Para pendeta Ortodoks membaptis seorang anak selama upacara pembaptisan massal pada peringatan Kristenisasi Rusia, yang kemudian dikenal sebagai Rus Kiev, di Stavropol, Rusia, 28 Juli 2019.
Reuters“Apakah kamu setidaknya berpuasa sebelum Ekaristi (ritus penyantapan roti dan anggur -red.) terakhirmu?” Seorang pendeta tambun yang penasaran bertanya kepada Ekaterina (24). Perempuan muda itu bergidik mendengar pertanyaan sang pendeta. Dia tak pernah merasa nyaman berada di dalam gereja. Menurutnya, gereja justru memancarkan “energi jahat.”
“Saya tidak berpuasa, tetapi saya menjalani gaya hidup sehat. Terakhir kali saya menerima Ekaristi kira-kira 7 – 8 tahun yang lalu,” jawabnya. Sebetulnya, sang ayahlah yang menyuruhnya pergi ke gereja. Ekaterina sendiri cenderung menganggap dirinya tak bertuhan alias ateis.
“Kalau begitu, bagaimana kaubisa menjadi ibu yang baik untuk anakmu?” seru si pendeta.
“Saya mencintainya dan saya akan melindunginya,” kata Ekaterina, darahnya mulai mendidih.
Seorang ibu dan anaknya di Sungai Chusovaya selama upacara pembaptisan massal Katedral Pangeran Vladimir di Desa Stantsionny-Polevskoi pada Hari Kristenisasi Rus.
Donat Sorokin/TASSSang pendeta memutar bola matanya seolah-olah bosan mendengar alasan semacam itu hampir setiap hari. Dengan wajah dingin, dia mengambil formulir konsultasi Sakramen Pembaptisan dan menyerahkannya kepada perempuan muda itu.
Pembaptisan putrinya dilakukan seminggu kemudian. Ekaterina sendiri menggambarkannya sebagai “acara yang membosankan dan sia-sia.”
“Apalagi biayanya 3.500 rubel (sekitar 768 ribu rupiah). Uang itu seharusnya bisa digunakan untuk membeli lebih banyak pakaian bayi,” ujarnya. Setelah pembaptisannya sendiri, dia tak pernah taat, sementara hubungan dengan orang tuanya memburuk.
Di Rusia, 86 persen pemeluk Kristen Ortodoks telah dibaptis. Dari jumlah tersebut, menurut Pusat Penelitian Opini Publik Seluruh Rusia (VTsIOM), 66 persen di antaranya melakukan pembaptisan atas perintah orang tua atau kerabat. Sementara, hanya 20 persen saja yang melakukannya atas inisiatif mereka sendiri.
“Saya dibaptis secara paksa pada usia 13 tahun. Nenek saya adalah seorang yang taat (agama) dan sangat menginginkannya (pembaptisan tersebut -red.). Saya kemudian mengajukan syarat: tak ada ceramah atau pembacaan Alkitab. Kalau tidak, pembaptisan batal,” kenang Lyudmila, seorang warga Yaroslavl yang berusia 43 tahun.
Menurutnya, ritual pengurapan (perminyakan) itu sendiri menjijikkan. Ia bahkan buru-buru mandi setelah ritual tersebut usai. Kisah itu terulang kembali ketika Lyudmila melahirkan seorang anak berkebutuhan khusus (dia menolak menjelaskan diagnosisnya).
“Ibu saya benar-benar ingin mendoakannya dan menyalakan lilin di gereja, dia tiba-tiba menjadi sangat taat. Dia bilang, dia tak bisa mendoakan cucunya yang belum dibaptis. Saya setuju, tetapi dengan syarat: dia tak akan memaksakan apa pun kepadanya,” katanya.
Rehabilitasi anaknya memakan waktu sepuluh tahun. Menurut Lyudmila, doa dan lilin sama sekali tak membantu.
Seorang perempuan menggendong anaknya saat upacara pembaptisan bayi di Gereja Svyatitelya Nikolaya, Vladivostok.
Vitaliy Ankov/Sputnik“Ya, saya membuat seluruh kerabat senang. Namun, dalam hal ini, keputusan mereka meruntuhkan segala kemungkinan pengembangan diri. Pada tingkat alam bawah sadar, gereja dikaitkan dengan paksaan dan sesuatu yang tidak masuk akal, bau, dan lengket,” katanya.
Sementara, perempuan lain yang bersedia diwawancarai memandang pembaptisan dengan lebih santai.
“Saya bukan orang yang taat, jadi saya tidak pernah menganggap serius pembaptisan. Pembaptisan anak saya seperti hari libur biasa,” kata Sofia (30). Dia juga membaptis anaknya atas permintaan orang tuanya. Mereka mendukung ritual tersebut dengan mengatakan bahwa hanya orang yang dibaptis yang dapat didoakan di gereja, dan hanya orang yang dibaptis pula yang bisa dikubur di pemakaman.
“Ini bukan tato. Pembaptisan tidak meninggalkan bekas atau kewajiban untuk melakukan apa pun. Ini seperti ulang tahun pertama anak-anak — mereka tak mengerti apa-apa, Anda mendandaninya, mengundang kerabat, dan bersenang-senang. Kami tidak berurusan dengan gereja, dan masih belum,” ujar Sofia mengakui.
Gereja Ortodoks Rusia tidak menyangkal bahwa pembaptisan hanyalah sekadar formalitas bagi sebagian orang tua, kata Ieromonakhos Aleksandr Mitrofanov.
“Itulah sebabnya konsultasi pembatisan kini diadakan dengan orang tua dan wali terlebih dahulu. Biasanya, salah satu dari mereka taat, sedangkan yang lainnya setidaknya tidak menentang (pembaptisan -red.). Itulah sebabnya, kita membutuhkan orang tua wali sebagai orang yang berserah diri di hadapan Tuhan untuk membantu pengasuhan anak secara Ortodoks,” jelas Mitrofanov.
Meski dahulu Uni Soviet dianggap sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, kebanyakan orang tak dibekali pendidikan rohani, kata psikolog dan psikoterapis Andrei Efremov.
Seorang anak mengikuti upacara pembaptisan massal.
Vadim Braydov/Sputnik“Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, ketakutan batin mereka semakin terpapar secara psikologis. Bagi mereka, seluruh dunia adalah sumber bahaya. Karena ketakutan seperti itu hanyalah khayalan, obatnya pun imajiner. Ketika orang tua yang tak beriman membaptis anak mereka, pembaptisan itu hanyalah ilusi,” jelas Efremov.
Pembaptisan semacam itu termasuk jenis kekerasan psikologis dan dapat menyebabkan masalah keluarga, kata sang psikolog.
“Di Rusia, menjadi pemeluk Ortodoks berarti menjadi ‘orang Rusia seutuhnya’. Artinya, Gereja Ortodoks memberi kesan penggabungan nilai-nilai budaya dan agama,” kata Tatyana Koval, doktor Ilmu Sejarah dan profesor di Fakultas Ekonomi Dunia dan Hubungan Internasional Sekolah Tinggi Ekonomi di Moskow. Gereja Ortodoks tunduk pada prinsip-prinsip ideologis dan politik pemerintah yang berkuasa.
“Sebetulnya, di antara orang-orang yang mengaku sebagai penganut Ortodoks, hanya 58 persen saja yang percaya pada Tuhan, sementara 16 persen lainnya bahkan tidak percaya pada kehidupan setelah kematian. Namun, 75 persen orang Kristen Ortodoks percaya pada mata jahat dan kutukan, dan sebagian besar memperlakukan ikon sebagai jimat, sementara sakramen gereja, seperti pembaptisan, sebagai semacam ritual magis. Dengan kata lain, ini adalah paganisme ‘berbulu’ Ortodoks,” kata Koval.
Seorang pendeta memimpin upacara pemberkatan air di Laut Hitam, Distrik Khotinsky, Sochi.
Mikhail Mokrushin/SputnikSuatu hari, Tatyana sedang hamil sembilan bulan. Para dokter memberi tahunya bahwa kelahiran sang buah hati agak terlambat. Meski begitu, mereka meyakinkan Tatyana bahwa tak ada yang perlu ia khawatirkan. Ketakutan, dia memutuskan untuk menyalakan lilin di gereja sekadar untuk “berjaga-jaga.” Pada hari yang sama, air ketubannya pecah, dan bayi itu lahir sehat. Dalam pandangannya, ini bukan hanya kebetulan belaka.
“Setelah melahirkan, para dokter mengatakan bahwa jika bayi itu tinggal lebih lama lagi, dia bisa menderita. Saya segera memutuskan untuk membaptisnya supaya aman,” katanya.
Meski begitu, dia tidak yakin apakah Tuhan benar-benar ada. Pada waktu senggang, Tatyana menceritakan keberuntungan perempuan lain dengan kartu Tarot. Namun, dia percaya bahwa anaknya diawasi oleh malaikat pelindung.
Lyubov, seorang perempuan berambut cokelat dengan perawakan agak gemuk, bertemu dengan Sergei ketika berusia 22 tahun. Setahun kemudian mereka menikah. Pada usia 25, dia dan suaminya memutuskan untuk memiliki anak. Namun, putra satu-satunya lahir ketika ia berusia 45.
“Sel telur saya tak cukup matang untuk pembuahan. Selama 20 tahun, saya mencoba berbagai pengobatan, tetapi tidak ada yang berhasil. Ketika program fertilisasi in vitro atau bayi tabung muncul di Rusia, kami segera memutuskan untuk mengambil risiko. Kami menghabiskan banyak uang, tetapi saya mengalami keguguran,” kenang Lyubov.
Tak putus asa, pasangan itu mencoba kembali. Untunglah, percobaan berikutnya berhasil. Lyubov melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Pembaptisan putra semata wayangnya itu sama sekali tak menguras tenaga atau emosi. Namun kemudian, Imam Agung Dmitry Smirnov mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia mengatakan bahwa dia menentang pembaptisan anak-anak yang lahir melalui program bayi tabung atau ibu pengganti. Belakangan, Vladimir Legoida, perwakilan resmi Gereja Ortodoks Rusia, mengumumkan bahwa pernyataan tersebut adalah pendapat pribadi Smirnov, bukan gereja secara keseluruhan.
Sementara itu, Ieromonakhos Aleksandr Mitrofanov menghubungkan kebutuhan bayi tabung dengan dosa orang tua.
“Gereja menentang fertilisasi in vitro karena metode itu memiliki komponen aborsi. Namun, ini adalah dosa si orang tua, bukan si anak. Karena itu, gereja tak boleh menolak pembaptisan si anak,” kata sang ieromonakhos.
Pembaptisan di Sungai Chusovaya, dekat Gereja Pangeran Vladimir, Stantsionny-Polevskoy.
Pavel Lisitsyn/SputnikMeski begitu, Lyubov takut menjelasakan tentang kelahiran putranya.
“Anak seperti itu harus dibaptis atau lebih dari itu, bahkan jika Anda tak percaya pada apa pun. Bukankah itu mukjizat sejati abad ke-21?” katanya berpendapat.
“Bagaimanapun, orang-orang bisa taat, tetapi tak tahu-menahu tentang ajaran agama dan semata-mata ke gereja karena alasan sosial, atau mereka bisa jadi beriman dan menjalankan semua perintah gereja, tetapi tetap berbuat jahat dalam kehidupan nyata,” kata Profesor Koval
“Pada akhirnya, hanya Tuhan yang tahu siapa yang dekat dengan-Nya dan yang benar-benar beriman dari lubuk hati mereka,” kata Koval.
Banyak orang mengira Gereja ‘Penyelamat Kami Menumpahkan Darah’ adalah Katedral St. Basil di Moskow. Padahal, ini adalah dua gereja yang berbeda.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda