Pemerintah Korea Utara memantau lekat-lekat para buruh temporernya yang bekerja di pulau Sakhalin, Rusia.
Ajay KamalkaranSaya terkejut ketika seorang teman saya di Yuzhno-Sakhalinsk (ibukota wilayah Sakhalin yang kaya akan minyak dan gas), mengundang saya untuk melihat apartemen barunya bulan lalu. Apartemen tersebut masih belum selesai. Teman saya ingin mengubah interiornya yang berbau Soviet dengan gaya Eropa. Ia membayar seorang kontraktor yang menjanjikan dapat bekerja cepat dan efisien, dengan harga yang tergolong terjangkau. Hal yang menarik adalah, pekerjaan itu akan dilakukan oleh para buruh Korea Utara.
Mengingat Korea Utara merupakan negara yang sangat tertutup, saya tertarik bercakap-cakap dengan para buruh tersebut. Mereka tentu punya kisah yang menarik untuk diceritakan, pikir saya. Para pria itu berusia sekitar 40 tahun dan tak ada yang fasih berbahasa Rusia. Saya kemudian mencari penerjemah bahasa Korea dan kembali ke apartemen tersebut untuk mengintip bagaimana kehidupan mereka di Korea Utara dan di Rusia.
Hari berikutnya, saya menemui mereka saat hampir selesai bekerja, bersama penerjemah saya. Dengan membawa sejumlah camilan dan bir, saya mencoba memulai percakapan dengan tukang kayu, tukang air, dan tukang listrik tersebut.
“Kami senang di sini,” kata Slava (mereka semua memiliki nama Rusia), seorang tukang air yang berasal dari desa kecil di dekat Pyongyang. “Orang Rusia memperlakukan kami dengan sangat baik, memperhatikan makan dan akomodasi kami, serta gaji yang layak.” Padahal, saat saya bertanya pada teman saya, ia membayar setengah harga dari yang seharusnya dibayarkan jika menggunakan pekerja Rusia. Gaji mereka dipotong oleh kontraktor dan pemerintah Korea Utara, sebelum sampai ke tangan mereka.
Slava terlihat puas dengan hidup dan penghasilannya. Ia mengaku uang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya di Korea Utara. Lelaki yang dengan bangga mengenakan pin Kim Il-Sung di kausnya tersebut mengaku kehidupan sangat sulit di negaranya, namun orang-orang berkorban untuk ‘hal besar yang lebih baik’ dan kedaulatan nasional.
Pekerja lain juga mendeskripsikan negaranya dengan manis dan sangat optimis mengenai kehidupan di Sakhalin. Ivan, tukang kayu yang berasal dari pemukiman di dekat perbatasan Rusia-Korea Utara, mengaku sangat senang karena ia dengan mudah menemukan makanan Korea di toko-toko kecil di Yuzhno-Sakhalinsk. Ia menjelaskan, salad Korea tersebut sudah dimodifikasi untuk menyesuaikan lidah orang Rusia, namun ia tetap menyukainya.
Para buruh terlihat santai saat berbicara dengan saya. Namun keesokan harinya, teman saya menelepon saya dan mengatakan kontraktornya sangat marah karena saya datang ke apartemen tersebut dan mewawancarai para pekerja. Ternyata, salah seorang pekerja melaporkan pada pengawas dari pemerintah Korea Utara mengenai percakapan kami.
Teman saya menjelaskan bahwa para buruh tak sadar mereka bicara dengan jurnalis dan mereka selanjutnya diminta untuk menolak berbicara dengan saya. Sang kontraktor menjelaskan pada teman saya bagaimana pengawas ‘tak resmi’ komunitas tersebut melacak gerak-gerik semua warga Korea Utara di Sakhalin.
Sang kontraktor menceritakan tentang seorang tukang listrik yang ulet bernama Misha, yang populer di kalangan para pengguna jasanya. Misha tinggal di Sakhalin selama tiga tahun dan memiliki reputasi yang baik. Ia bahkan fasih berbahasa Rusia. Suatu hari, sang kontraktor diberitahu bahwa Misha diminta pulang ke Korea Utara. Ia melakukan kesalahan fatal dan dihukum, hanya karena terlambat! Misha tak terlambat datang bekerja, namun ia tertidur pada hari Minggu pagi dan melewatkan 30 menit pertama program pemerintah mingguan yang berdurasi dua jam, berbentuk semacam ibadah gereja. Semua buruh Korea Utara yang bekerja di Sakhalin harus menghadiri ‘ibadah keluarga Kim’ dan datang tepat waktu.
Pekerja lain menceritakan pada kontraktor teman saya bahwa Misha kemudian dipenjara di Korea Utara! Saya tak bisa memverifikasi informasi ini namun teman Korea saya yang tinggal di Sakhalin, yang pernah berinteraksi dengan para buruh Korea Utara, menyampaikan ia pernah mendengar kisah lebih parah. Para buruh bercerita bahwa ada seorang tukang kebun yang dituduh berinteraksi dengan mata-mata Korea Selatan musim panas lalu dan ia langsung dikirim ke kamp pekerja.
Saat saya menghubungi teman saya yang bekerja di Badan Migrasi Federal Rusia (FMS) dan menyampaikan hal ini, ia menyebutkan bahwa pemerintah Korea Utara merasa bertanggung jawab melindungi warganya dan FMS hanya menangani masalah izin kerja dan memastikan bahwa peraturan mengenai buruh dipatuhi oleh para pekerja asing.
Saya juga mendengar bahwa pastor Korea Selatan di Sakhalin menyebarkan propaganda terkait Korea Utara dan mencoba membujuk dan membantu para warga Korea Utara untuk pindah ke Korea Selatan.
Para buruh yang saya temu beberapa minggu lalu masih di Sakhalin dan sibuk mengerjakan apartemen teman saya. Saya lega mereka tak dihukum karena bicara dengan saya. Namun, hati saya sakit karena ada banyak orang yang harus menghadapi hukuman keji atas ‘pembangkangan’ yang dilakukan terhadap rezim Korea Utara.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda