Mohamad Wahid Supriyadi menjabat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia (Dubes LBBP RI) untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus sejak 2016. Sebelum menginjakkan kaki pertama kalinya di Moskow pada Jumat, 1 April 2016, ia tak banyak mengenal Rusia.
Lelaki kelahiran Kebumen yang akan segera merayakan hari lahirnya yang ke-61 pada 18 Agustus mendatang ini memang sudah pernah menginjak tanah Rusia sebelum mengemban tugas sebagai dubes. Ia pernah menjadi salah satu perwakilan Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di Vladivostok (6.416 km di timur Moskow) pada 2012. Namun, tak banyak informasi yang bisa ia petik mengenai Rusia saat itu.
"Saya orang Kemenlu, pengetahuannya lebih luas tentang luar negeri. Namun, saya hanya pernah ke Rusia saat APEC di Vladivostok dulu. Jadi, referensi saya sangat kecil sekali tentang Rusia. Vladivostok kan kota kecil, jadi saya tidak tahu tentang Rusia", jelas Wahid, yang memulai karir di Kemenlu sejak 1985.
Karena berita-berita tentang Rusia kurang positif, ditambah pengaruh film-film Hollywood, lelaki yang pernah menekuni profesi guru dan dosen bahasa Inggris selama 16 tahun (1979 – 1995) itu membayangkan bahwa dirinya akan berdinas di negara yang tidak bersahabat. Ia pun mencoba mengorek-ngorek informasi dari para diplomat yang sebelumnya pernah bertugas di Rusia. Namun, alih-alih mendengar hal-hal mengerikan, jawaban para diplomat yang ia "interogasi" malah bertolak belakang. Tak ada kesan negatif yang ia terima, malah sebaliknya.
Rusia, Bangsa yang Sangat Mencintai dan Menghargai Budaya
Hari kedua di Moskow, ia meminta supirnya yang orang Rusia untuk mengantarnya menengok ikon ibu kota Rusia, Kremlin dan Katedral Saint Basil di Lapangan Merah. Dalam perjalanan ia melihat antrean mengular untuk memasuki sebuah gedung. Ia pun bertanya kepada sang supir, antrean apa itu gerangan. Jawaban sang supir membuatnya tercengang. Sebelumnya, ia mengira itu adalah antrean untuk menonton film, teater, atau konser musik. Namun, ternyata itu adalah antrean untuk ke museum.
"Saya sangat terkesan sekali! Saya kira orang-orang itu mau nonton film, teater atau konser. Namun, ternyata mereka antre untuk masuk museum. Saya bingung! Di Indonesia, mana ada orang datang ke museum. Di sini, orang berbondong-bondong ke museum, bahkan bersama anak-anak mereka," kenang mantan Dubes LBBP RI untuk Uni Emirat Arab (UEA) periode 2008 – 2011 itu.
Ia pun teringat pada buku "Russia: A 1000-Year Chronicle of the Wild East" karya jurnalis BBC Martin Sixsmith yang ia baca dalam perjalanan ke Moskow. Meskipun buku setebal 600 halaman itu belum khatam ia baca hingga kini, ia mengatakan buku itu menceritakan bahwa orang Rusia memiliki budaya yang sangat kuat. Ketika zaman susah pun, Rusia melahirkan banyak seniman dan budayawan hebat.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan Bangsa Rusia
Dalam pertemuan Indonesianis (orang-orang Rusia yang memiliki minat terhadap Indonesia) di Wisma Duta KBRI Moskow pada 2018, seorang peserta mengatakan bahwa semboyan bhineka tunggal ika yang dimiliki Indonesia juga sejalan dengan bangsa Rusia. Menanggapi hal itu, Wahid mengatakan bahwa Rusia memiliki kemiripan dengan Indonesia. Rusia memiliki 185 etnis (yang di Rusia disebut sebagai bangsa) dan memiliki bahasa daerah masing-masing.
Selain itu, Rusia juga memiliki negara-negara bagian yang disebut republik, seperti Republik Tatarstan, Dagestan, Chechnya, dan sebagainya. Tak hanya itu, Rusia juga negara yang multireligi. Selain Ortodoks sebagai agama mayoritas, ada juga agama Islam yang menempati posisi kedua terbesar (jumlah pemeluk Islam diperkirakan mencapai 25 juta orang), serta agama-agama lainnya.
Yang menarik, menurut Wahid, legenda mengatakan bahwa jika bukan gara-gara larangan minum alkohol, Rusia sudah menjadi Negara Islam. Yang menarik, menurut Wahid, legenda mengatakan bahwa jika bukan gara-gara larangan minum alkohol, Rusia sudah menjadi Negara Islam.
Menurut buku sejarah Rusia abad pertengahan Tale of Past Years, Knyaz (pangeran) Vladimir memutuskan untuk mencari agama yang tepat untuk diterapkan sebagai agama negara. Ia pun bermaksud mencoba semua pilihan yang ada dan mengundang pendeta dan pemuka agama dari agama-agama berbeda: seorang dari Ortodoks Byzantium, seorang Katolik dari Kekaisaran Romawi Suci, seorang Muslim dari Volga Bulgaria, dan seorang rabi Khazar. Ia diduga mengatakan hal seperti: “Baik, sekarang ceritakan agamamu dan buat saya terkesan!”
Vladimir menolak agama Yahudi karena dianggap tidak bisa menyelamatkan tanahnya sendiri. Islam juga tidak diambil karena larangan minum alkohol, sementara orang Rusia pada masa itu sangat menyenangi alkohol dan tidak dapat hidup tanpanya. Katolik Jerman pun bernasib sama, tak dipilih Vladimir karena leluhur bangsa Rusia sudah lebih dulu menolak agama itu. Akhirnya, pilihan pun jatuh kepada Ortodoks. Keputusan itu juga diperkuat oleh perwakilan Vladimir di Konstantinopel yang menceritakan keindahan Gereja Ortodoks. Oleh karena itu, Vladimir akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Ortodoks pada 988 dan memutuskan bahwa negaranya juga mengikuti jejaknya. Setidaknya, ini menurut buku sejarah tersebut. (Baca selengkapnya di sini!).
Namun, menurut Wahid, yang patut digaris bawahi adalah Islam salah satu agama yang dipertimbangkan. Mantan Konsul Jenderal RI Melbourne (2004 – 2007) itu menambahkan, tidak banyak orang yang tahu bahwa sebenarnya orang-orang Rusia adalah orang yang religius meskipun sempat terkekang selama 70 tahun di bawah komunis Soviet.
Kesan Selama Bertugas di Rusia
Selama empat tahun empat bulan menjadi orang Indonesia nomor satu di Rusia, Wahid sangat terkesan betapa orang Rusia mencintai dan mengapresiasi budaya Indonesia, yang mungkin banyak yang tidak mengenal sebelumnya. Diakuinya, memang banyak generasi tua yang mengenal Sukarno, tetapi generasi yang tidak bersentuhan dengan zaman Nikita Khruschev (pemimpin Soviet semasa Perang Dingin) juga menunjukkan kecintaan yang besar terhadap budaya Indonesia. Ia tak menyangka hal itu bisa terjadi. Menurutnya, itu telah memutarbalikkan satu teori yang mengatakan bahwa orang Rusia kaku dan tidak bisa bergaul.
Penerima gelar Profesor Kehormatan dalam Hubungan Internasional dari Universitas Negeri Tomsk pada 17 Agustus 2018 itu menilai, orang Rusia justru memiliki karakter khas Asia. Misalnya, orang Rusia memiliki keakraban keluarga yang luar biasa. Misalnya, seorang nenek merawat cucunya lantaran kedua orang tuanya bekerja bukanlah suatu pemandangan aneh di Rusia. Kondisi itu juga biasa ditemui di Indonesia. Namun, menurutnya, hal itu tidak terjadi di negara-negara Barat. Jadi, banyak nilai-nilai dalam keluarga yang sebenarnya juga banyak ditemui di negara-negara Asia.
Itulah mengapa pencinta olahraga badminton itu mengatakan bahwa Indonesia dan Rusia memiliki banyak persamaan. Namun, jarak yang terlalu jauh dan hubungan yang sempat renggang menjadi jurang pemisah antara kedua negara untuk saling mengenal secara dekat.
Memperkenalkan Indonesia ke Rusia, dan Rusia ke Indonesia
Melihat kecintaan orang Rusia akan budaya, Wahid menilai bahwa pendekatan budaya adalah yang paling tepat untuk digunakan sebagai jembatan dalam merekatkan hubungan kedua bangsa. Oleh karena itu, ia pun menggagas penyelenggaraan Festival Indonesia (FI). Namun, tidak hanya seni dan budaya Indonesia yang disajikan di sana, tetapi juga perdagangan, investasi, dan juga interaksi antarindividu.
Pada awalnya, ia ditawarkan untuk menggelar FI di Gorky Park. Namun, Wahid sama sekali tak bisa membayangkan bentuk taman yang namanya disinggung dalam lirik lagu Scorpion The Wind of Change tersebut. Ia memang sempat mengumumkan akan menggelar FI di Gorky Park. Akan tetapi, begitu melihat taman itu, ia terkejut. Taman itu memiliki luas 120 hektare. Ia pun angkat tangan. Bukan hanya karena luasnya area, melainkan juga karena pertimbangan peraturan yang sangat ketat: Tidak boleh membagikan selebaran, tidak boleh berjualan, dan sebagainya.
Sebagai gantinya, Taman Hermitage seluas 6,5 hektare yang berada di tengah kota dipilih sebagai lokasi festival. Perkiraan jumlah pengunjung taman mencapai 15 ribu sehari. Dengan demikian, menurut perhitungannya, tanpa promosi pun setidaknya akan ada 30 ribu pengunjung yang akan menghadiri FI selama dua hari penyelenggaraan pada 20 – 21 Agustus 2016.
Sebenarnya, gagasan penyelenggaraan FI terbilang sangat nekat. Selain persiapannya yang hanya empat bulan, biayanya juga tidak ada dalam anggaran tahun berjalan. Akhirnya, Wahid pun mencoba mengorek-ngorek biaya promosi KBRI. Setelah dihitung-hitung, akhirnya Wahid bisa membayar 30 stan yang akan ia sediakan gratis bagi peserta festival. Masalah selanjutnya adalah mencari dan meyakinkan orang-orang yang akan mengisi stan-stan itu. Maklumlah, jangankan orang lain, Wahid sendiri pun sempat khawatir akan kesulitan untuk tinggal di Rusia pada awalnya.
"Masalahnya, yang mengisi (stan-stan) siapa? Jangankan mereka, saya saja awalnya menyangka akan susah tinggal di Rusia. Orang-orang tahunya bahwa orang Rusia pasti susah diajak ngomong, FSB (dulu KGB) di mana-mana, dan berperangai buruk seperti digambarkan di film-film Hollywood," cemas Wahid.
Namun, bermodal pengalamannya menggelar acara serupa saat bertugas sebagai dubes di Abu Dhabi, ia pun berhasil meyakinkan para pengusaha UMKM untuk berpartisipasi. Tak diduga, total pengunjung selama dua hari penyelenggaraan FI membeludak lebih dari dua kali lipat daripada jumlah yang diharapkan, yaitu sekitar 68 ribu orang. Dari situ, Wahid makin bersemangat untuk mempersiapkan FI berikutnya dengan persiapan yang lebih matang, baik dari segi waktu persiapan maupun anggaran acara.
Pada 2017, jumlah stan ditambah hingga 70 buah. Namun, Wahid mengaku tak perlu lagi berusaha setengah mati meyakinkan orang untuk mengisinya. Jumlah pengunjung pun meningkat hingga 90 ribu orang selama tiga hari penyelenggaraan FI pada 4 – 6 Agustus. Dengan jumlah pengunjung yang terus meningkat tiap tahun, Taman Hermitage dirasa tidak lagi mampu menampung tambahan pengunjung.
Akhirnya, pada tahun ketiga, lokasi FI dipindahkan ke Taman Krasnaya Pesnya, tak jauh dari Gedung Putih Rusia. Pemkot Moskow memberikan tempat itu secara gratis karena Wahid berhasil menyakinkan bahwa FI tidak hanya mempromosikan Indonesia di Rusia, tetapi juga Rusia di Indonesia melalui pemberitaan yang luas di Indonesia. Tidak hanya tempatnya yang gratis, tetapi juga promosi gratis di baliho dan monitor-monitor yang terdapat di Metro (kereta bawah tanah) Moskow. Setidaknya, sembilan juta orang menaiki metro setiap hari.
"Saya bilang ke kantor wali kota, (acara) ini tidak hanya mempromosikan Indonesia ke Rusia, tetapi juga Rusia ke Indonesia karena pemberitaannya juga luas di Indonesia. Akhirnya kami diberi taman gratis. Bayangkan, berapa biaya yang harus dibayar seandainya kami menyewa taman seluar 16,5 hektare itu?" jelas Wahid.
Dengan area yang sangat luas, Wahid sempat cemas tak dapat mengisinya dengan optimal. Namun, yang ia cemaskan tidak terjadi. Acara berlangsung sangat meriah. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pengisi acara tidak hanya orang-orang Indonesia, tetapi juga orang-orang Rusia. Penampilan tim kesenian binaan KBRI Moskow, tim tari Kirana Nusantara Dance Moscow dan tim Gamelan Dadali yang anggotanya mayoritas orang Rusia pun mengundang decak kagum para pengunjung.
Jumlah pengunjung yang hadir selama tiga hari penyelenggaraan FI pada 1 – 4 Agustus 2019 tembus sampai 135 ribu orang. Pada tahun keempat, jumlah pengunjung memang turun menjadi 117 ribuan. Namun, itu dikarenakan cuaca yang kurang mendukung. Pada hari kedua, hujan turun tak henti-henti dan udara pun cukup dingin.
Meski jumlah pengunjung menurun, nilai transaksi di lokasi meningkat, dari tahun sebelumnya lebih dari $2 juta menjadi $10,7 juta. Selain itu, ada juga komitmen investasi $1,2 miliar untuk pembangunan pabrik tapioka di Indonesia. Jadi, ia mengeklaim bahwa diplomasi budaya melalui FI juga menjadi jembatan untuk hubungan dalam sektor ekonomi, perdagangan dan investasi kedua negara.
Atas keberhasilan penyelenggaraan FI selama empat kali berturut-turut, Wahid pun diganjar penghargaan Museum Rekor Indonesia. Pemkot Moskow pun menyatakan bahwa FI adalah acara terbesar yang diselenggarakan oleh satu kedutaan asing di Moskow. Dengan demikian, Wahid menilai bahwa penggantinya tinggal melanjutkan saja keberhasilan yang telah ia rintis.
Jadi Dubes yang Sebenarnya
Tiga kali menjadi kepala perwakilan — Konsul Jendral di Merlbourne, Dubes di Uni Emirat Arab (UEA) dan Rusia — Wahid baru merasakan menjadi dubes yang sebenarnya di Rusia. Ia merasakan perlakuan dan sambutan yang diterimanya ketika melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah di Rusia sangat luar biasa, tidak seperti ketika ia bertugas di Australia dan UEA yang cenderung lebih kasual.
Pada awal-awal bertugas di Rusia, ia melakukan kunjungan ke Ufa (1.339,4 km dari Moskow), ibu kota dan kota terbesar di Republik Bashkortostan. Petugas protokoler setempat menyampaikan kepada staf KBRI yang mendampinginya bahwa ia disediakan sebuah mobil sedan, sedangkan sang staf disediakan sebuah minibus. Karena terbiasa kasual, Wahid meminta untuk satu mobil saja dengan sang staf. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dipenuhi petugas protokoler dengan alasan tidak sesuai dengan protokol yang berlaku. Ketika membuka pintu sedan Mercedes S600 yang disediakan untuknya, ia sadar bahwa itu adalah mobil antipeluru.
"Ketika saya mebuka pintu mobil, beratnya setengah mati. Saya sadar bahwa itu adalah mobil antipeluru, sama seperti yang digunakan Presiden Jokowi di Indonesia karena saya pernah naik mobil beliau. Jadi, mereka benar-benar menghargai saya sebagai wakil negara," kenang Wahid.
Menurutnya, dalam Undang-Undang Hubungan Luar Negeri, selain menjadi wakil negara dubes juga merupakan wakil pribadi presiden di luar negeri. Wahid menyadari bahwa mereka mengetahui hal itu dengan baik. Oleh karena itulah, ketika kunjungan ke republik-republik Rusia, biasanya yang menjemput minimal menteri atau deputi menteri lokal. Ia bahkan mengaku pernah dijemput empat pejabat setingkat menteri saat berkunjung ke Republik Dagestan karena ia adalah dubes pertama yang datang ke sana.
Suatu hari, ketika ia berkunjung ke Kazan, karena penerbangannya masih lama, ia mencoba melepaskan diri dari kawalan petugas protokoler untuk mencari makanan Asia atau makanan cepat saji karena sudah bosan dengan makanan hotel. Ia mengatakan akan ke bandara sendiri dan ingin berjalan-jalan. Namun, setelah sang petugas melapor kepada pimpinannya, ia mengatakan harus tetap mendampingi Wahid hingga ke bandara. Akhirnya, Wahid pun terpaksa membatalkan niatnya untuk mengisi perut.
"Saya merasakan perlakukan yang saya terima itu sangat luar biasa. Itu yang membuat saya terkesan karena itu tidak pernah saya alami sebelumnya. Jadi, saya merasa menjadi dubes yang sebenarnya itu ya di sini, dalam hal protokoler dan penghormatan," aku Wahid.
Pesan Terakhir
"Saya melihat pendekatan budaya paling efektif untuk mendekatkan kedua negara, karena budaya sebenarnya sangat luas. Kita bisa bicara ekonomi, perdagangan, investasi. Selain itu, interaksi antarindividu juga sangat penting, karena ‘seeing is beliving’ (melihat berarti percaya). Ketika orang Indonesia yang ikut FI sampai di sini, pandangan mereka tentang citra buruk Rusia langsung berubah total,” tutup Wahid yang akan menikmati masa pensiunnya sekembalinya ke Indonesia.