Tragedi Everest '96: Kisah Nekat Pendaki Rusia demi Selamatkan Tiga Nyawa di Ketinggian 8.000 Meter

Discover Russia
KSENIA ZUBACHEVA
Penyelamatan di dataran tinggi jarang berhasil dan kerap dianggap sebagai upaya bunuh diri. Namun, keajaiban bisa terjadi dan sebuah tragedi pada 1996 yang diulas dalam film Everest menunjukkan bagaimana seorang pendaki berhasil menyelamatkan tiga nyawa meski di tengah kondisi yang sangat berbahaya.

Pada 10 Mei 1996, sebuah badai salju dahsyat menerjang Gunung Everest, membuat para pendaki gunung terjebak yang tengah menuruni gunung. Sejumlah anggota ekspedisi terjebak di ‘zona kematian’ — zona mematikan yang berada di ketinggian lebih dari 8.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan oksigen yang sangat terbatas. Pada ketinggian tersebut, otak Anda menjadi mudah kebingungan, dan bahkan bergerak pun menjadi sangat sulit. Karena semua energi para pendaki sebelumnya difokuskan pada pendakian ke atas, kerap kali proses turun jauh lebih sulit.

Karena buruknya jarak pandang, mereka yang kembali ke tempat peristirahatan di ketinggian 7.900 meter di atas permukaan laut tak siap untuk melakukan misi penyelamatan. Semua pendaki terlalu lelah dan paham bahwa jika mereka keluar di saat badai, akibatnya bisa fatal. Namun, seorang pria tetap mencoba hal itu. Anatoli Boukreev, seorang pemandu Rusia untuk ekspedisi Amerika, Mountain Madness, menyelamatkan tiga nyawa malam itu.

Turun Gunung

Sebagai seorang pendaki berpengalaman yang terlatih di era Soviet, Boukreev adalah salah satu dari dua pemandu yang disewa oleh pendaki AS Scott Fischer untuk ekspedisi komersial pertamanya pada 1996. “Akan ada Anatoli (Boukreev) bersama kita — tak ada pendaki yang lebih berpengalaman dan kuat daripada dia. Siapa yang akan tahu apa yang akan terjadi?” demikian kata Fischer ketika Boukreev bergabung dengan tim, menurus seorang koleganya (dari buku Boukreev The Climb)

Tahun itu, timnya merupakan salah satu dari beberapa ekspedisi yang mencoba mencapai puncak. Awalnya, semua berlangsung dengan baik: cuaca cukup bagus dan tak menunjukkan gejala memburuk. Boukreev lebih awal dari timnya, ia mencapai puncak sekitar pukul 1 siang, dan ia menunggu yang lain. Pada pukul 02.30 siang, hanya dua dari delapan pendaki yang sudah mencapai puncak. Khawatir dengan yang lain, Boukreev turun untuk mencari tahu apakah ada masalah di bawah.

Tepat di bawah puncak, Boukreev berpapasan dengan Rob Hall, kepala ekspedisi dari Selandia Baru, dan melewati empat klien pendakinya. Scott Fischer pun terlihat baik-baik saja.

“Di atas Pijakan Hillary (batu penghalang yang tak jauh di bawah puncak) saya bertemu dan bicara dengan Scott Fischer, yang kelelahan, tapi dia bilang ia hanya sedikit tak enak badan. Tak ada tanda-tanda kesulitan meski saya mulai menduga bahwa pasokan oksigennya (yang digunakan untuk menghindari atau mengurangi efek hypoxia akut di dataran tinggi) sudah menipis,” kenang Boukreev.

“Saya bilang pada Scott bahwa pendakian sepertinya lamban, dan saya khawatir ketika turun mereka akan kehabisan oksigen sebelum kembali ke Camp IV (di 7.900 mdpl). Saya jelaskan bahwa saya ingin turun secepat mungkin ke Camp IV untuk menghangatkan diri dan mendapat pasokan minuman hangat dan oksigen kalau-kalau saya harus naik ke atas mendampingi pendaki. Scott, karena melihat Rob Hall di depannya, menyetujui rencana tersebut.”

Boukreev lalu kembali ke pos peristirahatan dan bersiap bertemu dengan yang lain yang akan segera kembali. Ketika tak ada satu pun yang kembali pada pukul 6 sore, ia mulai khawatir. Tak ada jaringan radio, ia membawa pasokan persediaan dan oksigen, dan mencoba mencari para pendaki. Namun, badai yang makin besar tak membuatnya mudah — karena pendeknya jarak pandang, dan tak tahu di mana mereka berada, Boukreev kembali ke Camp IV.

Sekitar pukul 9 malam, pendaki Martin Adams tiba, tapi ia terlalu lemah untuk bicara. Kemudian, tiga anggota tim lain tiba — pemandu Neal Beidleman, serta pendaki Lene Gammelgaard dan Klev Schoening. Mereka menjelaskan bahwa sekitar lima pendaki terjebak tak jauh dari pos — tiga di antaranya dari Mountain Madness (Charlotte Fox, Tim Madsen, dan Sandy Pittman), dan dua dari tim Selandia baru (Yasuko Namba dan Beck Weaters). Lopsang Jangbu Sherpa, seorang pemandu lokal, tiba dan menyampaikan pada Boukreev bahwa Fischer terjebak di ketinggian 8.500 meter.

Enam orang butuh bantuan dan hanya Boukreev yang bersedia membantu. Dengan teh dan oksigen ia keluar menembus badai tiga kali dan membawa Sandy Pittman pertama, dan kemudian Charlotte Fox dan Tim Madsen. Ia terus meminta para Sherpa dan anggota ekspedisi lain untuk membantu menolong Yasuko Namba (Weaters tak ada di sana kala itu), tapi tak ada yang bersedia.

Dalam buku Boukreev, The Climb, Gammelgaard ingat melihat Boukreev setelah ia kembali dengan Fox dan Madsen. “Saya bangun sekitar pukul 5 pagi dan melihat Anatoli (Boukreev). Ia sudah kembali. Kala itu sudah terang, dan ia duduk tanpa bicara sepatah kata pun. Ia benar-benar kelelahan. Tak ada energi yang tersisa. Dan saya jelas paham bahwa ia berhasil membawa Tim, Charlotte dan Sandy, tapi tak bisa melakukan apa-apa untuk Yasuko Namba dan pendaki lain (Beck Weaters) yang masih tertinggal di sana.”

Ia juga tak bisa melakukan apa-apa untuk Fischer. Hari berikutnya, para Sherpa mencarinya, tapi sudah terlambat. Boukreev tak percaya dan ia pergi sendiri untuk melihatnya. Di perjalanan mendaki ia melihat Beck Weaters berhasil menemukan pos peristirahatan — sungguh sebuah keajaiban.

Pukul 7.05 malam, ia menemukan Fischer, yang tak bisa diselamatkan. “Harapan terakhir saya runtuh. Saya tak bisa melakukan apa-apa untuknya,” kenang Boukreev.

Kritik

Jika Anda sudah menonton film Everest (2015), Anda mungkin ingat seorang tokoh pemandu Rusia yang tegas yang kerap minum dan main akordeon. Begitulah para pembuat film melihat Boukreev. Penggambaran ofensif dan fanatik mengenai orang Rusia setidaknya tak menghentikan para pembuat film menunjukkan kepahlawanan Boukreev dalam menyelamatkan nyawa.

Namun, Jon Krakauer, seorang jurnalis Amerika dan anggota ekspedisi Rob Hall, melakukan banyak hal untuk melemahkan Boukreev. Dalam bukunya, Into Thin Air, dan buku-buku lain, ia bilang bahwa Boukreev tak bertanggung jawab dengan meninggalkan para kliennya di belakang dan tak menggunakan oksigen yang digunakan banyak orang untuk menghindari efek berbahaya hypoxia di dataran tinggi.

“Meski Scott Fischer memberinya izin untuk melakukan itu, apakah Anatoli (Boukreev) benar-benar berpikir bahwa ia mendaki tanpa oksigen tambahan semata-mata demi kepentingan kliennya? Anatoli jelas seorang pendaki yang kuat, tapi ia dibayar 25 ribu dolar AS untuk bertindak sebagai pemandu, dan oksigen tentu akan membantunya berpikir lebih jernih dan menolong kliennya dengan lebih siap. Atau apakah Anatoli merasa ia lebih kuat tanpa oksigen?” tulis Krakauer.

Boukreev memilih untuk mendaki tanpa oksigen karena ia merasa itu lebih aman. Itu membantunya menghindari penurunan jumlah oksigen secara tiba-tiba saat oksigennya habis. “Saya sudah mendaki selama lebih dari 25 tahun dan menggunakan oksigen tambahan hanya sekali saat mendaki gunung di ketinggian 8.000-an. Saya tak pernah mengalami kesulitan karena kekurangan oksigen tambahan,” tulis Boukreev di bukunya.

Meski terus diserang Krakauer, keberanian Boukreev masih diakui oleh banyak pendaki lain. Galen Rowell, seorang pendaki dan jurnalis foto Amerika, kemudian menulis di Wall Street Journal, “Saat Krakauer tidur dan tak ada pemandu, klien, atau Sherpa lain yang cukup kuat dan berani untuk meninggalkan kamp, Boukreev bolak-balik menembus badai di kegelapan pada ketinggian 26 ribu kaki untuk menyelamatkan tiga pendaki yang hampir mati. Meski Krakauer memberi sejumlah pengakuan pada Boukreev, ia tak pernah melukiskan gambaran besar salah satu penyelamatan terhebat dalam sejarah pendakian yang dilakukan sendiri dalam beberapa jam setelah mendaki Everest tanpa oksigen oleh seorang pria yang sering disebut Tiger Woods dalam pendakian Himalaya. Boukreev telah mencapai berbagai puncak dunia sendirian, tak sampai sehari, di musim dingin, dan selalu tanpa oksigen (karena prinsip pribadinya). Karena sudah mendaki Everest dua kali, ia memprediksi masalah dengan para klien di dekat kamp, mencatat bahwa ada lima pemandu lain di puncak dan menempatkan dirinya untuk beristirahat dan cukup air untuk merespons situasi darurat. Kepahlawanannya bukan sebuah kebetulan.”

Klub Pendaki Amerika American Alpine Club memberi penghargaan David Sowles Award untuk sang pendaki Rusia, penghargaan tertinggi untuk keberanian, upayanya menyelamatkan Sandy Hill Pittman, Charlotte Fox dan Tim Madsen kembali ke Camp IV dalam kondisi hidup. Banyak orang yang menyadari bahwa jika ia tak turun ke Camp IV sebelum cuaca memburuk, ia tak akan mampu membantu, dan mungkin bahkan tewas. Lelah dan tanpa oksigen, ia tak mungkin bisa membantu mereka yang membutuhkan pertolongan.

Anatoli Boukreev meninggal pada usia 39. Pada Desember 1997, ia dan kawannya Dimitry Sobolev tewas akibat longsoran salju di sisi selatan Gunung Annapurna di Nepal. Jenazah mereka tak pernah ditemukan.

Banyak hal yang bisa diceritakan dari hidup Boukreev — sejumlah rekor pendakiannya serta gairahnya terhadap pendakian gunung — tapi kutipan ini mungkin cukup untuk mendeskripsikan mengapa ia melakukannya. “Sejujurnya, saya tak pernah ingat saya pernah merasa ketakutan di pegunungan. Sebaliknya, saya merasa seperti seekor burung yang melebarkan sayapnya sebelum terbang. Saya merasakan kebebasan di ketinggian. Segera setelah saya turun, kehidupan menjadi hambar, saya merasa beban dunia berada di pundak saya.”

Orang Rusia memang penjelajah ulung. Jauh di masa lalu, ilmuwan Rusia telah melakukan ekspedisi ke wilayah Kutub Utara. Simak kisah selengkapnya!