‘Resahkan’ Kompetitor, Maxim Ternyata Bukan Perusahaan Ojek Online

Ekonomi
FAUZAN AL-RASYID
Pada akhir bulan lalu, kantor Maxim di Balikpapan, Kalimantan Timur, diserbu puluhan pengemudi ojek online yang tergabung dalam Persatuan Driver Online Indonesia (PDOI) Kaltim. JawaPos.com mengabarkan, massa bahkan sempat menyegel kantor penyedia solusi transportasi asal Rusia tersebut.

Unjuk rasa tersebut terjadi lantaran tarif Maxim jauh lebih murah sehingga dianggap memengaruhi pendapatan mitra transportasi online lainnya, seperti Gojek dan Grab.

Di tengah keributan tersebut, anehnya, Kementerian Perhubungan RI (Kemenhub) justru mengaku baru mengetahui soal keberadaan Maxim di Indonesia. Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi bahkan mengaku baru mendengar soal Maxim setelah terjadi kericuhan di Kalimantan.

Beberapa kejadian ini tentu menyisakan tanda tanya. Apakah itu berarti operasi Maxim di Indonesia selama ini tak diketahui pemerintah, alias ilegal? Bagaimana sebetulnya perhitungan tarif Maxim yang “meresahkan” kompetitornya, apa saja layanan yang ditawarkan, dan — yang lebih penting — sejak kapan perusahaan ini beroperasi di Indonesia?

Mengapa tarif ojek yang bermitra dengan Maxim lebih murah?

Kepada JawaPos.com, Faisal, Ketua PDOI Kaltim mengungkap tarif tranportasi yang ditentukan Maxim jauh lebih murah, sehingga berimbas pada pendapatan mitra transportasi online lainnya.

“Gojek dan Grab itu (tarif minimum per pesanan) Rp9.000, sedangkan Maxim Rp7.000. Tarif (Maxim) harus disamakan dengan dua aplikasi yang sudah ada, yaitu Gojek dan Grab, supaya tidak terjadi gesekan di lapangan,” ungkap Faisal sebagaimana yang dikutip Balikpapan, Jumat (2/8).

“Kami memang lebih murah daripada kompetitor lain, tetapi kami masih dalam kerangka regulasi,” kata Manajer Pengembangan Maxim, Imam Mutamad, yang dihubungi Russia Beyond untuk mengonfirmasi sejumlah hal terkait keberadaan perusahaan tersebut di Indonesia, “regulasinya mengatur batas bawah dan batas atas.”

“Ambil contoh di Balikapapan. Mereka protes karena tarif kami yang lebih rendah. Padahal, regulasi dari Kemenhub mengatur soal tarif per kilometer, bukan soal tarif minimum (per pesanan). Jadi, dalam tarif minimum, Gojek, misalnya, menetapkan lebih banyak kilometer (0 – 9 km, Rp1.900/km). Karena itu, (tarif) mereka lebih mahal (daripada kami),” kata Mutamad menjelaskan.

Ia meyakini, ketidakpahaman itulah yang membuat pengojek kompetitor komplain. Begini logikanya: misalnya kompetitor menetapkan Rp9.000 per 4 kilometer; kami tetapkan Rp5.000 per 2 kilometer. Jadi per kilometernya masih sesuai regulasi, tetapi untuk pelanggan, kami berikan skema kilometer yang lebih pendek. Ini cuma soal strategi pemasaran. Nah, sekarang pengedara ojek komplain dan mendesak supaya kami membuat tarif yang sama dengan kompetitor? Bagaimana mungkin? Ini kan pasar bebas!”

Tentang Maxim

Maxim mengembangkan aplikasinya sendiri dan menciptakan sistem perangkat keras dan perangkat lunak yang memungkinkan mitra-mitranya terhubung ke layanan perusahaan, memproses jutaan pesanan setiap hari, memantau kinerja dan kualitas layanan, serta menganalisis dan mengoptimalkan bisnis mereka.

Maxim pertama kali beroperasi di Indonesia pada 2018. Di luar Jakarta, layanan transportasi berbasis Maxim kini sudah tersebar di Pekanbaru, Batam, Bandar Lampung, Yogyakarta, Solo, Samarinda, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, dan Bali.

Sebagai perusahaan pencipta solusi teknologi, layanan transportasi yang bisa menggunakan sistem ini tentu bervariasi, tak hanya terbatas pada taksi atau ojek. “Mungkin di Medan atau Makasar, kami akan bekerja sama dengan bentor (becak motor). Itu memungkinkan,” ujar Mutamad.

Sejak 2014, Maxim telah beroperasi di lebih dari 455 kota di 13 negara, termasuk di Rusia, Belarus, Kazakhstan, Georgia, Bulgaria, Tajikistan, Azerbaijan, Iran, Kirgizstan, Italia, Ukraina, Indonesia, dan Malaysia.

Mutamad mengakui, semua mitra Maxim diberikan kewenangan untuk mengatur tarifnya sendiri. Meski begitu, tarif yang ditetapkan mitra-mitra Maxim harus mengacu pada aturan yang ada. “Kami selalu berpedoman, aturan apa yang ada di tempat itu, itulah yang harus menjadi acuan, yang harus diikuti,” paparnya.

Selama setahun pertama beroperasi, Maxim sama sekali tidak mengambil komisi dari pengemudi. Artinya, uang yang diterima dari penumpang sepenuhnya untuk si pengemudi. Namun, itu bukan berarti Maxim selamanya akan menerapkan sistem seperti itu.

“Itu semacam promosi. Begitulah cara kami memenangkan pasar pengemudi dan penumpang. Sekarang, kami menetapkan sepuluh persen dari tiap transaksi untuk Maxim,” kata Mutamad.

Kepada Russia Beyond, Mutamad menekankan bahwa pihaknya melakukan semuanya sesuai regulasi. Ia bahkan mengaku sudah menjelaskan kepada pihak-pihak yang komplain, termasuk kepada masyarakat setempat mengenai kebijakan tarif perusahaannya. “Kami lebih murah karena sistem kilometer ini. Kalau mereka tidak suka, silakan datangi Kemenhub, dan minta mereka ubah regulasinya untuk semua pihak. Kami siap mengikuti, kami menghormati hukum Indonesia,” katanya menegaskan.

Peraturan Kemenhub

Mulai 1 Mei 2019, Kemenhub secara resmi menetapkan tarif baru ojek online. Besaran tarif terbagi ke dalam tiga zona: zona I untuk Sumatra, Jawa (tanpa Jabodetabek), dan Bali; zona II untuk Jabodetabek; zona III mencakup Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku dan lainnya. 

Apakah keberadaan Maxim di Indonesia resmi?

Selain di Balikpapan, kontroversi layanan Maxim juga sempat mencuat di Batam. Pada April 2019, SindoBatam.com menyebutkan bahwa Maxim belum mendapatkan izin dari Dinas Perhubungan (Dishub), tetapi sudah beroperasi mengambil dan mengantar penumpang. Sekretaris Umum Taksi Konvensional, Afdial, mengatakan, Pemko Batam harus mengambil sikap tegas terhadap pengoperasian Maxim.

Minggu lalu, sebagaimana yang dilaporkan Detik.com, Kemenhub meminta penjelasan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) selaku pemberi izin aplikator transportasi online Maxim. Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setyadi bahkan belum mengetahui sejak kapan ojek online asal Rusia resmi beroperasi di Indonesia. Detik.com menulis, dalam hal aplikasi transportasi online, perizinan ojek online memang cukup ke Kemenkominfo. Namun dari sisi pengawasan dan operasional transportasinya berada di bawah Kemenhub.

“Karena mereka di Kalimantan Timur sih. Jadi, kita tidak tahu juga. Saya juga baru tahu setelah kemarin ada ribut-ribut di sana antara ojek Maxim dengan ojek pangkalan,” papar Setyadi kepada Detik.com. Lima hari sebelum berita tersebut dipublikasikan, Detik.com juga meminta komentar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Kala itu, sang menteri mengaku belum mendapat informasi mendetail mengenai Maxim (dan beberapa aplikator transportasi online dari luar negeri lainnya). Meski begitu, ia mengatakan, pemerintah terbuka dengan adanya pemain baru.

Menanggapi pemberitaan tersebut, pihak Maxim dengan tegas mengatakan bahwa keberadaan mereka sepenuh legal. “Kami bahkan bertemu langsung dengan petinggi kementerian. Kami duduk bersama di Samarinda. Di sana ada kuasa hukum kami dan kami mendiskusikan — dengan perwakilan kami juga (dari Rusia). Saya pikir, itu cuma salah paham,” kata Mutamad dengan optimistis.

Bukan Jasa Transportasi

Selain skema tarif Maxim, ternyata ada pula fakta yang belum diketahui para pengojek yang komplain. Maxim bukanlah penyedia jasa transportasi, melainkan perusahaan pencipta solusi teknologi transportasi. Perusahaan ini menyediakan layanan informasi dengan mengumpulkan basis data pesanan untuk penyedia jasa transportasi dan memberi mereka akses sesuai hukum yang berlaku.

Jadi, katakanlah, Anda memiliki usaha ojek pangkalan (bukan pengendara ojek). Maraknya layanan ojek online saat ini tentu memengaruhi pendapatan “armada” Anda. Tak dipungkiri, masyarakat beralih ke layanan aplikasi online karena sistem tersebut memang lebih nyaman dan bisa diandalkan. Meski begitu, Anda tentu tak mau pengemudi-pengemudi ojek Anda “kabur” dan beralih mengenakan jaket hijau karena itu berarti menghancurkan bisnis Anda.

“Kami punya solusi. Kami mau bermitra dengan taksi-taksi konvensional. Kalau selama ini, katakanlah, mereka hanya menunggu pesanan lewat telepon atau menunggu di pangkalan, kami tingkatkan kualitas mereka dengan menggunakan sistem online,” kata Mutamad menjelaskan.

Pengemudi-pengemudi ojek Anda tak perlu beralih ke perusahaan ojek online, dan Anda tidak “menjual” pengemudi-pengemudi ojek Anda kepada Maxim. Mereka tetap bekerja untuk Anda; Anda tetap jadi juragan ojek. Ibaratnya, Anda kini bisa membuat “perusahaan transportasi online” Anda sendiri. Maxim tidak menyediakan ojek online, melainkan hanya memberikan lisensi terhadap teknologinya. Anda tetap memimpin usaha Anda sendiri, tetapi dengan teknologi dan standar layanan Maxim.

Demi mengurangi kemacetan, Pemkot Moskow menyediakan Wi-Fi gratis dan sejumlah fasilitas lainnya supaya masyarakat menggunakan angkutan umum. Namun bagi banyak orang, memiliki mobil ternyata masih lebih penting.