Pria Berkulit Cokelat di Rusia: Memetik Pelajaran dari Petualangan Kereta Trans-Siberia

Discover Russia
RUSSIA BEYOND
Ketika bertualang melintasi pelbagai wilayah di Rusia, Anda akan menemukan bermacam hal terkait dengan adaptasi diri, kesabaran, rasa ingin tahu, kepercayaan orang, dan banyak lagi yang lainnya.

Misalnya, bagaimana reaksi Anda ketika bertemu pria berseragam tentara yang benar-benar mabuk dan lalu mengajak Anda untuk bergabung dalam pestanya? Selain itu, bagaimana jika suatu malam Anda membutuhkan tempat menginap, atau bagaimana Anda menjelaskan kepada kondektur kereta bahwa Anda memerlukan tiket ke Siberia?

Adalah Vijay Menon, seorang pria berkulit sawo matang yang cukup berani melakukan perjalanan dengan kereta api malam melintasi beberapa wilayah di Rusia. Pengalaman dengan petualangan yang menantang itu dia ungkapkan dalam buku hasil karyanya, A Brown Man in Russia (Pria Berkulit Cokelat di Rusia). Buku itu diterbitkan tahun lalu oleh Glagoslav Publications. Russia Beyond mencuplik beberapa bab menarik dari buku tersebut, di antaranya:

Bab 11: Lakukan Hal yang Benar

17-18 Desember 2013

Kereta Api Trans-Siberia → Tyumen, Rusia

Aku memandang ke luar lewat jendela berpalang ganda dari kereta yang kutumpangi. Seketika tampak pemandangan berselimut salju yang sangat luas. Semakin jauh dari Sankt Peterburg, cakrawala menjadi tampak semakin tandus. Meskipun demikian, beberapa tumbuhan dan hewan memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang, termasuk bertahan hidup di musim dingin Rusia yang cukup ekstrem. Ada keindahan yang tersirat di tengah kehampaan yang tersurat.

Seperti diketahui, Rusia merupakan salah satu negara dengan tingkat kepadatan penduduk paling jarang di planet ini, yakni kurang dari 10 orang per kilometer persegi. Hal itu berkebalikan dengan Bangladesh. Di negara itu tingkat kepadatan penduduknya lebih dari 1.000 orang per kilometer persegi, atau 100 kali lebih ramai jika dibandingkan dengan di Rusia. Pada kenyataannya, penduduk Rusia lebih sedikit daripada jumlah yang tampak, yang didominasi oleh kota-kota besar seperti Moskow dan Sankt Petesburg.  

Saat meteor menghantam salah satu kota Rusia, Chelyabinsk, pada 2013, tidak ada satu pun korban jiwa yang jatuh. Padahal daya ledak meteor itu 33 kali lebih kuat daripada bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat di Hiroshima, Jepang.

Bahkan, sekitar 100 tahun sebelumnya, sebuah meteor yang lebih besar meledak di dekat Sungai Tunguska di Siberia, Rusia. Itu adalah peristiwa terbesar jatuhnya meteor ke bumi yang terekam dalam sejarah, yang juga tidak menimbulkan satu korban jiwa pun.

Beruntunglah dunia ketika meteor-meteor itu 'memilih jatuh' di Rusia. Bayangkan jika kekuatan yang sama menghantam Tokyo, Jepang, misalnya, jutaan jiwa manusia mungkin telah binasa.

Sekilas deskripsi ini seperti tidak adil karena seolah hanya kehancuran belaka yang diceritakan terkait dengan Rusia.

Memang di sini seseorang dapat menempuh perjalanan berjam-jam dengan kereta — berjarak ratusan kilometer — tanpa tanda-tanda kehidupan sejauh mata memandang.

Meskipun demikian, di sinilah kami — berbagi kereta dengan ratusan warga Rusia yang bergerak ke timur menuju rumah mereka, sembari memendam rasa penasaran dengan kisah di balik pemuda Amerika ini yang seperti tengah berada di 'habitat' yang salah.

Aku mondar-mandir berjalan di koridor. Semula aku terlalu curiga pada banyak hal yang menarik perhatian diriku. Di Moskow dan Sankt Peterburg, aku tentu saja unik, tetapi itu tak berarti sama sekali. Akan tetapi, semakin kita bergerak ke timur, semakin rona kulitku membuatku menjadi selebritas bonafide meskipun mungkin bukan yang paling populer.

Salah satu keuntungan dari ketidaktahuan kita akan bahasa lokal ialah ketakpedulian pada apa yang orang-orang di sekitar pikirkan tentang Anda. Walaupun demikian, sulit untuk menerima ketika di antara mereka secara terbuka menunjuk dan saling berbisik ketika saya berjalan dengan acuh tak acuh di depan mereka. Namun, saat itu tidak ada yang berani mendekati saya.

Menjelajahi kereta adalah proses yang penuh dengan kesenangan kecil dan tak terduga. Sebagai contoh, saya terpesona oleh kamar mandi di kereta. Mekanisme flush benar-benar membuka bagian bawah mangkuk toilet, lalu memaparkannya ke tanah yang mendasari dan menempatkan hajat seseorang langsung ke rel di bawahnya.

Dingin yang membekukan untuk waktu yang lama akan menyebabkan bagian dalam kamar mandi kereta api terisi salju dan hujan es dari luar. Dalam kondisi seperti itu, seperti anak kecil yang nakal, saya sering menghibur diri dengan berlama-lama membayangkan kamar mandi itu seperti area negeri ajaib di musim dingin, sementara di luar penumpang lain sudah tak sabar mengantre untuk menggunakan toilet.

Selain itu, di setiap bagian kereta ada ruang makan berbeda yang dirancang dengan indah. Saya menyaksikan orang-orang tengah menikmati makanan yang menurut saya aneh untuk dimakan.

Di sisi lain, saya juga melihat penumpang yang sangat mabuk seperti habis duduk berlama-lama di bar. Ketika Anda terjebak di satu tempat begitu lama, Anda tidak punya pilihan selain menemukan cara untuk menghibur diri.

Tujuan pertama kami dalam petualangan berkereta api ini ialah Kota Tyumen. Kota ini terletak 2.000 mil dari titik awal kami di St Petersburg dan sekitar 3218.6 kilometer di sebelah timur Moskow. Kota yang didirikan pada 1586 sebagai pos pertama Rusia di Siberia itu kini telah dihuni sekitar setengah juta orang, dan berfungsi sebagai kantor pusat de facto (pada kenyataanya -red) untuk industri minyak dan gas negeri itu.

Fakta-fakta ini hanya diungkapkan kepada kami ex post facto (sesudah fakta -red). Pada saat itu, kami memilih kota secara acak di peta dan memutuskan itu akan menjadi tempat yang baik untuk dikunjungi. Tidak kurang, tidak lebih. Butuh dua hari penuh untuk tiba, jadi butuh upaya keras untuk menempuh perjalanan ini.

Saya menghabiskan berjam-jam duduk di tempat tidur bertingkat yang berada di atas tempat tidur rekan misterius Rusia kami, sambil mendengarkan musik di peranti iPod Shuffle. Sementara itu, Avi dan Jeremy berbaring di hadapan saya. Ketika malam tiba, daya baterai iPod milikku benar-benar habis.

"Sial," kataku.

"Apakah ada yang punya charger? Saya lupa membawanya."

Jeremy dan Avi menggelengkan kepala.

Dengan begitu, tak ada lagi musik selama sisa perjalanan ini.

Saya kecewa, tetapi tidak ada yang bisa disalahkan, selain diri saya sendiri.

Ketika saya mulai menerima kenyataan yang tidak menyenangkan ini, pria di bawah saya mengangkat dan menyodorkan lengannya yang ternyata menggenggam charger iPod Shuffle dan adaptor di dalamnya. Dia membuka kepalan tangannya dan bertanya,

"Kamu perlu?"

"Da!" Seruku. "Spasibo!" (Iya! Terima kasih!)

Dan setelah itu, kami pun berteman dengan Slava, orang pertama dari banyak orang asing berikutnya yang akan menunjukkan kepada kita soal kebaikan dan kehangatan dalam sebuah perjalanan.

Slava ialah seorang pria muda berusia sekitar 25 tahun yang berasal dari Kota Perm. Wilayah tempat tinggalnya berfungsi sebagai pusat industri utama di dekat Pegunungan Ural yang terletak di tepi Sungai Kama. Slava baru saja lulus dari universitas negeri di kota itu dengan gelar bergengsi di bidang teknik. Dia telah melakukan perjalanan ke Sankt Petersburg untuk melakukan beberapa pekerjaan dan kembali ke rumah untuk melanjutkan pekerjaannya.

Jelaslah bahwa Slava, seorang pria sederhana berwajah lembut dan bertubuh langsing itu memiliki kecerdasan yang seiring dengan kemurahan hatinya yang tak terbatas. Ia memang seorang yang haus belajar dan segera meminta kami mengajarinya angka-angka dalam bahasa Inggris. Hanya dalam satu jam, dia menguasai hingga hitungan sejuta. Slava juga tak lelah mengajukan banyak pertanyaan dalam bahasa Inggris kepada kami, sebuah upaya yang jelas untuk meningkatkan penguasaan bahasanya.

Dari mana asal kami? Apa yang kami lakukan? Dan yang paling penting — mengapa Tyumen?

Kami tidak memiliki jawaban yang memuaskan untuk itu.

Setelah beberapa olok-olok, Slava menunjuk ke papan catur, dan bertanya, "Apakah ia bisa bermain."

"Apakah kamu sangat jago?" tanyaku.

"Tidak. Saya seorang pemula," ujar Slava. "Tapi mari kita bermain untuk bersenang-senang."

Dengan percaya diri, saya pun duduk menghadap papan catur. Kurang dari 3 menit kemudian, rajaku telah dikalahkan.

"Kau penipu!" candaku.

"Lagi," dia meminta.

Meski sedikit tertekan secara mental, saya tetap merasa terhibur. Saya pun menerima tantangannya sekali lagi. Pada langkah kedua, saya memajukan kesatria di depan pion saya — sebuah pembukaan klasik untuk saya.

"Ambil kembali," pinta Slava dengan ekspresi jijik terukir di wajahnya.

"Apa?"

Saya bingung.

"Ambil kembali," ulangnya. "Percayalah!"

"Ayo kita mainkan saja, Slava," jawabku bingung.

Merasa kesal, Slava melanjutkan dengan delapan langkah mematikan dan mengatakan kerugian akan segera terjadi jika saya memainkan gerakan yang telah saya tegaskan.

"Ya Tuhan," pikirku. "Apakah saya bermain dengan Slava atau Garry Kasparov?"

Dengan malu-malu, saya menarik langkah itu kembali, tapi tidak ada gunanya. Seperti yang mereka katakan; sebuah perlawanan sia-sia.

Dalam 10 menit saya kembali dikalahkan. Demikian pula Avi dan Jeremy. Setelah Slava mengalahkan kami bertiga, kami memutuskan bahwa satu-satunya jalan untuk 'mengalahkannya' ialah dengan 'meracuninya', dan kami hanya memiliki satu 'racun' untuk melakukannya, yakni alkohol.

Kami mengeluarkan beberapa botol bir 'Gold Mine', bir dengan kualitas sangat buruk sehingga mendapat peringkat 3% di BeerAdvocate.com*. Kami pun berpesta bir dengan teman baru kami itu sebelum pingsan di malam hari. 

Bisa berbagi senyum dan tertawa lepas; inilah alasan kami datang ke Rusia.

*Referensi favorit pemeringkatan bir dengan skala 1-100.

Trans-Siberia adalah jalur kereta api terpanjang di dunia. Dibutuhkan enam hari untuk menempuh perjalanan sejauh 9.300 kilometer yang membentang dari Moskow ke Vladivostok ini. Tidak semua orang sanggup menjalaninya, tetapi ada beberapa orang yang secara teratur mengikuti rute ini, menghabiskan hampir dua minggu di sana dan kembali. Siapa orang-orang super ini?