Adakah peran Uni Soviet selama Perang Dunia II dijelaskan secara rinci dalam sejarah? Foto: Artem Korotaev/TASS
Mungkin, bagi kita di Indonesia, Perang Dunia II adalah suatu perang yang terjadi jauh di luar sana dan kurang berdampak signifikan bagi kita. Anggapan ini bisa jadi muncul karena kita merasa bahwa Indonesia saat itu sama sekali tidak angkat senjata dan ikut berperang. Pada periode 1941—1945, Indonesia masih berjuang melawan penjajahan.
Memang, pada 1942, pemerintah Hindia Belanda "angkat kaki" dari Indonesia. Kepergian Belanda kemudian segera digantikan oleh Jepang yang saat itu mengaku "sahabat" bagi rakyat Indonesia. Seluruh kejadian ini, mulai dari perginya Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang, hingga akhirnya Indonesia mampu berdiri untuk memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tak lepas dari Perang Dunia II yang terjadi "di luar" sana.
Jika kita sedikit mengingat pada masa-masa sekolah kita dulu, saat kita belajar sejarah di kelas atau di institusi-institusi bimbingan belajar, mungkin kita akan ingat beberapa kata kunci terkait Perang Dunia II, yaitu Hitler, Nazi, bom di Hiroshima dan Nagasaki, dan Pearl Harbor.
Bagi saya pribadi, keempat hal itu masih saya ingat dengan cukup baik. Saya ingat cerita guru-guru saya mengenai kekejaman Hitler dan Nazi saat Perang Dunia II. Saya ingat bagaimana cerita mengenai Pearl Harbor—mungkin, banyak dari kita yang sudah menonton film mengenai peristiwa ini pula. Saya juga ingat kisah mengenai kota Hiroshima dan Nagasaki yang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat.
Namun, ketika bicara soal kapan dan bagaimana sebenarnya akhir dari Perang Dunia II, saya lupa. Atau, apa sebenarnya yang menjadi titik berakhirnya Perang Dunia II? Jika kita pikir bahwa Perang Dunia II berakhir setelah Jepang dibom oleh AS maka kita salah. Perang Dunia II berakhir setelah Nazi menandatangani dokumen kapitulasi pada 8 Mei 1945—yang resmi berlaku per tanggal 9 Mei. Kepada siapa? Inggris? Amerika Serikat? Bukan, Nazi menyerah kepada Uni Soviet.
Sejak saya "bersentuhan" dengan Rusia, mata (dan pikiran) saya menjadi semakin terbuka. Pekerjaan saya membuat saya mengenal Rusia lebih dalam. Saya belajar banyak mengenai negara ini dan saya merasa bahwa betapa sejarah (dalam banyak hal) telah berlaku tidak adil kepada Rusia. Sejarah dunia yang kita ketahui dan pelajari selama ini tidak sedikit merupakan hasil konstruksi yang bersifat politis. Dalam hal ini, Rusia, yang dulu bernama Uni Soviet, dianggap sebagai "musuh dunia" (atau Barat, tepatnya) karena dua hal: (1) negara yang besar dan kuat; dan (2)menganut paham komunisme. Padahal, fakta menyatakan bahwa dunia jelas berutang banyak pada Soviet, khususnya selama era Perang Dunia II.
Di Barat, atau khususnya Amerika Serikat, Perang Dunia II selalu dianggap sebagai peperangan yang "kami" menangkan. Perang Dunia II adalah peperangan heroik yang terjadi di sepanjang pesisir pantai Normandia. Perang Dunia II adalah soal peperangan di Iwo Jima—mungkin beberapa dari kita juga sudah menonton filmnya. Perang Dunia II adalah peperangan untuk kembali merebut kota-kota di Prancis. Ini semua adalah kemenangan yang "dibentuk" oleh citra Jenderal Dwight D. Eisenhower, suatu kemenangan yang dibentuk oleh sikap dan kata-kata Perdana Menteri Winston Churchill. Perang Dunia II adalah kemenangan setelah menjatuhkan bom atom di Negeri Matahari Terbit.
Fasisme adalah gerakan radikal ideologi nasionalis otoriter politik. Secara sederhana, fasisme adalah antikomunisme, antidemokratis, antiliberal, antiparlemen, antikonservatif, antiborjuis, dan antiproletar.
Lantas, adakah peran Uni Soviet selama Perang Dunia II dijelaskan secara rinci dalam sejarah? Jangankan rinci, secara "cukup" pun saya pikir tak sampai. Padahal, meskipun kemenangan diraih berkat upaya banyak negara, Uni Sovietlah yang menaklukkan tentara fasis Jerman. Uni Soviet berhasil melenyapkan lebih dari 74 persen tentara Jerman (Wehrmacht) dalam pertempuran, atau sekitar sepuluh juta tentara dari 13,4 juta tentara. Tentara Merah Uni Soviet mengalahkan dan menangkap 607 divisi musuh sepanjang 1941—1945, jauh lebih banyak dibanding 176 divisi yang dihancurkan oleh pasukan Inggris dan Amerika jika digabungkan. Selain itu, kerugian materi yang harus ditanggung Uni Soviet selama perang mencapai 2,5 triliun rubel (472 miliar dollar AS) dalam estimasi nilai mata uang sebelum terjadinya peperangan.
Selama masa Perang Dunia II, Nazi Jerman tidak hanya menggempur Uni Soviet, tapi sebagian besar dataran Eropa. Namun, Nazi baru "menemukan" lawan yang seimbang ketika berhadapan dengan Sang Beruang Uni Soviet. Faktanya, jika saat itu Uni Soviet tidak mati-matian dengan segala daya dan upaya mereka berjuang melawan invasi tentara fasis Nazi Jerman, mungkin sejarah akan berbeda.
Jerman menyerbu Perancis, Belgia, Belanda, dan Luksemburg pada tanggal 10 Mei 1940. Sebulan kemudian, sekutu Jerman, Italia, menyerbu Prancis. Pada Oktober 1940, Italia menyerbu Yunani.
Bagaimana jika dulu Uni Soviet tidak berhasil mengalahkan Nazi Jerman? Saya yakin dunia, khususnya Eropa, tidak akan seperti sekarang ini. Ketika Uni Soviet berhasil mengalahkan Nazi, Soviet tidak hanya membebaskan negaranya dari serangan penjajah fasis, tetapi juga membebaskan Eropa yang saat itu dikuasai fasisme Jerman. Namun, adakah peran dan pengorbanan besar Uni Soviet ditonjolkan dalam sejarah yang selama ini kita terima di lembaga-lembaga pendidikan formal?
Perang Patriotik Raya adalah perang antara Uni Soviet dengan Nazi Jerman yang berlangsung sejak invasi Jerman ke Uni Soviet pada 22 Juni 1941 hingga Jerman menyatakan diri menyerah tanpa syarat pada 9 Mei 1945.
Sabtu (9/5) lalu, Rusia merayakan Hari Kemenangan dengan parade militer terbesar sepanjang sejarah. Hari Kemenangan di Rusia dirayakan dengan sangat besar, setara dengan perayaan hari kemerdekaan di negara-negara yang pernah merasakan penjajahan dan kemudian memperoleh kemerdekaan. Ini adalah ketika Uni Soviet berhasil mengklaim kemenangan atas Nazi Jerman dalam Perang Patriotik Raya. Hingga kini, akhir Perang Patriotik Raya tetap menjadi hari yang penting untuk dirayakan bagi warga Rusia.
Warga Rusia dan "bekas" warga Soviet lain tetap mempertahankan sebutan "Perang Patriotik Raya" karena bagi mereka perang tersebut merupakan pertempuran untuk memerdekakan tanah air mereka. Di bawah rencana Nazi terhadap wilayah Soviet, lebih dari separuh populasi Rusia hendak ditumpas. Namun, Uni Soviet berhasil menggagalkan rencana tersebut. Rusia tentu patut bangga atas kemenangan yang mereka raih dan menolak menganggap Perang Patriotik Raya sebagai sekadar salah satu front dalam Perang Dunia II.
Selama Perang Patriotik Raya, hampir seluruh warga Soviet terlibat dalam perang dengan berbagai cara. Hampir seluruh laki-laki Soviet pergi ke garis depan peperangan. Tidak hanya itu, para perempuan dan anak-anak pun ikut andil dalam peperangan. Selain itu, ternyata peperangan ini bukan semata-mata peperangan manusia. Anjing-anjing Soviet pun ikut serta dalam peperangan. Lebih dari 19 juta orang menjadi sukarelawan untuk dikirim ke garis depan, dan 50 persen di antaranya adalah relawan perempuan. Dalam periode yang berbeda-beda selama masa perang, sebanyak 600 ribu hingga satu juta perempuan pun ikut bertempur di garis depan peperangan, dan 80 ribu di antaranya adalah perwira.
Sejak era Soviet, 9 Mei menjadi simbol persatuan bangsa Rusia. Warga Rusia hari ini tetap mempersepsikan kemenangan tersebut sebagai perang patriotik yang sangat besar dampaknya bagi semua orang, tanpa fokus pada pemimpin politik saat itu (Josef Stalin).
Kini, kita tahu bahwa Perang Patriotik Raya tercatat sebagai perang terbesar dan paling berdarah dalam sejarah manusia. Dari pihak Soviet saat itu, tak kurang dari puluhan juta warga Uni Soviet harus kehilangan nyawanya di medan perang.
Selain memberikan sumbangsih besar dalam pembebasan Eropa dari kekejaman tentara Nazi Jerman, kemenangan Uni Soviet dalam Perang Patriotik Raya pun akhirnya mendorong berbagai gerakan kemerdekaan di kawasan Asia Pasifik. Setelah Perang Dunia II berakhir pada tahun 1945, sejumlah negara yang dijajah memperoleh kemerdekaannya dan menjadi negara berdaulat. Di Asia Tenggara misalnya, ada banyak negara yang terbebas dari penjajahan dan kolonialiasasi sejak tahun 1945, termasuk Indonesia, Kamboja, Laos, Vietnam, Filipina, dan Myanmar.
Bagi Indonesia, Rusia (atau Uni Soviet kala itu), memang punya kesan tersendiri bagi negara ini. Soviet pernah menjadi sahabat dekat sekaligus dianggap sebagai negara yang masuk "daftar hitam" karena ideologi yang dianut negara tersebut. Memang, negara kita memiliki masa lalu yang kelam dengan komunisme. Bagi rakyat Rusia yang pernah mengalami era kepemimpinan komunis Uni Soviet, masa-masa tersebut pun memiliki kesan yang cukup rumit. Saya ingat, dalam suatu kesempatan Presiden Rusia Vladimir Putin pernah berkata bahwa, siapa pun yang tidak merindukan Uni Soviet, tidak punya perasaan. Namun, siapa pun yang ingin kembali pada masa (atau pada sistem pemerintahan) Uni Soviet, tidak punya otak.
Selama ini, entah sadar atau tidak, segala aspek kehidupan kita, bahkan sampai pada soal sejarah, cenderung memihak pada satu sisi, atau merefleksikan "kehebatan" satu pihak, yaitu Barat. Kemenangan Uni Soviet atas Nazi pada Perang Patriotik Raya adalah suatu fakta sejarah yang jelas terabaikan. Padahal, kemenangan tersebut jelas bukanlah sembarang kemenangan. Sama halnya dengan Perang Patriotik Raya bukanlah sembarang peperangan.
Lalu, seberapa besar porsi pendidikan atau penyampaian informasi ini disampaikan dalam teks buku-buku sejarah di Indonesia? Tidak banyak. Seingat saya, buku teks sejarah yang saya pelajari dulu lebih banyak menceritakan mengenai sejarah dunia dari perspektif Barat. Memang betul, ada pula sejarah mengenai Uni Soviet, tapi sangat sedikit dan itu pun mengenai kaitan ideologi komunisme Soviet dengan Partai Komunisme Indonesia (PKI) saat itu, serta mengenai peristiwa Glasnost dan Perestroika dan bubarnya Uni Soviet.
Lantas, sampai kapan kita tidak jujur pada sejarah? Jika kita "menghilangkan" peran nyata Soviet dalam sejarah, saya pikir, itu sama tidak baiknya dengan memperbesar peran Barat dalam sejarah. Sayangnya, itulah yang terjadi. Sebetulnya, tidak hanya di Indonesia, tapi saya yakin di banyak negara lainnya, Soviet (atau Rusia kini) juga mendapat "perlakuan" serupa dalam sejarah.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda