Rusia adalah negara terbesar di dunia. Meski memiliki wilayah seluas 17,1 juta kilometer persegi atau setara dengan sembilan kali luas wilayah Indonesia (1,905 juta kilometer persegi), lebih dari 50 persen wilayahnya masih belum terjamah oleh manusia.
Kehidupan di kota besar di Rusia, terutama di bagian barat, tidak jauh berbeda dengan di Eropa atau Amerika Serikat. Namun, di desa-desa Siberia atau Timur Jauh, Anda akan terkagum-kagum saat mengetahui rintangan yang harus dihadapi penduduk setempat setiap hari.
Menguras tabungan untuk bepergian di dalam negeri
Bandara desa kutub kecil Chersky di timur laut Yakutia yang berpenduduk tidak lebih dari 2.500 hanya berbentuk kotak beton dua lantai dengan ekstensi sudut biru cerah di tengah di tengahnya. Ruang tunggunya hanya bisa menampung kurang dari 50 orang, kafenya sering tutup, dan Wi-Fi pun baru muncul pada 2020.
Meski demikian, hampir tidak ada orang yang menggunakan Wi-Fi bandara itu. Mengapa? Karena harga penerbangan sekali jalan ke kota terdekat, Yakutsk (terletak di wilayah yang sama, sekitar 2.500 km jauhnya), biayanya 35.000 – 40.000 rubel (sekitar Rp6,4 juta).
“Terakhir kali saya terbang untuk berlibur adalah setahun yang lalu ke Gelendzhik (kota resor di Rusia selatan) bersama keluarga saya. Biaya total tiket sekali jalan per orang adalah 100.000 rubel (sekitar Rp18,4 juta), sedangkan gaji bulanan saya jauh beberapa kali lipat dibawahnya” ujar Karina Khan-Chi-Ik yang bekerja sebagai pegawai di instansi pemerintah setempat. Sebenarnya, Karina ingin terbang lebih sering, tetapi menurut undang-undang majikan hanya membayar semua penduduk desa untuk satu penerbangan setiap dua tahun sekali dan dia sendiri tidak mampu menabung untuk membiayai liburannya.
Gaji penduduk setempat lainnya, Victoria Sleptsova, tidak cukup untuk membayar biaya hotel di resor Rusia. Mau tak mau, dia harus puas hanya bisa berlibur di Yakutsk.
“Hotel di daerah selatan terlalu mahal untuk saya, terutama pada musim panas, dan pesawatnya tidak nyaman. Dalam penerbangan selama 4 jam, maskapai hanya menyuguhkan air dan makanan ringan,” keluh Sleptsova.
Orang Moskow pun bahkan jarang yang mampu melakukan perjalanan keliling Rusia. Bloger perjalanan Natalya Popova yang telah mengunjungi 43 negara dan 23 dari total 85 wilayah administrasi yang ada di Rusia dalam lima tahun terakhir mengaku, beberapa tempat terindah di Rusia masih belum bisa dijangkaunya. Alasannya bukan karena faktor geografis, tetapi keterbatasan finansial.
“Saya mulai berkeliling Rusia selama pandemi karena memang tidak ada pilihan lain (penerbangan ke luar negeri dihentikan). Dari Moskow, Anda dapat terbang cukup murah ke kota-kota populer terdekat seperti Kazan, Sankt Peterburg, Rostov-on-Don, Yekaterinburg, dan Samara. Akan tetapi, tempat-tempat terindah di Rusia, seperti Baikal, Kamchatka dan Sakhalin, masih terlalu mahal untuk saya sehingga saya belum bisa membelinya,” jelas Popova.
Wisatawan dan bloger Maria Belokovylskaya, yang ketika dihubungi Russia Beyond tengah berada di Dikson mengatakan, ongkos yang ia bayar untuk penerbangan sekali jalan ke salah satu desa paling utara Rusia itu setara dengan harga tiket ke Afrika.
“Ini adalah pemukiman kecil di gurun Arktik yang jumlah penduduknya hanya 300 orang. Terbang sekali jalan ke sana menghabiskan biaya 70.000 rubel (sekitar Rp12,9 juta). Dengan uang yang sama Anda bisa pergi ke Botswana di Afrika. Saya tidak menyesali pilihan ini, tetapi bagi orang Rusia, harga tiket ke tempat-tempat terpencil di Rusia seharusnya bisa lebih murah,” ujar Belokovylskaya.
Menurut informasi yang kami himpun, tarif penerbangan sekali jalan dari Moskow ke Yakutsk (8.200 km) adalah 10.000 rubel (sekitar Rp1,8 juta). Tarif ini tidak berubah sepanjang tahun karena disubsidi oleh negara dan kapasitas penumpangnya pun terbatas.
Perjuangan berat menuju sekolah
"Sanya, tunggu!" teriak wanita yang tengah menggunakan ponselnya untuk merekam seorang pria yang sedang memecahkan es dengan sekop agar perahu mereka dapat terus bergerak. Begitulah cara Leonid Khvatov, seorang warga desa Pakhtalka di Vologodskaya (Vologda) Oblast (527 km dari Moskow), mengantar kedua putranya ke sekolah terdekat. Pertama-tama mereka harus menyeberangi sungai dengan perahu dan dilanjutkan dengan berjalan kaki sejauh dua dua kilometer melintasi ladang. Pemerintah daerah menolak untuk membangun jembatan karena tidak memiliki anggaran yang cukup. Sementara, bus sekolah juga tidak menjadi pilihan karena tidak ada jalan di sana.
“Pada musim semi dan gugur, anak-anak berjalan menembus lumpur setinggi pinggang, sedangkan pada musim dingin mereka sering kali di hadang salju setinggi pinggang. Anak-anak menyeberangi sungai dua kali sehari. Saat musim mereka menyeberangi sungai dengan berjalan di atas permukaan sungai yang membeku, sedangkan pada musim gugur dan musim semi, saya dan istri saya menyeberangkan mereka dengan perahu,” jelas Khvatov kepada portal berita lokal Vologda NewsVo.
Kondisi seperti itu bukanlah hal yang aneh di Rusia. Setiap musim gugur dan musim semi, berita atau artikel tentang anak-anak di berbagai desa yang tidak bisa pergi ke sekolah selalu muncul di media. Misalnya, selama pandemi virus corona musim semi tahun ini, guru sekolah dasar Svetlana Dementyeva dari Kurskaya Oblast (524 km dari Moskow) berjalan sejauh 7 – 8 kilometer tiga kali seminggu untuk memberikan pekerjaan rumah bagi para siswa yang menjalani swakarantina di desa-desa tanpa akses internet.
Anak-anak dari desa Krasnaya Gora di Tverskaya Oblast (614 km dari Moskow) juga menghadapi perjalanan yang sulit ke sekolah, kata seorang pengguna forum Rusia dengan nama panggilan 'Olgard'.
“Selama empat tahun bersekolah, saya harus berjalan kaki delapan kilometer ke sana dan delapan kilometer lagi untuk pulang. Itu bukan apa-apa! Yang menjadi masalah, kami harus bersembunyi dari serigala pada musim dingin dan mengarungi lumpur saat musim gugur dan awal musim semi. Terkadang, saat musim dingin saya bersepeda ke sana dan terjatuh sekitar 15 kali karena jalannya sangat licin,” kenangnya.
Dia juga mengatakan, beberapa anak pergi ke sekolah dengan kendaraan pertanian atau bus, yang sering mogok di tengah jalan. Di sekolah menengah, ayahnya membawanya ke sana dengan traktor, dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan bus.
“Saat ini ada lebih banyak hewan liar di sekitar. Jadi, sangat berbahaya membiarkan anak-anak berjalan kaki. Akan tetapi, pemandangannya sungguh menakjubkan,” tutur Olgard.
Tidak ada sinyal seluler, apalagi internet
Saat ini, berselancar di dunia maya, baik mencari informasi, mengakses media sosial, menonton film, atau sekedar bertukar pesan dengan aplikasi percakapan adalah hal yang mudah bagi kita. Namun, bagi Aleksandr Guryev, 43, penduduk desa Bolshiye Sanniki di Khabarovskaya Oblast (8.900 km dari Moskow) yang jumlah penduduknya tidak lebih dari 400 jiwa, itu adalah hal yang hampir mustahil.
Setiap kali ingin menjelajahi Internet, Guryev harus berkendara sekitar 8 – 12 jam sejauh 700 kilometer ke kota terdekat, Khabarovsk, untuk mendapatkan koneksi internet di ponselnya. Hal itu berlangsung hingga musim gugur 2020, ketika desa itu akhirnya mendapatkan koneksi internetnya sendiri.
“Saya tidak terlalu bergantung dengan internet. Namun, tetap saja, saya tidak bisa membuat janji dengan dokter secara daring seperti orang biasa. Itu menyebalkan! Diam di rumah itu membosankan. Saya pergi memancing dan mencari jamur, sementara para tetangga mulai minum-minum. Sekarang, setidaknya saya bisa masuk ke VK (media sosial populer Rusia),” tutur Guryev.
Jaringan seluler atau internet baru masuk di Desa Salba di Krasnoyarskaya Oblast yang berpenduduk kurang dari 200 jiwa (4.200 km dari Moskow) pada Maret 2020. Namun, desa itu selama ini baik-baik saja tanpanya.
“Tahukah Anda seperti apa kehidupan di pedesaan? Kami praktis tidak punya waktu untuk istirahat, hanya bekerja. Anda hanya perlu internet untuk tetap berhubungan dengan kerabat. Kami baik-baik saja seperti apa adanya, ” tegas salah seorang penduduk setempat, Marina (bukan nama sebenarnya).
Pada 2019, penduduk yang tinggal di lebih dari 25.000 pemukiman Rusia dengan jumlah penduduk 100 – 250 jiwa dikelola tanpa jaringan seluler dan internet. Hingga 2020, tidak jelas berapa banyak yang masih bernasib demikian.
Lebih sering bepergian ke luar negeri daripada ke Moskow
Menyetir mobil ke Polandia atau Jerman untuk sekedar berbelanja atau bersantai (tentu saja dengan membawa paspor dan visa Schengen) adalah akhir pekan yang biasa bagi Ekaterina Sinelshchikova, penulis Russia Beyond yang tinggal di Kaliningrad.
“Sebelum sanksi dijatuhkan kepada Rusia pada 2014 (ketika embargo makanan diberlakukan terhadap Rusia), kami melakukan perjalanan ke Polandia secara teratur. Kami melintasi perbatasan, berkendara ke supermarket terdekat yang berjarak beberapa kilometer dari perbatasan dan berbelanja makanan. Semuanya lebih murah, bahkan setelah ditambah dengan biaya bensin. Setelah 2014, kami tetap melakukannya, tetapi lebih jarang. Ketika kami melakukannya, saya menyembunyikan barang-barang Polandia di tas tangan saya,” kenang Sinelshchikova.
Menurutnya, lebih cepat dan mudah pergi ke Eropa daripada ke Moskow. Saat libur tahun baru, semua orang pergi ke Eropa dan berwisata selama 2 – 3 hari ke kastil dan taman air Eropa sangat populer. Pada saat yang sama, meski dekat dengan Eropa banyak warga Kaliningrand yang masih bermimpi untuk tinggal di Moskow dan melarikan diri dari kota provinsi mereka.
“Akan tetapi, setelah tinggal di Moskow, Anda mulai menyadari kelebihan dari “kekurangan” yang dimiliki Kaliningrad. Banyak kenalan saya yang akhirnya memutuskan kembali ke sana. Anda mulai menghargai hutan lokal, laut dan ruang terbuka yang tidak dapat Anda temui di Moskow. Selain itu, Anda juga tidak akan pernah kekurangan teman. Cukup masuk ke bar lokal dan Anda pasti akan melihat teman, kolega, atau bekas teman sekelas Anda. Anda tidak perlu membuat mengatur janji temu dengan mereka seminggu sebelumnya. Semuanya lebih sederhana,” jelas Ekaterina
Penduduk Vladivostok Dmitry Chalov, 55, mantan penyelam kapal penyelamat, menghabiskan sebagian besar hidupnya di berbagai kota di Tiongkok dan Jepang. Dia pertama kali pergi ke Tiongkok pada 1995, ketika bekerja sebagai pelaut biasa yang menarik kapal ke Tiongkok dan Jepang untuk dijual.
“Saya berusia 30 tahun dan belum pernah melihat kota sebesar itu. Bagi kami (para pelaut), yang paling menarik adalah jalan pusat perniagaan utama yang memiliki panjang 7 – 17 kilometer. Barang yang dijual pun bermacam-macam. Ada kafe yang menjual katak dan ular, serta ada yang menjual peralatan rumah tangga yang seperti berasal dari luar angkasa,” kenang Chalov.
Setelah itu, dia pun mulai berlibur di Tiongkok, Jepang, Thailand dan Vietnam setiap tahun dan dibayari oleh negara karena dia bekerja di layanan penyelamatan.
“Di sana kami bisa berlibur di laut, alam, dan negara asing yang jauh lebih dekat dari ibu kota kita sendiri. Sementara, Moskow tak lebih dari sekarung beton,” simpul Chalov.