Tanggapi ‘Pengkhiantan’ AS di Suriah, Moskow-Damaskus Perbarui Strategi

Presiden Rusia Vladimir Putin selama pertemuannya dengan Presiden Suriah Bashar Assad.

Presiden Rusia Vladimir Putin selama pertemuannya dengan Presiden Suriah Bashar Assad.

EPA
Moskow perlu membuka pintu untuk negosiasi damai di Suriah.

Kebijakan luar negeri AS tampak sukses merusak pernjanjian gencatan senjata Rusia-AS, tapi “pihak yang berperang” harus mencamkan peribahasa “hati-hati dengan apa yang kau harapkan” karena Moskow dan Damaskus tak akan mundur, demikian disampaikan pengamat politik independen Rusia Albert Naryshkin, seperti dikutip Sputnik.

Sabtu lalu (24/9), seminggu setelah Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri AS John Kerry menyepakati perjanjian gencatan senjata Suriah, pesawat tempur milik koalisi AS menyerang Deir ez-Zor, sebuah kota yang dikontrol pemerintah di timur Suriah yang sebelumnya diduduki ISIS selama hampir dua tahun. Serangan tersebut menewaskan 60 tentara Suriah dan lebih dari 100 tentara mengalami luka-luka.

Pejabat Suriah dan Rusia geram atas serangan tersebut, apalagi tak lama setelah serangan, ISIS kembali beraksi. Lavrov menyoroti ‘kebetulan’ yang luar biasa ini dalam pidatonya menjelang rapat Dewan Keamanan PBB, Rabu (28/9).

Naryshkin dalam analisisnya untuk PolitRusia mengutip pernyataan sang menteri luar negeri, “... dan terjadi hal yang luar biasa, AS yang tak pernah meminta maaf atas apa pun kepada siapa pun tiba-tiba mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf atas tewasnya tentara Suriah.”

Tak lama setelah itu, media AS mengabarkan bahwa Pentagon “sangat marah melihat fakta bahwa AS meminta maaf dan secara resmi menyesali tindakan yang dianggap kesalahan.” Naryshkin menilai perkembangan situasi saat ini memperlebar jarak antara Washington dan Moskow-Damaskus.

“Namun, setelah Lavrov dan Kerry bertemu di Sidang Umum PBB, kami tak mendengar apa pun mengenai akibat atas kegagalan perjanjian gencatan senjata, atau mengenai AS yang melupakan komitmennya. Meski demikian, peristiwa lain memungkinkan kita untuk melihat perjanjian tersebut yang tidak lebih hanya sebuah khayalan,” tulis Naryshkin.

"Pentagon tampaknya telah mencapai tujuan mereka dan berhasil merusak perjanjian yang disepakati di Jenewa. Bahkan jika tidak diumumkan secara resmi pun perjanjian tersebut telah dilanggar dan tidak ditaati, dan masa depan kesepakatan tersebut tampak lemah,” lanjut sang pakar.

Menurut Naryshkin, Moskow butuh ‘strategi baru’ di Suriah, yakni membuka pintu untuk negosiasi perdamaian sambil menunjukkan niat “untuk membersihkan teroris dari seluruh Suriah.

"Dan jika AS tidak mau atau tidak dapat berpartisipasi dalam solusi yang damai, konflik akan tetap diselesaikan seperti yang telah dilakukan beberapa tahun lalu, saat Rusia berhasil membuat berbagai kelompok militan menandatangani proposal gencatan senjata dan pemerintah Suriah sukses merebut kembali beberapa wilayah besar serta mengepung Aleppo,” tutup Naryshkin.

 

Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki