Saya selalu bermimpi hidup di tepi laut dan melakukan sesuatu yang kreatif. Pada awalnya, saya ingin pindah ke Maroko dan membuka hostel untuk peselancar, tetapi itu hal yang sulit di negara dengan aturan dan adat istiadat Islam yang sangat ketat. Seorang teman lalu merekomendasikan Bali.
Bali bukanlah surga seperti yang semua orang kira. Anda perlu berjuang di sini. Tak banyak pekerjaan untuk orang kulit putih, dan upahnya buruk. Membuka bisnis Anda sendiri pun sangat berisiko, hampir sama buruknya dengan di "tahun 1990-an yang liar" di Rusia. Ada dua geng mafia lokal yang menguasai seluruh pulau dengan tangan besi. Teman-teman saya dan saya membuka kafe kecil, tetapi harus menutupnya karena mafia memberikan tekanan besar pada kami. Mereka menaikkan biaya sewa tiga kali lipat, menuduh kami tak membayar listrik — sulit berkilah. Itulah situasi di sana untuk bisnis kecil. Untuk bisnis besar, saya diberitahu bahwa itu bisa lebih kejam.
Meski begitu, saya mampu mempraktikkan semua rencana kreatif saya. Dalam tujuh tahun di Bali, saya telah bekerja sebagai DJ dan di sebuah kamp selancar, membuka bisnis shisha, dan bahkan menjadi direktur seni.
Kendala terbesar adalah bahasa. Untuk waktu yang cukup lama, saya hidup di tempat terpencil dan hanya bisa berkomunikasi dengan penduduk setempat. Generasi yang lebih tua, terutama orang-orang dari desa-desa terpencil, tidak bisa berbahasa Inggris. Jadi saya terdorong untuk mempelajarinya.
Setelah dua tahun, saya mulai mengajar bahasa Indonesia ke orang Rusia. Saya memberi kelas untuk pemula. Omong-omong, banyak orang Rusia yang mulai pindah ke Bali baru-baru ini. Pada 2012 ketika saya baru sampai, jumlahnya jauh lebih sedikit.
Butuh waktu lama untuk terbiasa dengan pola makanan lokal. Aku benar-benar merindukan makanan Rusia: curd cake berlapis gula, yoghurt, keju cottage asli. Saya bahkan mencari dan mendapatkan pekerjaan di pabrik susu, di mana semua makanan itu tersedia dalam berbagai jenis. Tetapi situasi sudah berubah, dan kini Bali memiliki toko-toko dengan banyak pilihan produk Rusia.
Agama itu suci di Indonesia. Mayoritas besar mengikuti keyakinan Islam atau Katolik. Di Bali, banyak agama berbeda yang hidup berdampingan dengan sangat baik.
Enam tahun lalu, saya menikah dengan orang Indonesia. Ternyata hanya pernikahan berbasis agama yang diperbolehkan di sini. Masalahnya saya Ortodoks dan suami saya Katolik, dan bahkan kami sebenarnya tak ingin menikah! Saya harus mengatur pernikahan scara 'semilegal' agar seorang pendeta Protestan bisa membuat kami menikah di pantai. Tetapi sekarang ada masalah lain — sudah tiga tahun kami mencoba cerai, tetap tidak bisa!
Saya harus belajar mengendarai sepeda motor. Lalu lintas di sini gila dan jalannya sempit, jadi sepeda motor adalah bentuk transportasi paling nyaman. Ketika akan melahirkan, saya pergi ke rumah sakit dengan sepeda motor — itu lebih cepat!
Orang Bali tahu cara menikmati hal-hal paling sederhana. Mereka mengambil sesuatu yang positif dari setiap hari yang dilewati, tidak peduli seberapa biasanya hari itu. Saya sangat suka pendekatan Buddhis ini terhadap kehidupan.
Orang-orang Rusia tidak seterbuka orang Bali, apalagi memercayai dunia — kami punya agama, sejarah, dan latar belakang yang sangat berbeda. Barangkali baru generasi pasca-Soviet yang mencoba hidup dengan cara yang lebih bebas.
Orang tua saya tak mengerti gaya hidup saya, mereka pikir harus ada kestabilan dalam segala hal. Orang Rusia memiliki pola pikir yang benar-benar berbeda dalam membesarkan anak-anak. Banyak yang tak mengerti bagaimana atau mengapa saya berjalan-jalan dengan anak saya. Mereka percaya bahwa ia harus punya satu rumah, satu sekolah. Tapi anak saya sekarang berusia enam tahun, berbicara dalam tiga bahasa, dan sedang belajar bahasa Mandarin. Ia selalu tertarik pada hal-hal baru, mirip ibunya!
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda