Selain Agama, Apa Saja yang Diharamkan Pemerintah Soviet?

Russia Beyond (Foto: Domain publik; Grigori Goldstein)
Kaum Bolshevik percaya bahwa mereka dapat membangun tatanan masyarakat yang baru dan lebih baik serta meningkatkan sifat dan perilaku manusia. Namun, demi mewujudkan cita-cita tersebut, seluruh aspek kehidupan yang negatif semasa Kekaisaran harus dihancurkan.

1. Agama

Sampul majalah Krokodil ‘Buaya’

Propaganda ateis dan antiagama adalah elemen penting dalam upaya Bolshevik menciptakan manusia Soviet yang baru. Mengutip Karl Marx, pemimpin revolusi Vladimir Lenin menyebutkan bahwa agama adalah candu bagi masyarakat dan menjadikannya slogan nasional yang mencerminkan kebijakan negara. Lenin dan para pendukungnya percaya bahwa jika tidak ada Tuhan, pola pikir orang-orang akan berubah: Hidup mereka, serta nasib negara, tergantung pada upaya mereka sendiri alih-alih kekuatan surgawi. Visi Lenin tersebut disambut positif oleh banyak orang karena mulai akhir abad ke-19 Gereja Ortodoks Rusia justru sering kali terlihat menghambat modernisasi masyarakat. Sebagian besar, para pendeta terdiri dari orang-orang yang memegang keyakinan politik dan sosial yang sangat konservatif. Sikap seperti itu merupakan faktor yang berkontribusi pada runtuhnya negara Rusia pada tahun 1917 dan menyebabkan perang saudara sehingga jutaan nyawa melayang.

Prajurit-prajurit Tentara Merah membawa peralatan gereja keluar dari Biara Simonov di Moskow, 1923.

Kaum Bolshevik membuat banyak poster propaganda antiagama. Dalam poster-poster tersebut, para pendeta digambarkan sebagai sosok yang gemuk dan menjijikkan, mengenakan jubah dan berjanggut panjang, dan dituduh membuat orang-orang bodoh. Banyak gereja dan tempat ibadah ditutup dan diubah menjadi bangunan untuk tujuan ekonomi. Tak hanya itu, barang-barang suci yang berharga disita dari gereja demi “kebutuhan orang-orang yang kelaparan”. Misalnya, barang-barang ritual yang terbuat dari logam mulia serta lonceng gereja dilebur untuk membuat senjata dan amunisi bagi Tentara Merah.

2. Buta Huruf

“Supaya punya lebih banyak, perlu menghasilkan lebih banyak. Supaya bisa menghasilkan lebih banyak, perlu tahu lebih banyak.”

Beberapa tahun sebelum Revolusi 1917, menurut sejumlah perkiraan, hanya 20 persen penduduk Rusia yang dapat membaca dan menulis. Kelas penguasa yang baru — kaum buruh dan tani — harus melek huruf dan dididik agar dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial dan meningkatkan produktivitas mereka. Oleh karena itu, salah satu kampanye paling awal dan paling luas yang dilakukan oleh kaum Bolshevik adalah perang melawan buta huruf dan promosi pendidikan.

Kelas untuk menghilangkan buta huruf di Petrograd (sekarang Sankt Peterburg), 1920.

Pada tahun 1919, dekret yang mewajibkan seluruh penduduk, yang berusia 8—50 tahun, belajar membaca dan menulis dalam bahasa Rusia atau bahasa ibu mereka diterbitkan. Selain itu, guna memfasilitasi pembelajaran, kaum Bolshevik melakukan reformasi bahasa. Dalam 10 tahun, sekitar 10 juta orang diajarkan membaca dan menulis dan, seperti yang ditunjukkan oleh sensus 1926, sekitar 50 persen penduduk desa melek huruf; pada tahun 1939, hampir 90 persen dari seluruh penduduk sudah melek huruf.

3. Ketimpangan Sosial

Secara kolektif, semua untuk satu, dan satu untuk semua.

Pemerintah Soviet berusaha membangun masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan yang mencakup seluruh aspek. Artinya, tidak akan ada kemiskinan dan kesengsaraan, sementara pendapatan akan didistribusikan kembali. Rezim yang berkuasa menolak prinsip pengayaan dan kepemilikan pribadi yang dianggap sebagai mesin kapitalisme. Selain itu, penggunaan barang untuk pengayaan atau kesenangan pribadi dijauhi karena masalah ideologi. Tiap individu harus membagikan semua yang mereka miliki dengan sesama warga. Idealnya, seseorang harus menyerahkan apa yang tidak mereka butuhkan untuk diri mereka sendiri.

Seorang pekerja senior menunjukkan kepada karyawan cara kerja mesin bubut, 1952.

“Berilah sesuai kemampuan, terimalah sesuai kebutuhan,” itulah moto Karl Marx lainnya. Dengan demikian, tidak boleh ada si kaya atau si miskin. Setiap orang harus memiliki pendapatan yang hampir sama, setiap orang harus bekerja untuk keuntungan satu sama lain, dan hasil kerja mereka harus dibagi merata di antara seluruh masyarakat (hal semacam ini masih berlaku di negara-negara Skandinavia yang secara mendalam memasukkan prinsip-prinsip terbaik Soviet dalam tatanan kehidupan sosial dan politiknya).

Menurut moralitas Soviet, orang-orang harus berjuang dan bekerja alih-alih memperkaya diri. Selain itu, barang-barang harus diperoleh semata-mata demi kebutuhan pekerjaan itu sendiri dan untuk kebaikan bersama. Orang-orang seharusnya tidak menikmati konsumsi barang-barang (ini adalah dasar masyarakat kapitalis yang konsumtif), tetapi menikmati proses bekerja itu sendiri dan realisasi diri. Intinya, sesuai hierarki kebutuhan Abraham Maslow yang terkenal, itu adalah tujuan yang masuk akal,

4. Parasitisme

Setiap orang harus bekerja, bukan hidup dari sewa, bunga, atau dengan mengorbankan orang lain. Siapa pun yang menjadi “parasit” dalam masyarakat dihukum dengan keras. Lenin menempatkan kaum “parasit” dalam kategori yang sama dengan orang kaya dan penipu — keduanya adalah musuh proletariat. “Siapa pun yang tidak bekerja, tidak makan,” itulah moto Soviet lainnya yang tak kalah populer. Konstitusi Soviet menetapkan hak untuk bekerja, dan setiap warga negara dijamin mendapatkan pekerjaan. Biasanya, setelah lulus dari sekolah kejuruan atau universitas, seseorang akan mendapatkan perintah tertentu dari negara.

Pada 1960-an, muncul dekret “tentang peningkatan perjuangan melawan orang-orang yang menghindari pekerjaan yang bermanfaat secara sosial dan menjalani gaya hidup parasit antisosial”. Terkadang, ada juga penggerebekan untuk memburu orang-orang seperti itu. Misalnya, petugas bisa meminta identitas pribadi seseorang di transportasi umum selama jam kerja dan menanyakan mengapa ia tidak bekerja.

Pada tahun 1964, Josef Brodsky didakwa dengan tuduhan parasitisme sosial dan dijatuhi hukuman lima tahun kerja paksa (tetapi hanya menghabiskan 18 bulan di pengasingan lantaran hukumannya diringankan setelah protes dari teman-temannya yang terkenal).

Bagaimanapun, dekret itu sering kali menyangkut para pembangkang. Misalnya, penyair, penulis, dan seniman yang bukan bagian dari sistem budaya resmi Soviet dan mereka yang telah ditolak dari pekerjaan resmi. Salah satu contoh paling menonjol dari tokoh budaya yang menderita akibat dekret ini adalah penyair Josef Brodsky, yang pada akhirnya diasingkan.

5. Amoralitas

Tidak!

Kodeks moralitas yang kaum Bolshevik ciptakan untuk membentuk manusia Soviet yang baru ternyata banyak diambil dari Sepuluh Perintah Allah dalam Alkitab. Misalnya, prinsip kesetaraan semua orang (tidak ada orang Yahudi atau Yunani), kebutuhan untuk hidup demi kebaikan bersama alih-alih demi keuntungan pribadi (salah satu sumpah yang diambil oleh para biksu), dan menyetarakan perlakuan antara perempuan dan laki-laki tanpa memandang jenis kelaminnya.

Dengan tidak adanya agama yang mencoba memperbaiki kekurangan manusia, pemerintah Soviet harus menemukan metode baru untuk menyebarkan moralitas. Salah satu caranya adalah dengan teguran publik. Seseorang yang melakukan tindakan tak bermoral atau berperilaku tidak sesuai dengan standar Soviet dapat dipanggil ke hadapan majelis kolektif, baik di sekolah, di universitas, maupun di tempat kerja. Mereka akan ditegur dan dididik tentang moralitas. Lagi pula, orang-orang semacam itu tidak hanya “mempermalukan” diri mereka sendiri, tetapi juga seluruh masyarakat dan, tentu saja, dan Uni Soviet. Pihak berwenang sangat tegas terhadap minuman keras dan gaya hidup yang tidak bermoral. Mereka bahkan bisa ikut campur dalam urusan keluarga dan, misalnya, mencela suami yang tidak setia.

Pemerintah Soviet, untuk kali pertama dalam sejarah Rusia, mengerahkan diri pada masalah pengasuhan dan pendidikan anak-anak. Ini bukan lagi masalah keluarga. Sebaliknya, itu sekarang menjadi prioritas negara.

Sensus anak-anak tunawisma di Uni Soviet, 1926.

Selain itu, pemerintah Soviet juga aktif memerangi kenakalan remaja. Setelah Perang Dunia I dan, terutama, setelah Perang Saudara, banyak anak kehilangan orang tua mereka. Secara resmi, ada sekitar tujuh juta anak jalanan (sekitar 30.000 anak tinggal di panti asuhan). Banyak dari anak-anak itu benar-benar tumbuh “di jalan” dan, tentu saja, menjadi pencuri dan pengemis. Pemerintah mengambil alih krisis anak jalanan di bawah kendali mereka. Komisi Anak dibentuk, sementara banyak panti asuhan serta sekolah kejuruan didirikan. Satuan tugas khusus mengawasi stasiun kereta api dan rel kereta api tempat anak-anak jalanan sering berkumpul. Mereka ditangkap, dibersihkan, diberi makan, dan akhirnya ditempatkan di panti asuhan. Pada tahun 1924, sebanyak 280.000 anak tinggal di panti asuhan.

Dalam film-film Hollywood dan Eropa, pasukan Rusia sering digambarkan sebagai gerombolan pemabuk bersenjata yang tidak teratur. Namun, seberapa akurat citra ini dengan kenyataan yang sebenarnya?

Pembaca yang budiman,

Situs web dan akun media sosial kami terancam dibatasi atau diblokir lantaran perkembangan situasi saat ini. Karena itu, untuk mengikuti konten terbaru kami, lakukanlah langkah-langkah berikut:

  • ikutilah saluran Telegram kami;
  • berlanggananlah pada newsletter mingguan kami; dan
  • aktifkan push notifications pada situs web kami.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki