Bagaimana Pertempuran Rusia Melawan Kekaisaran Romawi Timur Terjadi?

Sejarah
BORIS EGOROV
"Orang-orang barbar dari Utara" dengan mudah memasuki jantung Kekaisaran (Konstantinopel), menanamkan ketakutan di antara penduduk dan para penguasa Bizantium.

“Suku barbar ini selalu memendam kebencian yang sengit dan fanatik terhadap hegemoni Romawi Timur; di setiap kesempatan, mengarang satu tuduhan atau lainnya, mereka menciptakan dalih untuk berperang dengan kita,” begitulah cara penulis Bizantium Michael Psellos menggambarkan orang-orang 'Rus' yang selama beberapa abad, telah mengganggu Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) dengan serbuan mereka.

Para penguasa Kievan Rus tertarik dengan kemegahan dan kekayaan ibu kota Romawi Timur yang jauh, Konstantinopel, yang mereka sebut sebagai ‘Tsargrad’ [“Kota-Tsar”]. Namun, para pangeran tidak berhenti pada serangan ganas dan dari waktu ke waktu, terlibat dalam perjuangan sengit untuk wilayah paling berpengaruh di Laut Hitam dengan kaisar Bizantium (yang dikenal sebagai 'Basileis' — atau 'Basileus' dalam bentuk tunggal).

Serangan Rusia di Byzantium dimulai pada paruh pertama abad ke-9. Para pangeran mencoba melancarkan serangan mereka pada saat-saat yang paling tidak tepat bagi Kekaisaran. Di mana tentara dan angkatan lautnya terlibat dalam salah satu konflik tanpa akhir, di Asia atau Balkan. Biasanya kekuatan yang begitu besar akan dikumpulkan untuk suatu kampanye berskala besar. Buku 'Pověstĭ vremęnĭnyxŭ lětŭ' ("Kisah Bertahun-tahun yang Lalu") — juga dikenal sebagai 'Russian Primary Chronicle' ("Kronik Utama Rusia") —  menggambarkan kampanye Pangeran Oleg pada tahun 907, mengatakan bahwa “dia membawa serta banyak orang Varangia, Slavia, Chuds, Krivichians, Merians, Polyanians, Severians, Derevlians, Radimichians, Croats, Dulebians dan Tivercians… Dengan seluruh kekuatan ini, Oleg maju dengan kuda dan kapal, jumlah kapalnya mencapai dua ribu kapal”.

Namun, merebut Konstantinopel yang dianggap tidak dapat ditembus, dengan tembok tinggi dan besar adalah tugas yang sangat sulit, bahkan untuk pasukan yang begitu besar. Sadar akan implikasi pengepungan, orang-orang Rus lebih suka menjarah dan membakar lingkungan ibukota kekaisaran Romawi Timur. Beginilah kroniknya menggambarkan penggerebekan di Konstantinopel oleh Pangeran Igor pada tahun 941: “Dan mereka yang ditangkap — beberapa disalibkan, sementara yang lain digunakan sebagai sasaran dan ditembakkan panah ke arah mereka, dengan tangan diikat di belakang, dan paku besi dipalu di kepala mereka. Banyak gereja suci dibakar dan… banyak harta dirampas”.

Terkadang, karena tidak dapat melawan “orang Skith yang biadab", Bizantium lebih suka membayar mereka. Pangeran Oleg berhasil membuat Kekaisaran membayar uang upeti dan memberikan hak istimewa perdagangan untuk pedagang Rusia hanya dengan demonstrasi kekuatan. Setelah menyelesaikan negosiasi, dia bahkan memakukan perisai ke gerbang kota sebagai tanda kemenangan.

Meskipun awalnya sukses, kampanye Pangeran Igor pada tahun 941 berakhir dengan kegagalan total, dan tiga tahun kemudian, penguasa Kievan mulai mempersiapkan ekspedisi baru yang besar. Namun, tanpa menunggu kedatangan pasukan Rus, Konstantinopel mengirim duta besar ke Igor, menawarinya banyak hadiah. Pada akhirnya, Pangeran dan druzhina [pengiringnya] memutuskan untuk membatalkan kampanye militer: “Tanpa pertempuran, kami akan mengambil emas, perak, dan pavoloka [kain mahal]! Bagaimana kita tahu siapa yang akan menang, kita atau mereka? Anda tidak dapat mencapai kesepakatan dengan laut sebelumnya — kami tidak akan berjalan di tanah, tetapi di dasar laut dan akan ada satu kematian untuk semua itu”.

Konflik tidak selalu terbatas pada serangan ganas. Antara tahun 968-971, Kievan Rus' dan Kekaisaran Bizantium berperang secara besar-besaran untuk kerajaan Bulgaria, yang dianggap Basileis sebagai wilayah kepentingan mereka. Pangeran Sviatoslav menaklukkan beberapa lusin kota Bulgaria. “Mereka mengatakan bahwa, setelah merebut kota Philippopolis, dia menusuk 20.000 tahanan dengan cara yang kejam dan tidak manusiawi, sehingga menimbulkan ketakutan yang mematikan pada mereka [orang-orang Philippopolis] dan memaksa mereka untuk tunduk kepadanya,” tulis Bizantium Leo Deacon. Namun pada akhirnya, Sviatoslav kehilangan keberuntungan di medan perang dan terpaksa berdamai dengan Kekaisaran, menyerahkan semua penaklukannya.

Di bawah pimpinan putra Sviatoslav, Vladimir, pemulihan hubungan aktif kedua kekuatan dimulai. Pangeran Kiev menikah dengan saudara perempuan Basileus Basil II (“Pembunuh Bulgaria”), Anna, mendukungnya dalam perang melawan komandan pemberontak Bardas Phokas, dan pada tahun 988, memprakarsai proses besar-besaran Kristenisasi negara di pagan-nya sesuai dengan tradisi Bizantium, yang memungkinkan Patriark Konstantinopel memperluas pengaruhnya ke Rus'.

Persatuan agama orang-orang Rus dan Byzantium tidak berarti mengakhiri persaingan politik mereka. Maka, pada tahun 1043, putra Pangeran Yaroslav yang Bijaksana, Vladimir, melancarkan kampanye melawan Bizantium yang disebabkan oleh pembunuhan seorang pedagang Rusia di Konstantinopel. Namun, permintaan maaf Kaisar Bizantium diabaikan, dan kampanye berakhir dengan bencana total: Dalam pertempuran laut di mercusuar Iskrestu dekat ibu kota Bizantium, seluruh armada Rusia dihancurkan dan sebagian besar dari 800 tentara yang ditawan — dibutakan oleh Romawi Timur.

Pada tahun 1116, Pangeran Kiev Vladimir Monomakh memulai serangan berani melawan Bizantium. Dia telah menawarkan kepadanya jasa seorang penipu yang menyamar sebagai Leo, putra yang telah lama meninggal dari Basileus Romanos Diogenes. Menyadari hak orang yang berpura-pura atas takhta Bizantium, ia menikahkan putrinya Marina dengannya dan menyerahkan pasukannya, Monomakh mengirim Diogenes palsu untuk melawan pasukan Basileus Alexios I Komnenos di Bulgaria — yang sekarang telah tergabung dengan kuat ke dalam Kerajaan Bizantium.

Basileus petahana sangat khawatir dengan serangan itu. Dia mengirim dua pembunuh untuk menangani saingannya dan mempertahankan tahta Kekaisaran. Pembunuh itu berhasil menyelesaikan misi mereka. Tak lama kemudian, tentara Rusia meninggalkan perbatasan Byzantium. Begitulah konflik bersenjata besar terakhir antara kedua negara berakhir. Di pertengahan abad ke-12, proses disintegrasi Kievan Rus yang dulu kuat menjadi kerajaan independen dimulai dan yang terakhir tidak lagi memiliki ambisi untuk berbaris di Tsargrad yang jauh.

Lalu, mengapa Rusia menyia-nyiakan kesempatan untuk merebut Konstantinopel? Simak selengkapnya!

Pembaca yang budiman,

Situs web dan akun media sosial kami terancam dibatasi atau diblokir lantaran perkembangan situasi saat ini. Karena itu, untuk mengikuti konten terbaru kami, lakukanlah langkah-langkah berikut: