1. Berdasarkan kisah nyata dan kepahlawanan sejati
Saat itu musim dingin, Desember 1941. Pertempuran Moskow mencapai puncaknya. Sebuah pesawat serbu Soviet Il-2, dikapteni oleh Nikolai Komlev, menembaki iring-iringan kendaraan lapis baja Jerman, tetapi kemudian mendapat serangan balasan dari sistem antipesawat dan pesawat tempur musuh. Sang pilot Soviet tertembak, mendarat di wilayah musuh, dan kemudian dipaksa untuk melakukan perjalanan pulang yang sulit dan berbahaya melalui hutan lebat yang penuh dengan patroli Jerman dan sekawanan serigala lapar.
Film ini dibuat berdasarkan kisah nyata Aleksey Maresyev yang pesawat tempurnya ditembak jatuh pada April 1942 di atas wilayah Novgorod. Selama 18 hari, pilot yang terluka berusaha merangkak kembali ke markasnya sendirian. Dokter berhasil menyelamatkan nyawanya, tetapi harus mengamputasi kedua kakinya. Bagaimanapun, hal tersebut tidak menghancurkan semangat Maresyev. Dia menjalani pelatihan berat dengan kaki buatan dan berhasil mendapatkan lisensi untuk sekali lagi duduk dalam kokpit pesawat tempur.
Sosok Komlev dalam film tersebut adalah gabungan dari beberapa biografi heroik, termasuk Maresyev dan pilot-pilot Soviet lainnya yang berhasil kembali bertugas setelah kehilangan kakinya dan terus melawan musuh di udara. Kisah mereka ditampilkan secara singkat pada akhir film.
2. Pesawat asli era Perang Dunia II digunakan dalam pembuatan film
Il-2 Soviet mendapatkan salah satu peran utama dalam “The Pilot: A Battle for Survival” — tidak ada CGI sama sekali. Pesawat Il-2 dalam film ini betul-betul pesawat serbu asli dari masa Perang Dunia II. Fakta ini mengingatkan kita pada film “Dunkirk” karya Christopher Nolan yang juga menggunakan mesin perang sungguhan.
Selama misi pada November 1943, Il-2 Valentin Skopintsev, bagian dari resimen udara serbu ke-46 Angkatan Udara Armada Utara, diserang oleh pesawat tempur musuh dan, setelah mengalami kerusakan parah, terpaksa mendarat di atas danau yang membeku di Murmansk. Bagaimanapun, lapisan es pecah sehingga pesawat pun tenggelam. Il-2 menghabiskan hampir 70 tahun terendam di bawah air sampai ia akhirnya ditarik keluar pada 2012 dan diperbarui. Pada 2017, pesawat itu kembali mengudara.
“Ketika pesawat itu terbang untuk syuting, kami benar-benar menangis — itu sangat luar biasa,” kata Pyotr Fedorov, yang membintangi tokoh utama. “Kontrak (film) tidak mengizinkan saya untuk menerbangkannya, jadi pemeran pengganti saya, Vladimir Barsuk, yang menggantikan saya dia atas pesawat — dia adalah satu-satunya yang dapat mengoperasikan pesawat itu. Pria ini, yang memiliki perangkat dengan kamera yang dapat merekam video 360 derajat, tiba. Kami memasang kamera itu pada helikopter, lalu terbang dan merekam Il-2.”
Pada Desember 1941, periode waktu dalam film itu, Angkatan Udara Tentara Merah memiliki pesawat serbu Il-2 berkursi tunggal, sedangkan varian dua orang (dengan ruang untuk penembak) baru mulai diproduksi pada 1943. Ketika ditanya mengapa “The Pilot” menampilkan versi pesawat untuk dua pilot, Renat Davletyarov, sang sutradara, mengatakan, “Ada sekitar 40 ribu pesawat ini yang dibuat selama perang. Namun sekarang, hanya ada dua yang tersisa. Salah satunya ada di Kanada — itu bagian dari koleksi pribadi, dan satu di Rusia. Saya tidak bisa menolak menggunakan satu-satunya Il-2 yang berfungsi dan bisa menembak, terutama mengingat fakta bahwa Il-2, seperti Katyusha dan (tank) T-34 adalah simbol Perang Dunia II. Jadi, kami berpikir bahwa itu (pesawat yang ada pada film -red.) adalah model eksperimental yang akan segera diproduksi massal.”
3. “The Pilot” seperti “The Revenant” era Perang Dunia II
Devlatyarov mengakui bahwa “The Revenant” yang disutradarai oleh Alejandro González Iñárritu dan dibintangi Leonardo DiCaprio, menjadi salah satu sumber inspirasi utama “The Pilot”. Ini karena cerita Komlev bukan hanya tentang pertempuran mencekam di udara, tetapi juga pertempuran sengit demi bertahan hidup di darat — melawan Jerman dan hutan belantara.
“Seperti apa hutan Rusia selama musim dingin? Jika Anda terkurung di resor yang bagus bersama pacar Anda, bisa berjalan-jalan sambil berski — itu indah. Jika Anda terluka, basah kuyup, lapar — itu berarti kematian. Sungai, yang harus Anda seberangi dengan berjalan kaki — adalah kematian. Tidak ada yang bisa dikunyah — itulah kematian. Serigala lapar — itulah kematian. Padang membeku, sementara di balik tiap semaknya kematian menunggu,” kata sang sutradara.
4. Syuting dilakukan dalam kondisi ekstrem sungguhan
Para pembuat film ini berusaha untuk membuat “The Pilot” serealistis mungkin. Syuting dilakukan pada musim dingin di hutan belantara terpencil di Novgorod, tempat pesawat Maresyev benar-benar mendarat. Aktor Pyotr Fedorov harus berulang kali menceburkan diri ke dalam air es yang membeku selama berjam-jam di tengah angin yang menusuk tulang, bahkan memakan ikan mentah, dan membeku dalam balok es.
5. Menampilkan serigala sungguhan
Bagaimanapun, musuh terbesar Komlev di lapangan bukanlah tentara Jerman, melainkan sekawanan serigala liar yang mengejarnya tanpa henti. Walau begitu, mereka tidak menggunakan anjing, seperti biasanya saat syuting, tetapi “penjaga hutan” yang asli.
Sekawanan serigala bernama Shakira, Yukki, Drago, dan anjing serigala Cekoslowakia (campuran serigala Karpatia dan anjing gembala Cekoslowakia) bernama Sarkus dibawa dari suaka hewan Kashir di luar Moskow ke lokasi syuting yang terpencil di hutan Novgorod. Hewan-hewan ini berpartisipasi dalam banyak adegan kunci, termasuk adegan lari jarak jauh, mendekati lubang, bahkan menyerang manusia. Jangan lupa, serigala sangat sulit dilatih!
“Ada kesulitan setiap hari,” kata Anna Ponomareva, seorang pawang anjing. “Entah itu angin di tepi danau yang membuat suara kami tidak terdengar sehingga serigala-serigala itu tidak dapat mengerti perintah kami, entah Drago tiba-tiba panik dan menolak menyerang manusia. Akhirnya, perannya (Drago) digantikan oleh serigala betina …, sedangkan yang melakukan lompatan pit jump adalah Sarkus. Bagaimanapun juga, kami tidak dapat mencapai kesepakatan dengan para serigala.”
Suatu hari, kru film perlu merekam lolongan serigala yang marah, tetapi mereka tidak bisa membuat hewan-hewan itu menunjukkan emosi yang sesuai. Masalah ini baru terpecahkan setelah seekor anjing Gembala Asia Tengah tua dibawa masuk.