Seribu sayap tak akan hangati hari, kecuali vodka
Seribu cahaya tak akan terangi hati, selain cinta
Sungai Moskwa membatu, mata hati malu-malu
Hoi, Moskwa itu surga! Bukan lagi komunis
Sama seperti Mekkah, Madinah, dan Yerusalem
Tak seperti kampung kita, toh!
Begitulah Iwan merekam salah satu realitas sosial sekaligus mencoba menyadarkan orang-orang bahwa Rusia bukanlah negara komunis melalui bait puisi. Menurutnya, tak sedikit orang yang masih menyangka Rusia mewarisi paham komunisme dari pendahulunya, Uni Soviet. Puisi berjudul Hoi, Moskwa Itu Surga! tersebut adalah satu dari 150 karya puisi yang dituangkan penyair kelahiran Nusa Tenggara Timur pada 27 tahun silam itu dalam buku setebal 154 halaman. Penerbitan buku ini sempat tertunda sejak 2018 karena sang penyair melanjutkan pendidikan S-3 bidang kulturologi di Universitas Sosial Negeri Rusia, Moskow.
Sampul buku 'Hoi!'
Dok. PribadiMeski pendidikannya belum tuntas, kepulangannya ke tanah air dalam libur Natal dan Tahun Baru kali ini ia manfaatkan untuk menetaskan buku yang telah diperamnya selama dua tahun. Ini bukanlah buku pertamanya. Sebelumnya, ia telah menelurkan dua buku kumpulan puisi berjudul Tapisan Jemari (2015) dan Rontaan Masehi (2013). Semua puisi di buku terbarunya lahir di tanah rantau Rusia pada kurun waktu 2015—2018. Tempat persalinannya sendiri tersebar di berbagai kota, seperti Moskow, Sankt Peterburg, Murmansk, Kazan, Ufa, Tula, dan sebagainya.
Bagi penyair berambut gondrong itu, Hoi! adalah momentum penanda dalam kiprah kepenyairannya. Iwan tak sekedar menulis, tetapi juga memasuki dan meresapi kehidupannya di tanah Rusia. Identias kultural yang diusungnya dalam beberapa sajak terasa kuat dan bernas. Apalagi, dalam perantauannya dia berjumpa dengan orang-orang berlatar budaya yang berbeda.
Iwan Jaconiah membubuhkan tanda tangan pada bukunya saat peluncuran di Jakarta, Sabtu (19/12).
Dok. PribadiPertemuan dengan diaspora Indonesia yang terperangkap di Rusia ketika terjadi peralihan kekuasaan masa lalu dari Orde Lama ke Orde Baru, tidak lepas dari pengamatannya. Suami Clara Rondonuwu itu menuangkannya lewat sejumlah puisi, antara lain berjudul Dari Kremlin Sampai Tula, Yang Terbuang dan Yang tak Pulang, dan Yang Terlupakan dari Angkatannya.
Aku menulis tentang kota yang sudah berganti paras
Tangisan masa silam kaum eksil sudah tak sesuram, hus!
Hanya orang-orang di negeriku masih kalut membaca sebuah nama
Mereka trauma pembantaian 65, yang kata tetua-tetua itu sangat menyeramkan sekali
Hingga-hingga, kuda pun dilarang berteriak di kandang sendiri
(Potongan puisi Dari Kremlin Sampai Tula)
Namun, ada pula tema akan kerinduannya pada kampung halaman, seperti Kaliningrad, Timur Matahari, dan Hoi! I-VII. Semuanya terangkum dengan gaya bahasa yang lugas dan penuh metafora. Peraih penghargaan 'Diploma of Honor Award' dalam International Literary Festival “Chekhov Autumn” di Yalta, Krimea, pada 2019 itu mampu menuangkan ide-ide lewat karya puisi penuh makna.
“Di antara pesastra-pesastra Indonesia pembuka abad ke-21, haruslah disebut dengan apresiasi semadyanya pada nama Iwan Jaconiah, orang berbobot dari bumi Timor,” tulis budayawan Remy Sylado dalam testimoninya pada sampul belakang buku.
Ia menambahkan, kemauan kuat Iwan yang belajar sastra jauh-jauh sampai ke Moskow, tanah airnya para empu yang mengagumkan dunia, seperti Tolstoy, Pushkin, Turgenev, Dostoyevsky, Gorky, Chekhov, dan Sholokhov, adalah modal kuat menuju kejayaan sang penyair. Peraih Kusala Sastra Khatulistiwa (2002) itu berharap, Iwan dapat membagikan ilmu yang telah ditimbanya di perantauan dan menjadi tokoh baru sastra Indonesia.
Iwan Jaconiah membacakan puisi dari buku 'Tapisan Jemari' karyanya di Kafe Pushkarev, Moskow, Maret, 2020. Sejak 2015, Iwan telah membaca puisi di kafe tersebut bersama komunitas penyair Moskow.
Dok. PribadiIwan sendiri mengaku, ada tiga hal utama yang ia petik dari kesusastraan Rusia, yaitu kasih, moral, dan harapan.
"Ada pelajaran kasih, moral, dan harapan yang baik dalam karya-karya sastra Rusia, seperti karya-karya Tolstoy, Pushkin, Lermontov, Dostoyevsky, dan Mandelstam, yang tidak dapat ditemui dalam karya-karya sastra Eropa Barat dan Amerika," jelas peraih juara kedua pada Festival Pemuda Internasional di Institut Pushkin pada 2016 itu.
Ia berharap, kelahiran buku ini dapat berkontribusi dalam memajukan sastra Indonesia, khususnya puisi sehingga bisa mengangkat derajat sastra tanah air ke tingkat yang lebih tinggi. Di samping itu, ia juga ingin buku ini bisa menjadi bukti bahwa hidup di tanah rantau bukanlah alasan untuk mengubur kreativitas, melainkan cambuk pelecut semangat dalam berkarya.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda