita bisa menyaksikan “perang persepsi”. Namun, dengan Rosatom, kita bicara soal teknologi nuklir untuk PLTN. Kita butuh listrik yang sangat banyak dan pembangunan PLTN itu adalah salah satu solusinya.
R: Dunia kini memasuki era ketidakpastian. Ada tantangan baru, umpamanya, masalah terorisme. Masalah ISIS sangat serius baik bagi Indonesia maupun bagi Rusia. Apakah Indonesia berniat bekerja sama dengan Rusia di bidang keamanan melawan terorisme?
D.O.: Tidak ada niat, karena itu sudah dilakukan. Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sudah pernah ke sini dan sudah bertemu dengan rekannya di Rusia. Kita punya kerja sama di bidang antiterorisme antara Indonesia dan Rusia. Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia juga bertemu dengan mitranya di kota Ulan Ude. Perkembangannya cukup signifikan, dan pertemuan terakhir berlangsung di Bali.
R: Kedubes RI di Rusia sangat aktif menyelenggarakan acara yang berkaitan dengan kebudayaan. Langkah apa yang harus dilakukan agar Rusia semakin mengenal Indonesia dan begitu pula sebaliknya?
D.O.: Saya kira dalam konteks hubungan antarbangsa yang bisa bertahan lama—terlepas dari goncangan ekonomi—adalah hubungan budaya. Karena itu adalah hubungan antarmanusia. Di sini, kami menyelenggarakan banyak acara yang berkaitan dengan budaya dan pendidikan, dan hasilnya cukup bertahan lama. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Rusia di Indonesia. Di sini sering diadakan resepsi dengan penampilan budaya Indonesia, dan sering datang pula misi budaya dari Indonesia, umpamanya, dari Jakarta, dari Kaltim, dari Papua, dan sebagainya.
R: Wisatawan Rusia sudah bebas visa ke Indonesia, apa ada pembicaraan dengan Rusia soal bebas visa bagi warga Indonesia?
D.O.: Sudah. Kami sudah mulai pembicaraan itu. Dengan bebas visa bagi wisatawan Rusia ke Indonesia, kami mau supaya makin banyak orang Rusia datang ke Indonesia, kami mempersilakan mereka dengan langkah ini. Pembicaraan bebas visa telah dimulai kemarin selama pertemuan antara Menlu Retno Marsudi dan Menlu Lavrov. Jadi, keinginan itu telah disampaikan. Kedua, salah satu tempat wisata eksotik adalah Rusia. Sekarang banyak grup wisatawan Indonesia ke Rusia. Di Lapangan Merah misalnya, saya sering ketemu mereka. Memang, rata-rata kelompok itu berasal dari kelas menengah ke atas—mereka menginap di Ritz Carlton atau di Four Seasons.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda