Semua yang Perlu Anda Ketahui tentang Vaksin COVID-19 Kedua Rusia 'EpiVacCorona'

Dmitry Rogulin/TASS
Vaksinasi massal menggunakan EpiVacCorona sudah berlangsung di Rusia sejak pertengahan Maret 2021. Vaksin COVID-19 kedua Rusia yang telah resmi terdaftar dalam Daftar Obat Negara ini akan memberi kekebalan tubuh terhadap virus corona selama enam bulan. Berikut beberapa fakta mengenai vaksin tersebut.

Apa jenis vaksinnya?

EpiVacCorona adalah vaksin berbasis peptida, yang dikembangkan berdasarkan tiga peptida — fragmen pendek dari protein lonjakan yang berbentuk seperti paku-paku virus virus COVID-19 — yang telah disintesis secara kimiawi. Protein lonjakan ini membantu virus untuk melekat pada sel manusia dan masuk ke dalamnya. Ini adalah sejenis iritan yang bereaksi sebelum sel-sel sistem kekebalan melawan virus.

Vaksin ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian Vektor di Siberia, yang telah mengembangkan vaksin berbasis peptida selama lebih dari 20 tahun, salah satunya vaksin melawan virus Ebola.

Apakah vaksin ini mengandung virus corona atau virus lainnya?

Tidak! EpiVacCorona sama sekali tidak mengandung virus hidup atau elemen genom virus apa pun. Ini berbeda dengan vaksin Sputnik V, yang dikembangkan pada platform vektor (mengandung adenovirus). Dalam hal ini, EpiVacCorona dianggap lebih aman dari Sputnik V, karena tidak menyebabkan reaksi alergi atau komplikasi, yang telah dibuktikan dalam uji coba pada hewan dan sukarelawan.

“Seseorang dapat divaksinasi ulang seumur hidup tanpa takut reaksi alergi atau munculnya antibodi terhadap vektor — tidak ada vektor di dalamnya,” jelas Kepala Departemen Infeksi Zoonosis dan Influenza Vektor Aleksandr Ryzhikov, yang mengembangkan EpiVacCorona.

Bagaimana tingkat kemanjurannya?

Penelitian menunjukkan bahwa seratus persen sukarelawan menunjukkan reaksi kekebalan atas virus corona — semuanya mengembangkan antibodi. Menurut pengembangnya, kekebalan yang dihasilkan vaksin bertahan selama enam bulan. Pengukuran titer antibodi menghasilkan rasio yang kira-kira sama pada pasien yang divaksinasi dan pasien yang telah pulih. Pada mereka yang telah pulih, angkanya sedikit lebih tinggi, yaitu 1:80 berbanding 1:60.

Pada saat yang sama, sejumlah pihak memperdebatkan bahwa vaksin ini cocok untuk berbagai varian atau mutasi virus corona, karena hanya didasarkan pada bagian "konservatif" dari protein virus, yang tidak mengalami perubahan. Teori ini juga diuji secara eksperimental pada varian COVID-19 Inggris.

Akan tetapi, di situlah pembicaraan percaya diri tentang efikasi (kemanjuran vaksin) berakhir. Masalahnya adalah bahwa uji klinis tahap pertama dan kedua EpiVacCorona hanya dilakukan pada seratus sukarelawan. Sejauh ini, hanya itu satu-satunya argumen yang mendukung klaim kemanjurannya. Pada tahap itu, hanya keamanan jangka pendek, keberadaan serta frekuensi efek samping dan imunogenisitasnya (kemampuan vaksin untuk memicu respons imun) yang telah dinilai. Sampai sekarang, hasil penelitian ini baru diterbitkan di jurnal Infektsiya i immunitet ‘Infeksi dan Imunitas’ Rusia, yang berada di bawah regulator utama yang mengeluarkan izin untuk penggunaan vaksin, Rospotrebnadzor, yang jarang dikutip.

Efikasi vaksin tidak dijelaskan dalam penelitian tersebut, tetapi dibahas dalam penelitian lain, yaitu uji klinis tahap ketiga. Sementara, tahap ketiga masih berlangsung.

Masalah apa yang ditemukan saat uji coba vaksin?

Ukuran sampel terlalu terbatas dan pengembang sendiri juga mengakuinya. Hanya 3.000 orang yang mengambil bagian dalam uji coba tahap ketiga dan seperempat dari mereka telah diberi plasebo (vaksin palsu). Jumlah ini adalah sepersepuluh dari sampel untuk Sputnik V.

"Uji coba telah berlangsung pada periode yang sangat tidak menguntungkan, yaitu selama melonjaknya penyebaran penyakit," jelas para pengembang. Mereka mengatakan dengan meyakinkan, bagaimanapun, uji klinis vaksin terhadap penyakit musiman juga didasarkan pada sampel yang serupa sehingga dalam hal ini, ukuran sampel seperti itu juga akan mencukupi.

Masalah lainnya adalah tidak adanya data yang dikonfirmasi tentang keefektifan vaksin. Tidak ada yang menentang bahwa kemanjuran vaksin dalam memproduksi antibodi, tetapi komponen lain juga sangat penting dalam pembentukan kekebalan,  respons sel-T, sitokin, dan sebagainya. Belum ada data tentang ini. Masih ada sembilan bulan lagi sebelum selesainya uji klinis tahap ketiga. Terlebih lagi, ini adalah tahap yang paling penting, karena menurut statistik hanya 30 persen uji klinis vaksin yang lolos tahap ini, sedangkan sisanya gagal meskipun hasil yang baik telah diperoleh pada tahap-tahap awal. 

Sementara itu, vaksinasi massal dengan EpiVacCorona sudah berlangsung di Rusia sejak pertengahan Maret 2021, termasuk dengan orang yang berusia di atas 60 tahun. Sejumlah negara juga telah menyatakan minatnya untuk mengimpor vaksin tersebut.

Berapa dosis yang dibutuhkan?

EpiVacCorona disuntikkan dalam dua dosis, dengan selang waktu 14—21 hari.

Apa efek sampingnya?

Sejauh ini, hanya efek samping minimal yang telah dilaporkan. Inilah yang menjadi keunggulan utama EpiVacCorona dibandingkan semua vaksin COVID-19 yang ada saat ini, dan tidak ada yang mempermasalahkannya.

Sukarelawan dalam uji coba tahap pertama dan kedua melaporkan rasa sakit ringan di sekitar area suntikan, yang berlalu dengan cepat. Selain itu, tidak ada gejala merugikan lainnya yang dicatat.

Saluran Telegram tidak resmi yang dibuat oleh peserta dalam uji coba tahap ketiga mengungkapkan efek samping minimal: ketidaknyamanan dan kemerahan di sekitar area suntikan yang berlangsung sehari dan rasa sakit yang parah di bahu. Namun, tak satu pun dari mereka mengalami demam, nyeri tubuh, atau setidaknya, tidak ada hubungan kausal dengan penyuntikan. 

Begini cara Soviet membantu Jepang mengalahkan virus mematikan semasa Perang Dingin.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki