Perantau Ilmu di Rusia: Tekad Membangun Burung Besi Penghubung Negeri

Kuliah di Rusia
PANCA SYURKANI
Kecintaan terhadap pesawat sudah tertanam di dirinya saat masih bocah, sejak pertama kali bertatap mata dengan pesawat yang membawanya pulang ke Makassar bersama orang tuanya usai berlibur di Pulau Dewata pada 2003 silam. Kala itu, Ferlito Arnold Sauw baru berusia tiga tahun.

Sebelumnya, perjalanan ke Bali mereka tempuh dengan mengarungi laut dari Makassar ke Surabaya, dilanjutkan perjalanan darat dengan mobil dan kemudian menyeberang menggunakan feri dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gili Manuk, Bali Barat.

Cinta pada pandangan pertama itu kian tertanam dan tumbuh dengan akar yang kian menjalar. Menurut sang bunda, sejak saat itu, imajinasi si bocah selalu berkutat seputar pesawat. Acap kali ia masuk ke dalam kardus dan berlagak menerbangkan sang burung besi. Setiap kali mengunjungi toko mainan, matanya berbinar saat melihat segala mainan berbentuk pesawat.

Tangannya pun terampil menggores krayon di ‘kanvas-kanvas’ yang ia temui di rumahnya. Bukan hanya kertas, tapi lantai, dinding, dan semua benda berpermukaan datar tak luput dari goresan tangannya, memindahkan imaji pesawat yang memenuhi benaknya.

Ketika duduk di bangku kelas II SMA Negeri 2 Parepare, Sulawesi Selatan, ia mulai menata rencana untuk menjemput mimpi menerbangkan pesawat. Ia rajin menggali informasi mengenai sekolah penerbangan karena ingin melanjutkan pendidikan sebagai pilot setelah lulus SMA.

Berselancar di dunia maya mempertemukanya dengan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia Curug, Banten. Namun, mimpinya sulit terwujud karena persyaratan tes fisik yang mengharuskanya berlari dengan catatan waktu yang tak dapat dipenuhinya. Dengan badan yang tambun kala itu, ditambah riwayat patah kaki yang pernah dialaminya, berlari adalah hal yang ia hindari.

Putra tunggal Oktovianus Sauw dan Afliana Sauw Latumakulita itu pun terpaksa mengubah haluan mimpinya. Tak ada rotan, akar pun jadi, tak jadi penerbang, pembuat pesawat pun jadi, toh, pikirnya masih berhubungan dengan pesawat.

“Jika tidak dapat menerbangkan pesawatnya, paling tidak saya bisa membuat pesawatnya,” ujar Ferlito yang bercita-cita menghubungkan ribuan pulau di Indonesia dengan pesawat buatannya kelak.

Ia kemudian memutuskan Teknik Pesawat Terbang sebagai bidang studi yang akan ia pelajari. Sebenarnya, Rusia bukanlah pilihan pertamanya untuk menimba ilmu, melainkan Jerman, negara tempat sosok panutanya, B.J. Habibie, mengenyam pendidikan S-1, S-2, hingga S-3 di bidang teknologi kedirgantaraan. Namun sayangnya, tidak ada beasiswa untuk belajar di Jerman. Habibie pun menamatkan pendidikannya tanpa beasiswa. Sementara di Indonesia, hanya Institut Teknologi Bandung (ITB) yang ia ketahui memiliki jurusan tersebut.

Sambil mendaftar Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) ke ITB dan beberapa perguruan tinggi lainya, tak disangka terbuka jalan menuju Beasiswa Pemerintah Federasi Rusia. Berbekal informasi beasiswa Rusia dari Ivandri, sepupunya yang tengah menempuh studi arsitekstur di Novosibirsk, Ferlito mulai menggali lebih dalam dan menemukan jurusan yang ia idamkan. Ferlito Girang bukan kepalang dan menyampaikan kabar gembira tersebut kepada kedua orang tuanya.

Meski gayung bersambut dengan sang ayah, tak begitu dengan sang ibu. Maklum, sebagai putra satu-satunya, Ferlito mendapatkan perhatian ekstra dari Afliana. Kepala BPJS Kesehatan Kantor Wilayah Provinsi Maluku itu bahkan meminta Ferlito untuk berusaha fokus pada SBMPTN dan berkuliah di ITB atau mengambil jurusan Kedokteran saja daripada harus was-was hidup terpisah dengan putra semata wayangnya.

Ferlito terus berusaha meluluhkan hati sang bunda dengan meyakinkanya bahwa ia akan menggapai keberhasilan karena jurusan yang ia pelajari adalah jurusan yang ia senangi. Meski tak seratus persen setuju, tapi rasa was-was Afliana berkurang dan merelakan putra tercintanya meniti jalan ke Negeri Salju, Rusia.

Dukungan dan Bekal Sang Ayah

Hingga tenggat waktu pelengkapan dokumen tiba, Ferlito belum juga melengkapi dokumen yang dipersyaratkan, seperti sertifikat kesehatan, dan paspor. Untunglah, tenggat waktu dimundurkan beberapa hari. Ia langsung menghubungi Oktovianus Sauw sang ayah yang sedang menjalani Pendidikan S-3 di Malang, Jawa Timur. Okto pun langsung bergegas ke Bandara Juanda, Surabaya, mengejar penerbangan ke Makassar.

Namun malang, pesawat yang harusnya ia tumpangi telah lepas landas karena ia terlambat sampai di bandara. Tiket yang sudah dibelinya pun hangus. Meski begitu, kejadian tersebut tak diceritakanya kepada sang anak agar ia tetap tenang dan tak memikirkan kesulitan yang tengah dihadapinya. Dengan sisa uang yang ia miliki, ia pun membeli tiket baru menggunakan ponsel yang hampir mati karena kehabisan daya dan akhirnya bisa terbang ke Makassar.

Beberapa hari kemudian, setelah urusan dokumen selesai dan Ferlito telah menyetorkan seluruh dokumen ke situs pendaftaran beasiswa Rusia, Okto kembali ke Malang. Namun beberapa minggu setelahnya, ia pun kembali lagi ke Makassar saat Ferlito mendapatkan panggilan wawancara beasiswa ke Pusat Kebudayaan Rusia (PKR) di Jakarta, dan terbang bersama ke Jakarta memenuhi undangan wawancara.

Ferlito pun akhirnya diterima sebagai satu dari 161 satu penerima beasiswa Rusia tahun 2017. Mengetahui sang anak positif akan berangkat ke Rusia, ia pun tak ingin anaknya pergi tanpa bekal bahasa yang cukup. Okto pun mencarikan kursus privat bahasa Rusia untuk sang putra, tapi Ferlito dimintanya tinggal sementara bersama di Malang. Setelah melakukan perambahan di internet, Okto akhirnya menemukan guru privat lulusan Rusia tahun 2011, Dinda Hidayanti.

Setiap hari selama dua minggu pertama, sang guru yang tinggal di Bangil harus menempuh 120 kilometer bolak-balik ke Malang untuk mengajar Ferlito. Namun, empat minggu berikutnya Ferlitolah yang gantian ke Bangil karena tak tega dengan sang guru. Tak kurang dari enam jam, Ferlito belajar bahasa Rusia setiap hari.

Dengan bekal dari sang ayah, Ferlito tak lagi menemui kesulitan yang berarti dalam membaca dan menulis huruf Kiril sekalipun masih belum banyak mengetahui kosakata. Ia sangat bersyukur atas bekal berharga dari ayahnya tersebut.

“Meski masih belum lancar baca dan bicara bahasa Rusia, yang penting saya bisa baca ‘tualet’ (toilet),” gurau Ferlito kepada Russia Beyond . Saat ditanya tulisan apa yang pertama kali ia baca saat tiba di Moskow, ia tertawa dan kembali menyebut toilet karena memang tak sempat buang air kecil di atas pesawat yang ditumpanginya sebelum mendarat di Bandara Domodedovo, Moskow.

Sebagai Anggota Divisi Kemahasiswaan Organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Rusia (Permira), ia pun kerap berpesan kepada calon mahasiswa yang akan berkuliah di Rusia agar mempelajari bahasa Rusia sebelum ke Rusia agar tidak terlalu buta nantinya. Ia menambahkan, tak hanya bahasa Rusia, bahasa Inggris pun sangat diperlukan untuk berkomunikasi dengan mahasiswa asing.  Bahasa Rusia tak hanya perlu dipelajari oleh mahasiswa asing. Ia pun kemudian menyinggung artikel berjudul 'Mengapa Semua Astronaut Harus Bisa Berbahasa Rusia?'.

“Bahasa Rusia saya lebih bagus dibanding bahasa Inggris. Jika diukur dalam skala 1 – 10, bahasa Rusia saya nilainya 6, sedangkan bahasa Inggris saya hanya 4. Jadi, kalau ada yang mengajak saya berbincang dalam bahasa Inggris, awalnya saya tanggapi dengan bahasa Inggris, tapi di tengah sampai akhir perbincangan otomatis berubah menjadi bahasa Rusia,” aku Ferlito.

Kuliah di MAI

Tak sabar, itulah yang dirasakan Ferlito saat pertama kali mulai belajar di fakultas persiapan bahasa Rusia di Moskovskiy Aviatsionny Institut (Institut Penerbangan Moskow) pada oktober 2017. Tangannya gatal sekali ingin menggambar pesawat dan mempelajari setiap bagian burung besi kegemaranya itu. Namun, mau tak mau ia harus menahan hasrat itu dan menunggu hingga kelas persiapan bahasa selesai sekitar sepuluh bulan kemudian.

Ketika sudah mulai menjalani program studinya, Ferlito baru sadar akan pentingnya mengikuti kelas persiapan bahasa. “Selama kelas persiapan bahasa, kita diajar seperti anak-anak sekolah dasar, kita diajarkan menggunakan bahasa dasar dan lain sebagainya. Namun saat sudah menjalani program studi, sangat berbeda sekali karena terdapat terminologi baru dan perubahan bahasa yang drastis,” terangnya.

Ferlito yang kini tengah menjalani tahun pertama pendidikan teknik pesawat terbang merasa pilihanya berkuliah di Rusia sangat tepat karena teknologi kedirgantaraanya sangat maju, bahkan sejak zaman Uni Soviet. Menurutnya, Rusia tidak hanya maju dalam urusan pesawat tempur saja, tapi juga pesawat sipilnya. Ferlito mengatakan bahwa ia suka sekali membaca artikel-artikel tentang pesawat Rusia di situs Russia Beyond . Salah satu yang menjadi favoritnya adalah artikel 'Pesawat-Pesawat Andalan Pemimpin Soviet dan Rusia.

Meski demikian, ia merasa beban materi perkuliahannya sangat berat karena semua materi tertulis dan disampaikan dalam bahasa Rusia. Terlebih lagi, ia harus menggambar pesawat secara manual dengan tangan tanpa menggunakan komputer.

Menurut ceritanya, pada pertemuan pertama kelas pengantar penerbangan, sang dosen sempat marah-marah karena tak satu pun mahasiswa, yang keseluruhanya adalah mahasiswa asing, mengerti materi yang ia sampaikan. Namun setelah itu, ia pun berlapang hati menerjemahkan meteri pengajarannya hari itu ke dalam bahasa Inggris menggunakan Google Terjemahan karena ia sendiri tak telalu menguasai bahasa Inggris.

Sebagai tugas akhir semester ini, sang dosen, Larionova Elena Vitalyevna, meminta Ferlito dan teman-teman sekelasnya yang berasal dari Zimbabwe, Vietnam, Sri Lanka, Kongo, dan El Savador, menerjemahkan seluruh materi pengajaran miliknya ke dalam bahasa masing-masing agar dapat digunakan bagi murid lainya di kemudian hari.

Sejak awal, Ferlito berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ketika lulus nanti dirinya akan kembali ke Indonesia dan berharap dapat bekerja di PT Dirgantara Indonesia supaya dapat membangun banyak pesawat dengan kapasitas penumpang yang banyak, tapi lebih irit bahan bakarnya. Ia yakin jenis pesawat itulah yang harus diproduksi agar cita-cita menghubungkan ribuan pulau di Indonesia bisa terwujud.

Artikel ini adalah bagian dari seri “Kuliah di Rusia” yang mengulas kisah dan pengalaman para pelajar Indonesia di Negeri Salju.

Biaya hidup di Rusia memang lebih murah dibandingkan dengan negara-negara Eropa lain yang lebih populer, tetapi tetap saja tidak semurah itu. Karena itu, kami telah mengumpulkan kiat-kiat terbaik untuk mencari pekerjaan paruh waktu di Rusia.