Perantau Ilmu di Rusia: Berguru Migas di Negeri Kaya Emas Hitam

Foto: Arsip Pribadi, Panca Syurkani; Desain: Anton Romanov

Foto: Arsip Pribadi, Panca Syurkani; Desain: Anton Romanov

Russia Beyond
Rusia memiliki metode pemroduksian dan pengolahan minyak dan gas (migas) yang berbeda dengan negara-negara lain, seperti Amerika Serikat (AS), Australia, atau Eropa, yang biasanya digunakan di industri migas Indonesia. Oleh karena itu, berguru migas di Rusia bak mendapatkan angin segar dalam tata kelola migas di Indonesia. Setidaknya, itulah yang disampaikan dua mahasiswa Indonesia tamatan Negeri Salju.

“Rusia memiliki sumber daya geologi terbanyak untuk migas di dunia. Untuk cadangan yang sudah terbukti, Rusia memang hanya menempati posisi teratas untuk gas dan peringkat keenam untuk minyak,” ujar Muhammad Iksan Kiat, mahasiswa Indonesia pertama yang meraih tiga ijazah merah (lulus dengan predikat cum laude) di Rusia dan baru saja menamatkan pendidikan magister gelar ganda di  Universitas Negeri Minyak dan Gas Rusia Gubkin, Moskow.

Muhammad Iksan Kiat, mahasiswa Indonesia pertama yang meraih tiga ijazah merah (lulus dengan predikat cum laude) di Rusia.

Menurut perkiraannya, cadangan sumber daya geologi migas di Arktik Rusia dua kali lipat lebih banyak daripada cadangan di negara-negara yang berada di kawasan Teluk Persia, seperti Kuwait, Bahrain, Irak, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Jadi, tak salah jika ia mengatakan bahwa Rusia adalah negara yang sangat kaya akan cadangan energi.

Rusia memiliki metode yang berbeda dengan negara-negara lain dalam pemroduksian dan pengolahan migas. Indonesia sendiri biasanya menggunakan metode-metode dari AS, Australia, atau Eropa.

“Kita selama ini menggunakan cara-cara Amerika, Australia, dan Eropa. Jadi, dengan mempelajari metode Rusia kita bisa mendapatkan metode baru untuk diterapkan dalam bisnis migas di Indonesia,” jelas Andi Mardianza, mahasiswa Indonesia yang juga menamatkan magisternya di Universitas Gubkin, sewindu yang lalu.

Andi Mardianza, lulusan Universitas Gubkin Rusia yang  kini bekerja sebagai Geoscientist Regional Studi di PT Pertamina EP.

Hal itu diamini Iksan. Menurutnya, dengan belajar di Rusia ia bisa melihat ilmu permigasan tidak dari sudut pandang Barat.

“Kita bisa melihat ilmu permigasan bukan dari pandangan Barat, tetapi pandangan Rusia. Kalau dari pandangan Barat, saya bisa mempelajarinya di Indonesia, atau dari mana pun. Bahkan dari makalah-makalah internasional pun bisa,” ujar anak sulung dari tiga bersaudara, putra pasangan Ridwan Kiat dan Nurdjana itu.

Andi menambahkan, Rusia memiliki teori baru yang pastinya akan dibantah habis-habisan oleh negara-negara Barat, seperti AS, misalnya. Menurut sarjana teknik geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) lulusan 2007 itu, dalam metode AS migas hanya berasal dari mikroorganisme yang terurai dan kemudian berubah menjadi migas. Namun, tidak bagi Rusia — migas dapat juga dihasilkan dari reaksi kimia.

Lebih lanjut, Andi yang mengambil jurusan Geologi Perminyakan di Gubkin menjelaskan, Indonesia sudah menekuni bisnis migas kurang lebih 50 tahun. Jadi, cara-cara yang selama ini dipakai mungkin saja sudah jenuh. Cara-cara Rusia yang masih belum dikenal bisa menjadi peluang besar untuk memajukan sektor migas Indonesia. Menurutnya, kita tidak akan mendapatkan hasil yang berbeda jika masih menggunakan cara yang sama. Untuk itulah, lulusan-lulusan Rusia bisa mengembuskan angin segar dalam tata kelola permigasan nusantara.

Alasan Berkuliah di Rusia

Andi saat berkuliah di Moskow.

Pada 2007, saat Andi menamatkan pendidikan sarjananya, harga minyak dunia sedang dalam masa keemasannya. Banyak perekrutan dibuka perusahaan-perusahaan raksasa migas asing di Indonesia. Namun, alih-alih bergabung ke bisnis “basah” itu, Geoscientist Regional Studi di PT Pertamina EP itu malah memutuskan untuk berkuliah ke Rusia. Alasannya, ia melihat banyak orang yang terjun ke permigasan Indonesia mengenyam pendidikan di AS, Australia, atau Eropa. Itulah mengapa metode-metode negara itu menguasai sektor produksi dan pengolahan migas Nusantara. Sementara, jarang sekali orang yang berguru permigasan ke Rusia, padahal Rusia adalah salah satu negara yang unggul dalam sektor itu.

Sebenarnya, lelaki kelahiran Sumatra Selatan 36 tahun yang lalu itu mengaku hanya iseng mendaftar beasiswa ke Rusia. Itu pun setelah diberi tahu teman kosnya, yang awalnya sangat berminat, tetapi akhirnya batal mendaftar.  Semua informasi tentang beasiswa yang dimiliki sang teman pun akhirnya diwariskan ke Andi.

“Dulu yang sangat berminat itu teman kos saya. Namun, karena berbagai pertimbangan akhirnya dia batal mengirimkan dokumen ke Pusat Kebudayaan Rusia (PKR). Akhirnya dia menawarkan dan menjelaskan cara-caranya kepada saya. Ya, akhirnya saya putuskan untuk mencoba. Ditambah lagi, seperti yang saya katakan sebelumnya, ahli migas Indonesia biasanya belajar di AS, Australia, Eropa, atau Inggris. Acuan teori studinya American minded atau Australian minded. Saya berpikir kita tidak bisa seperti itu. Kita harus terbuka untuk semua aliran. Jadi, saya pun iseng-iseng mencoba mendaftar. Akhirnya, saya diterima di Gubkin,” kenang sulung dari lima bersaudara, putra pasangan Rison dan Muslidah itu.

Berbeda dengan Andi, keinginan Iksan untuk berkuliah ke Rusia sangat menggebu-gebu. Ia bahkan meninggalkan kuliahnya di jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Indonesia (UI) setelah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Rusia pada 2013. Sebenarnya itu adalah kedua kalinya dia melamar beasiswa ke Rusia. Pada 2012, dia kurang beruntung sehingga akhirnya mengambil pilihan untuk berkuliah di UI melalui jalur undangan.

Iksan berpose di kawasan Lapangan Merah, Moskow.

Iksan menghabiskan dua semester di UI, tetapi dia merasa HI tidak sejalan dengan minat yang ditekuninya, yaitu fisika, kimia, dan matematika. Pandangannya terbuka ketika membaca buku Blood and Oil karya Michael T. Klare. Dari buku itu ia mengetahui, bisnis perminyakan dapat merubah tatanan dunia dan menciptakan perang di mana-mana. Menurut lelaki yang gemar berolahraga, menyanyi, dan menulis puisi itu selama migas masih eksis sebagai energi internasional, permintaannya masih tinggi dalam seratus hingga dua ratus tahun ke depan, negara yang menguasai minyak bisa menjadi negara yang kaya. Itulah yang melecutnya untuk mendalami industri migas, yang juga sejalan dengan minatnya.

Iksan saat berkuliah di Universitas Federal Utara (NArFU) Lomanosov di Kota Arkhangelsk.

Selain mengetahui bahwa Rusia adalah salah satu negara yang kaya akan sumber daya migas, Iksan juga mengaku tertarik berkuliah di Negeri Salju karena kekagumannya akan negara itu.

“Rusia adalah negara yang sangat besar dan tentunya memiliki warisan sejarah yang luar biasa besar pula. Luas wilayah Rusia mencapai seperdelapan daratan bumi dan lebih besar dari Pluto. Dengan demikian, pastinya diperlukan kemampuan manajemen dan teknologi yang luar biasa untuk mengelola wilayah sebesar itu,” jelas Wakil Ketua Perkumpulan Insinyur Perminyakan Indonesia (Wilayah Rusia) periode 2020 – 2021 itu.

Ia juga menambahkan, sebagai negara terbesar pecahan Uni Soviet, Rusia tentu juga mewarisi banyak hal-hal luar biasa dari Negeri Tirai Besi: Soviet menempati peringkat keenam dalam hal peraih Penghargaan Nobel, Yuri Gagarin adalah orang pertama yang ke luar angkasa, banyak penemu adalah orang Soviet, diantaranya penemu tabel sistem periodik Mendeleev, radio, helikotper, kereta listrik, yang ia yakini masih terus dikembangkan hingga saat ini.

Baik Andi maupun Iksan sepakat, mempelajari metode pemroduksian dan pengolahan migas Rusia adalah sesuatu yang tidak bisa dipelajari di negara lain dan dapat menjadi salah satu nilai jual yang besar saat terjun ke sektor migas di Indonesia. Selain itu, keinginan untuk melihat salju juga menjadi salah satu pertimbangan mereka untuk menuntut ilmu di Negeri Salju.

Positif dan Negatif Berkuliah Migas di Rusia

Bagi Andi, pengalaman belajar di Rusia memberikan kesempatan yang luar biasa karena bisa belajar langsung dari negara adidaya yang memiliki kemandirian dalam ilmu pengetahuan.

“Dari segi ilmu pengetahuan, Rusia memiliki kemandirian. Dia tidak belajar dari negara lain, dan belajar sendiri sampai maju. Jadi, kita tau negara adidaya itu seperti apa,” tegasnya.

Ia mengamini para seniornya yang mengatakan “berkuliah di Rusia layaknya mondok di pesantren” — sebagian besar aktivitas dihabiskan hanya berkisar di asrama dan kampus. Dengan demikian, ia bisa sangat fokus untuk belajar.

Sementara, Iksan menjelaskan bahwa belajar di Rusia bukan hanya sebatas menghafal rumus, tetapi juga mendalami asal-usulnya.

“Saat ujian, misalnya, rumus energi potensial (Ep = massa benda x percepatan gravitasi x tinggi benda di atas permukaan tanah) kalau di Indonesia mungkin kita langsung mengerjakan soal. Namun, di Rusia tidak begitu. Kita harus tahu dari mana asal Ep, mendemonstrasikan eksperimennya, bagaimana contoh kasusnya, dari mana turunannya hingga mendapatkan rumus itu, dan mengapa sang pencipta rumus berpikir demikian. Hal itu melatih kita untuk berpikir layaknya ilmuwan pada masa itu sehingga kita tidak mudah untuk lupa rumusnya. Biasanya, cerita-cerita yang menarik akan lebih mudah diingat daripada hanya mengingat rumus saja. Pada akhirnya, kita bisa meregenerasi rumus-rumus sendiri yang mirip dengan rumus yang telah ada,” urai Ketua 1 Komunitas Perminyakan Indonesia Cabang Rusia dan Eropa Timur periode 2020 – 2021 itu.

Kegiatan praktik mingguan di lab NArFU.

Selain itu, menurutnya Rusia juga memiliki banyak laboratorium yang sangat lengkap dan modern. Saat berkuliah S-1 jurusan Operasi dan Pemeliharaan Fasilitas Produksi Minyak di Universitas Federal Utara (NArFU) Lomonosov di Kota Arkhangelsk, kawasan Arktik, kampusnya memiliki empat lab yang berfokus pada perminyakan lepas pantai Arktik. Semua perusahaan yang beroperasi di Arktik melakukan tes sumur atau tes material (patahan-patahan geologi) di sana. Sementara, Gubkin sendiri memiliki 69 laboratorium, yang menurutnya entah berapa kali lipat dari jumlah laboratorium dari kampus-kampus perminyakan ternama di Indonesia.

Sebagai Universitas Riset Migas Nasional, Gubkin juga memiliki jurusan yang sangat lengkap, seperti ekonomi migas, pedagogi migas, engineering migas, teknologi informasi migas, digitalisasi migas sampai ilmu satelit migas.

Kursi simulator pengeboran minyak di Universitas Gubkin, yang hanya ada tiga unit di dunia.

Keuntungan lainnya adalah Rusia sering menggelar acara-acara internasional di bidang migas. Salah satunya adalah Future Leader Forum yang diselenggarakan oleh World Petroleum Council pada 2019. Acara tersebut dihadiri oleh para direktur perusahaan migas dari berbagai negara, para pemangku kepentingan, praktisi, akademisi, dan juga terbuka bagi para mahasiswa (spesialis) yang tengah menuntut ilmu di Rusia.

Pada saat itu, Iksan adalah satu-satunya perwakilan dari mahasiswa Indonesia. Selain itu, banyak juga konferensi-konferensi internasional yang tersebar di berbagai kampus di Rusia. Menurutnya hal itu bertujuan untuk menggaet investor, baik dalam hal finansial maupun teknologi, sekaligus mengenalkan metode-metode Rusia sehingga dapat dimanfaatkan secara perlahan-lahan oleh para spesialis asing yang berkuliah di Rusia.

Iksan berfoto bersama Presiden World Petroleum Council Tor Fjaeran (tengah).

Iksan juga mengaku sangat beruntung karena bisa magang di perusahaan raksasa gas Rusia, Gazprom. Menurutnya, ia adalah mahasiswa asing pertama yang magang di sana karena adanya larangan yang tidak memperbolehkan mahasiswa asing praktik di sana. Namun, dengan bermodalkan ijazah merahnya dan tekad yang kuat ia tetap berusaha melamar saat Gazprom membuka lowongan magang pada bursa kerja di Moskow. Tak disangka-sangka, ia pun diterima di Gazprom Urengoy, lapangan gas terbesar di Rusia yang menyuplai gas untuk Eropa.

Iksan saat magang di Gazprom Urengoy.

Sesampainya di Urengoy (3.584,4 km dari Moskow), Utara Jauh Rusia, sang direktur bahkan menyambut langsung kedatangannya dan mendemonstrasikan seluk-beluk produksi mulai dari pengambilan gas dari dapur reservoir, transportasi gas mentah ke processing unit, proses pemisahan dan pemurnian gas, hingga transportasi produk gas di sana selama seminggu penuh. Tujuh hari berikutnya, ia terjun langsung mencoba mengeluarkan es atau air yang menghambat jalur gas, memeriksa kondisi teknis peralatan dan dilanjutkan mengoperasikan komputer pada meja kontrol. Iksan bersama mentornya melakukan kontrol dan optimisasi kerja setiap pabrik pada rantai pemrosesan gas selama seminggu berikutnya.

Iksan melakukan aktivitas pengontrolan gas di Gazprom Urengoy.

Tujuh hari terakhir, ia pun dilibatkan dalam pengecatan pipa dan peralatan sembari belajar detail peralatan, transportasi, serta tentang keselamatan dan kesehatan lingkungan (HSE). Meski tak menerima bayaran dan harus merogoh kocek sendiri untuk tiket pesawat, menyewa tempat, dan makan selama sebulan penuh, ia merasa semua itu sepadan dengan kesempatan dan pengalaman yang ia dapat.

Andi dan Iksan sekata, perbedaan budaya menjadi salah satu hal negatif yang mereka hadapi ketika menimba ilmu di Rusia. Suatu hari, ketika berada di asrama, Andi mendengar suara pintu yang digedor dengan keras. Ia pun bertanya-tanya dalam hati, mungkin orang yang menggedor pintu itu sedang marah atau ingin mencari gara-gara.

“Di Rusia kalau ada yang mengetuk pintu sudah seperti mendobrak rumah. Saya pernah mengalaminya sendiri. Saya mengira ada hal buruk yang sedang terjadi. Padahal, tidak ada apa-apa. Kalau di Indonesia, itu sudah seperti mau cari gara-gara,” kenangnya.

Sebelum menginjakkan kaki di Rusia, Andi sempat memiliki kekhawatiran dengan citra negatif Rusia. Yang paling digembar-gemborkan menurutnya adalah tentang komunisme. Namun, ia pun bisa bernafas dengan lega karena ternyata semua itu tak terbukti.

“Sebelumnya kita membayangkan hal yang macam-macam. Apalagi masalah komunis yang sering digembar-gemborkan. Begitu sampai di Rusia, masjid dan gereja banyak banget, di Moskow bebas, tidak seperti apa yang tergambar sebelum ke Rusia. Jadi, untuk mengetahui Rusia yang sebenarnya memang harus datang dan melihat dengan mata kepala sendiri.

Iksan (kanan), saat mengikuti Kelas Musim Panas Komunikasi Multi Budaya di Kota Arkhangelsk.

Saat pertama kali tiba di asrama Lomonosov di Arkhangelsk pada September 2013, Iksan disambut hangat oleh teman-teman satu asramanya yang orang Rusia dan langsung diajak kemping ke hutan. Barang-barangnya pun belum sempat ditata karena belum genap sejam ia menginjakkan kaki di sana. Sesampainya di hutan ia disuguhi minuman soda. Namun, begitu lidahnya mengecap minuman ringan itu, ia langsung menyemburkannya. Ternyata minuman itu sudah dicampur dengan alkohol. Sebagai seorang muslim, ia mengaku tidak pernah meminum alkohol seumur hidupnya. Itulah pertama kalinya ia menjajal minuman beralkohol, walau hanya sebatas di rongga mulutnya.

Melihat wajah orang Rusia yang jarang senyum bukan masalah bagi Iksan karena menurutnya orang-orang  dari tanah kelahirannya, Ambon, juga terlihat seperti itu.

“Orang Rusia memang terlihat jarang tersenyum. Padahal, hatinya baik. Ya, sama seperti orang Ambon atau orang Indonesia Timur. Kalau sudah kenal dan kita tulus dalam pertemanan, mereka akan sangat baik kepada kita,” ujar lelaki kelahiran Ambon, 25 tahun silam itu.

Prospek Karier di Indonesia

Foto: Arsip Pribadi, Panca Syurkani; Desain: Anton Romanov

Sebagai pekerja profesional yang telah tujuh tahun menggeluti permigasan, Andi mengatakan bahwa lulusan Rusia memiliki potensi yang besar untuk berkarir di Indonesia. Ia kembali menyinggung bahwa cara-cara Rusia masih kurang dikenal dan itulah nilai jual bagi para yang dimiliki para lulusan Rusia.

Akan tetapi, ia menekankan, para perantau ilmu di Rusia harus benar-benar mendalami teknik yang diterapkan Rusia dalam tata kelola migasnya, seperti memproduksi, mengolah dan mengelola sumber-sumber energi yang masih dan akan tetap menjadi primadona di seluruh penjuru dunia hingga waktu yang masih sangat lama itu.

"Dalami ilmunya, kuasai tekniknya, jangan hanya sekedar tahu. Harus bisa mengerjakannya! Misalnya, dalam memproduksi migas kita harus bisa mengerjakannya, tahu alat-alat dan teknologi yang dibutuhkan, berapa harga alat-alatnya, bagaimana proses pemroduksiannya, dan apakah bisa diterapkan di Indonesia," tegas Andi.

Menurutnya, Indonesia masih memiliki tantangan yang besar untuk migas. Sebagai negara yang masih mengimpor migas Indonesia terus berupaya untuk mengurangi volume impornya. Itulah mengapa Indonesia sangat membutuhkan angin-angin segar untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri. Ia menilai, untuk mendapatkan hasil yang berbeda tidak bisa menggunakan cara yang sama seperti yang telah digunakan kurang-lebih selama lima dasawarsa belakangan ini. Itulah mengapa Indonesia membutuhkan “angin segar” yang dibawa oleh para tamatan-tamatan jurusan migas Rusia. Ketika seseorang menawarkan metode baru (metode Rusia) ke perusahaan migas di Indonesia, kesempatan mereka akan lebih tinggi untuk direkrut.

"Ketika punya cara baru, lulusan Rusia memiliki nilai jual yang sangat tinggi dan peluang direkrut juga semakin besar. Akan tetapi, metode yang ditawarkan itu harus ia kuasai dan dapat diterapkan di Indonesia," ujar suami dari Cindy Dianita dan ayah dari Fusyathir Galushkinanza (Galushkin diambil dari nama profesor pembimbing tesis masternya di Gubkin) itu.

Gaji Selangit Karyawan Migas

Menurut Andi sektor migas telah meredup sejak 2014 karena harga minyak yang terus menurun. Akan tetapi, migas adalah bisnis yang padat karya, berteknologi tinggi, dan bermodal besar.

Teknologi yang tinggi tentunya membutuhkan orang-orang dengan penguasaan teknik yang mumpuni. Itulah mengapa karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan raksasa migas asing di Indonesia, seperti ExxonMobil, atau ConocoPhillips pastinya diganjar gaji selangit, dengan standar internasional. Ia mengatakan bahwa itu adalah hal yang wajar karena seorang personel bisa menghasilkan jutaan dolar untuk perusahaan.  Sementara, untuk bekerja di perusahaan negara, orang-orang lulusan S-1 yang belum berpengalaman, gaji minimumnya ia perkirakan tak kurang dari Rp15 juta per bulan.

Menurut pandangan Iksan, gaji karyawan migas di Indonesia memang lebih tinggi daripada gaji rata-rata orang Indonesia, tetapi masih jauh lebih kecil dibandingkan di luar negeri.

“Mungkin bisa Rp 50 – 60 juta (per bulan). Apalagi kalau bekerja di pengeboran, biasanya lebih besar lagi," ujar Koordinator Perhimpunan Pelajar Indonesia wilayah Eropa dan Amerika Utara periode 2017 – 2018 itu.

Ia juga menyinggung, sampai saat ini ada tiga orang mahasiswa tamatan Rusia yang bekerja di Pertamina, sedangkan sisanya menyebar di industri migas Indonesia. Namun, ada juga beberapa yang banting setir menjadi pengusaha atau dosen.

Penerapan Ilmu Migas Rusia di Indonesia

Iksan saat mengikuti Future Leader Forum yang diselenggarakan World Petroleum Council.

Pengeboran minyak di Arktik memiliki tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Menurut Iksan, di sanalah semua ilmu-ilmu migas terakumulasi.

"Pengeboran, pengembangan, atau eksploitasi minyak di Arktik memerlukan lebih dari sekedar ilmu migas lepas pantai. Jadi, ilmu-ilmu migas terakumulasi di sana. Pengeboran di sana bukan sekedar pengeboran lepas pantai biasa, tetapi juga menghadapi kondisi-kondisi seperti es yang bergerak, cuaca yang dinginnya ekstrem, waktu yang sempit, dan lain sebagainya. Intinya, tantangannya sangat sulit sekali," jelasnya.

Dengan demikian, ia sangat yakin apa yang ia pelajari di Arktik selama empat tahun pada kurun 2014 – 2018 bisa terpakai di Indonesia. Namun, tentu saja, ia harus terjun dan berkenalan dulu lapangan di Indonesia.

"Saya yakin apa yang didapatkan di Rusia bisa terpakai, tetapi saya belum pernah turun langsung di lapangan di Indonesia. Dalam dunia teknik, teori bisa sangat berbeda dengan praktik dan lapangan di Indonesia dan Rusia juga berbeda. Oleh karena itu, harus mengenal lapangan terlebih dahulu. Bahkan antara satu lapangan dengan lapangan yang lain di Indonesia juga berbeda. Misalnya, lapangan Blok ONWJ (Offshore Northwest Jawa) berbeda kondisinya dengan Blok Jatibarang, atau Blok Rokan," ujar pemenang pertama lomba makalah bidang ekonomi migas pada acara Kongres Internasional ke-11 Perminyakan Siberia Barat, Tyumen, Rusia pada 2017 itu.

Lebih lanjut ia menambahkan, apa yang dipelajari di Rusia pasti ada korelasinya dengan kondisi di Indonesia. Menurutnya, yang ia pelajari saat di Arkhangelsk tidak hanya perawatan fasilitas lapangan migas, atau pengembangan dan desain operasi lapangan gas serta kondensat saja, tetapi juga mempelajari ekonomi dan manajemen industri dan migas.

Berbeda dengan Iksan, Andi mengaku ilmu yang ia dapatkan di Rusia hanya terpakai sekitar sepuluh persen. 

“Ya, ada tambahan sekitar sepuluh persen, tidak besar. Kalau parameternya tadinya hanya tiga, dengan ilmu dari Rusia menjadi empat. Sebenarnya tiga saja sudah cukup, tetapi dengan empat parameter jadi lebih berbeda dan detail,” katanya.

Gelar Ganda dan Tiga Cum Laude

Selama tujuh tahun mengenyam pendidikan sarjana dan magister di Negeri Salju, Iksan memanen tiga ijazah merah, atau tiga kali lulus dengan predikat cum laude (lulus dengan pujian). Satu ijazah merah ia dapatkan saat menamatkan pendidikan sarjananya, sementara dua lainnya ia peroleh pada jenjang magister dengan gelar ganda.

Jurusan utama magisternya adalah Desain Pengembangan serta Operasi Lapangan Gas dan Gas Kondensat, sementara jurusan keduanya adalah Manajemen dan Ekonomi Industri Minyak Bumi. Untuk jurusan utama ia belajar dari jam delapan pagi hingga jam empat sore, sementara untuk jurusan keduanya dari jam lima sore hingga jam sebelas malam. Jika ditotal, ia menghabiskan waktu di kelas selama 13 jam sehari untuk belajar. Namun, untungnya itu tidak setiap hari. Lama studi untuk jurusan keduanya hanya berlangsung setahun, karena materi perkuliahan yang dipadatkan.

Pada hari minggu, ia mengerjakan tugas atau mengurus organisasi. Iksan rajin mengonsumsi suplemen dan vitamin untuk menjaga kesehatannya. Meski mengaku sangat lelah, semua ia jalani dengan telaten karena ia sadar untuk menggapai kesuksesan di industri migas seseorang harus selalu siap dengan fisik dan pikirannya.

Meski demikian, Iksan yang bercita-cita membangun potensi migas di tanah kelahirannya itu mengatakan, tiga ijazah merah yang ia raih hanya bisa mengantarnya ke tahap wawancara kerja saja. Seandainya diterima pun, yang paling ia andalkan adalah kemampuannya, baik kemampuan teoritis dan praktis, kepemimpinan, organisasi, bekerja dengan tim dalam menangani kasus-kasus migas, dan kemampuan-kemampuan lainnya yang telah ia kumpulkan selama tujuh tahun belakangan.

Namun, menurutnya mendapatkan ijazah merah tentu memiliki nilai tambah karena tak banyak orang asing yang mengantonginya.

"Katakanlah mahasiswa Indonesia, mungkin dari 500 orang hanya satu persen yang mendapatkan ijazah merah. Itu pun hanya satu, kalau tiga jarang sekali. Jangankan orang asing, orang Rusia sendiri saja mungkin agak susah. Memang dibutuhkan perjuangan mati-matian untuk mendapatkannya. Yang dibutuhkan tidak hanya ilmu teoretis dan praktis, tetapi juga komunikasi, pendekatan, kerja tim, dan lain sebagainya," jelas Delegasi Terbaik dalam Komite Pembangunan Berkelanjutan pada Model OPEC 2018 itu.

Artikel ini adalah bagian dari seri “Kuliah di Rusia” yang mengulas kisah dan pengalaman para pelajar Indonesia di Negeri Salju. 

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki