Tumpah Darah Demi Dominasi: Tiga Pemimpin Rusia yang Paling Sering Berperang

Sebuah adegan film 'The Czar's Bride', di mana Pyotr Glebov memerankan Ivan yang Mengerikan.

Sebuah adegan film 'The Czar's Bride', di mana Pyotr Glebov memerankan Ivan yang Mengerikan.

Sputnik
Rusia telah memimpin banyak perang dalam perjalanan sejarahnya yang panjang. Berikut adalah tiga pemimpin yang paling sering berperang — baik yang memang gemar mau pun terpaksa.

1. Svyatoslav I

Moto: "Aku datang kepadamu!"

"Ia berekspedisi tidak membawa gerobak atau pun ceret... Ia juga tidak memiliki tenda, hanya beralaskan selimut dan meletakkan sadel di bawah kepalanya, dan semua pengikutnya melakukan hal yang sama." Begitulah kronik pertama Slavia Timur yang mengisahkan Svyatoslav, seorang pejuang berani pada abad ke-10 di Rus kuno.

Svyatoslav menghabiskan seluruh pemerintahannya dalam peperangan rutin dengan para tetangga Rus. Ia adalah penguasa penyembah berhala terakhir dari negara Rusia kuno. Ia tak mau masuk agama Kristen karena takut akan kehilangan kesetiaan dari prajuritnya. Pada akhir pemerintahannya, ia dilaporkan berhasil menguasai negara terbesar di Eropa.

Ia mengalahkan kekuatan besar di wilayah tersebut, Khazar, yang mengendalikan sisi bawah perdagangan Volga. Svyatoslav menundukkan beberapa suku Slavia Timur dan menghancurkan Alan dan Bulgaria Volga. Ia juga mengalahkan orang-orang Bulgaria di barat dan diduga ingin memindahkan ibu kotanya dari Kiev ke Danube.

Namun, kemenangannya atas orang-orang Bulgaria itu dikecam oleh Kekaisaran Byzantium yang merupakan tetangga, dan Konstantinopel mengirim pasukan untuk berurusan dengan sang pangeran Slavia yang gemar berperang. Mereka memaksanya mundur dan dalam perjalanan kembali ke Kiev, ia disergap oleh sebuah suku nomaden. Diduga, suku ini tak melakukannya sendiri melainkan didukung oleh Byzantium. Svyatoslav terbunuh dalam perang dan kepala suku nomaden menjadikan tengkoraknya piala.

2. Ivan yang Mengerikan

Moto: "Pemimpin pasukan kita adalah Tuhan, bukan manusia"

Ivan IV adalah penguasa yang kejam dan keras dalam mengejar kepentingannya baik untuk urusan perdamaian dan perang. Hal ini terbukti dalam pertempuran melawan Kekhanan Kazan pada 1547. Dua kekhanan — Kazan dan Astrakhan — adalah sisa-sisa Mongolia yang dulu berkuasa (Gerombolan Emas) yang menguasai wilayah Rusia yang luas selama lebih dari dua abad. Selain memang untuk menghentikan serangan para khan di tanah Rusia, pertempuran ini punya kepentingan simbolis — untuk benar-benar menghentikan ketergantungan dan menunjukkan status baru Moskow. “Kemenangan dalam perang-perang ini… membutuhkan upaya dan pengorbanan yang sangat besar. Bisa dibilang, menangkap Kazan butuh tiga pertempuran skala besar yang melibatkan mayoritas Angkatan Bersenjata Rusia," kata sejarawan Rusia Vitaly Penskoy.

Setelah memperluas dan menyapu bersih sisi timur yang membuka jalur Rusia hingga ke Siberia, Ivan IV mengalihkan perhatiannya ke selatan dan barat. Tatar Krimea kerap menyerbu dan merampas di tanah Rusia yang terkadang bahkan mencapai Moskow. Pada 1571, khan Krimea membakar kota tersebut. Tapi kekuatan mereka tak lebih dari itu: tahun berikutnya, pasukan mereka yang berkekuatan 120 ribu orang dihancurkan oleh pasukan Ivan yang Mengerikan yang berjumlah jauh lebih sedikit. Hanya 10 ribu prajurit Krimea berhasil pulang. Masalah perampasan berhasil diselesaikan.

Tapi, situasinya berbeda dengan lawan Ivan di barat. Untuk mendapatkan akses ke rute perdagangan Laut Baltik, ia menyatakan perang terhadap Ordo Livonia, penghuni daerah yang sekarang menjadi wilayah negara-negara Baltik. Menurut Penskoy, "Selama 20 tahun pertama perang (yang berlangsung selama seperempat abad) Ivan berhasil menguasai sebagian besar Livonia kecuali dua kota besar — Reval (sekarang Tallinn) dan Riga." Namun kemudian ia kehilangan segalanya — “Moskow tidak punya sumber daya untuk perang serentak di kedua front tersebut” (di selatan dan di barat). Namun, seperti yang ditekankan oleh beberapa sejarawan, Perang Livonia hanyalah hal terpenting kedua bagi Ivan. Pertarungan utamanya — dengan para Tatar dari Kazan, Astrakhan dan Krimea — dimenangkannya.

3. Ekaterina yang Agung

Moto: "Selagi masih hidup, saya akan mempertahankan tanah air dengan pena dan pedang"

Seorang Jerman, ia tetap berhasil memberikan lebih banyak untuk Rusia daripada kebanyakan penguasa berdarah asli. Pemerintahannya yang berlangsung selama 40 tahun di paruh kedua abad ke-18 diwarnai oleh banyak perang dan semuanya menang. Di bawah Ekaterina, Rusia bertempur dengan hampir semua tetangganya; ada yang beberapa kali.

Dibawah Ekaterina, Rusia dua kali berperang dengan Turki, "membawa pulang" Krimea dan sisi utara Laut Hitam sebagai hadiahnya. Ada beberapa perang dengan Polandia yang membuat Rusia mengambil alih wilayah barat Belarus dan Ukraina modern. Ekaterina juga mengalahkan Swedia dan Persia. Kadang-kadang, Rusia mengadakan dua perang secara bersamaan di perbatasan yang berbeda.

Ekaterina juga berhasil menghentikan pemberontakan terbesar pada era Kekaisaran Rusia — Pemberontakan Pugachev. Sebagaimana diungkapkan Sergei Solovyev yang merupakan pakar sejarah Rusia abad ke-19, Ekaterina "melangkahi pendahulunya, Peter yang Agung, dari mana ia juga mengambil nama 'Agung'". Sejarawan kontemporer Nikolay Pavlenko lebih lanjut membandingkan kedua hal ini: “Ketika Peter yang Agung mendapatkan akses ke Laut Baltik dan mendirikan armada Laut Baltik, Ekaterina menetap di tepi Laut Hitam, menciptakan armada Laut Hitam yang kuat dan menyatukan Krimea ke Rusia. Peter mengubah pinggiran Eropa Timur menjadi sebuah kerajaan sementara Ekaterina memberikannya kilau, memperluas perbatasannya, dan memperkuatnya."

Tak hanya peperangan, cinta juga mampu mengubah sejarah Rusia.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki