Sejak Rusia bertabrakan dengan dunia Barat hampir 30 tahun lalu (saat Uni Soviet runtuh), pertukaran lintas budaya antara keduanya meledak begitu cepat sehingga meninggalkan konsekuensi yang diwariskan hingga kini. Salah satu konsekuensi yang paling bertahan lama adalah pengasosiasian perempuan Rusia dengan sesuatu yang mudah didapat, murahan, atau kurang bermartabat.
Sebuah pencarian sederhana di Google mengekspos puluhan blog perjalanan yang didedikasikan untuk menilai seberapa “gampang” kaum perempuan di negara-negara tertentu. Sebagaimana yang mungkin Anda duga, perempuan Rusia berada dalam posisi teratas.
Lalu, ada pula fenomena pengantin pesanan (mail-order brides) Eropa Timur — para perempuan yang berusaha mencari kehidupan yang lebih baik di luar negara-negara eks Soviet melalui jasa pengaturan perkawinan. Coba tanyakan pada Google apakah “perempuan Rusia mudah” maka mesin pencari itu akan memberikan hasil yang tak terhitung jumlahnya.
Hal yang sama terjadi ketika Anda membaca sebuah artikel mengenai topik ini di internet. Panel di sebelah kanan akan menyuguhi Anda iklan kontekstual Google dalam bahasa Rusia: “Temukan perempuan yang mencari bantuan finansial.” Perempuan di foto itu berbusana rapi — tata rias dan rambutnya sempurna, tubuhnya sintal, dan mantel Burberry yang ia kenakan tampak mahal! Jelas, ini bisa jadi hanya iklan dengan konten menyasar pengguna yang dipicu pencarian Google saya. Namun, hal serupa ternyata tak terjadi pada negara lain yang saya cari. Anda tidak akan mendapatkan banyak situs web yang dirancang untuk memasarkan perempuan kepada Anda!
Bagaimana dengan pornografi? Rusia adalah salah satu kekuatan pornografi online (daring) yang paling dominan — bukan dari jumlah traffic (kunjungan) yang dihasilkan, melainkan dari banyaknya pemeran berakar Soviet. Fenomena ini seolah-olah membuat mereka terlihat berasal dari tempat yang memandang seks sebagai sebagai sesuatu yang sepenuhnya terpisah dari martabat perempuan (masyarakat pada umumnya masih menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu).
Sementara itu, penggunaan ‘perangkap madu’ (suatu metode investigasi dengan menggunakan romantisme atau hasrat seksual untuk menjebak target -red.) oleh KGB (sekarang FSB) di masa lalu tak membuat idustri perfilman Hollywood hilang akal: budaya Rusia yang dianggap memperlakukan perempuan sebagai objek seks di dalam dan di luar pekerjaan “didokumentasikan” dengan jitu dalam film Red Sparrow (2018). Dalam film itu, KGB memeras seorang balerina bernama Dominika Egorova (diperankan oleh Jennifer Lawrence) supaya tidur dengan para target, yang nyaris tak dapat menahan keinginan mereka memperkosa si gadis malang.
Jennifer Lawrence dalam film ‘Red Sparrow’ (2018).
Francis Lawrence/TSG Entertainment, 2018Namun, stereotip negatif ini tidak muncul begitu saja tanpa dasar.
Pada pertengahan 2018 lalu, Piala Dunia FIFA di Rusia kerap menghiasi halaman-halaman depan surat kabar di seluruh dunia. Sebagian besar media memang memberitakan pesta sepak bola tersebut, tetapi ada pula yang jahil dan berpikir bahwa mempermalukan perempuan yang ‘bercinta’ dengan suporter asing bisa menjadi berita yang lucu. Sementara itu, seperti yang dikatakan Anna Nemtsova di Daily Beast, ada “revolusi seksual” yang berkecamuk di Rusia, yang “membuat pria-pria macho di negara itu mersa terancam dan marah.” Nemtsova tidak salah. Pria-pria pecundang yang tertekan akibat penghasilan yang di bawah rata-rata, dengan bantuan tambahan ‘nilai-nilai kebermanfaatan’, memilik satu trik supaya tetap merasa relevan: memandang rendah perempuan yang dinilai murahan (slut-shaming) dan membela ‘tradisionalitas’. Tidak ada yang lebih baik daripada sedosis besar nilai-nilai kebermanfaatan ketika hidup terasa tak berguna.
Namun, nilai-nilai apa itu sebenarnya? Dibanding pria Amerika yang diibaratkan koboi tradisional, pria Rusia tak lebih dari pemenuh kebutuhan (tradisional). Ketika gambaran tradisional tentang kodependensi (ketergantungan dalam hubungan) itu runtuh di bawah beban ekonomi berbasis pasar yang baru, perempuan Rusia mulai melihat ke luar — siapa pun akan melakukan hal serupa.
Proses ini tak muncul tiba-tiba kemarin sore. Namun, itu membuat keterbukaan seksual yang baru mereka temukan tampak lebih tak bermartabat daripada kenyataannya. Di situlah letak akar masalahnya.
Bahkan ketika Rusia kini membuka pintunya sehingga siapa pun bisa datang dan pergi sesuka hati, kebanyakan pria Rusia tampaknya masih percaya bahwa pesona alamiah merekalah yang membuat perempuan tak melirik pria asing. Ketika kesulitan ekonomi memaksa semua orang untuk giat bekerja, kaum perempuan pelan-pelan berhenti mengandalkan pria untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Ketika seorang gadis Rusia berusia 19 tahun yang tak pernah berlibur ke luar negeri mulai menggoda pria asing, dia sering kali terjebak dalam situasi yang serba salah. Beberapa orang Rusia yang terbelakang akan dengan lantang mengatakan bahwa ia telah “menyerah” (dengan pria lokal), sementara si orang asing bisa pulang dengan cerita “berhasil menggaet cewek Rusia”. Akhirnya, persepsi bahwa perempuan Rusia akan dengan mudah tidur bersama orang asing mengakar kuat dan berkembang di luar kendali.
Pada kenyataannya, baik pria macho Rusia dan orang asing yang berkunjung sama sekali tak melihat si perempuan selain sebagai perempuan itu sendiri. Bagi pria Rusia, dia hanya seorang perempuan, sedangkan bagi orang-orang asing, dia hanya orang Rusia, dan karena itu ia “gampangan”, dan mencari cara supaya keluar sebagai warga Eropa Timur yang secara ekonomi lebih rendah — sebuah citra yang tertanam kuat di kepala kita melalui film-film seperti Red Sparrow yang disebutkan di atas.
Sebelum Vladimir Putin naik panggung, perekonomian Rusia pasca-Soviet berantakan. Hubungan ekonomi dan peran gender yang menyertainya merembes ke seluruh kehidupan masyarakat dan keluarga. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki di Rusia, sebagian besar, masih merupakan bagian dari keseluruhan sistem sosial dan ekonomi. Bukan karena “perempuan tidak mandiri”, melainkan karena sifat alami kodependen yang biner pada hubungan antargender.
Meski begitu, perempuan di Rusia tidak terlalu terbebani oleh banyaknya adat istiadat budaya seperti di Barat, sehingga membuat mereka lebih bebas mengekspresikan seksualitas mereka. Hal ini pun menciptakan kebingungan, dan mungkin memaksakan anggapan bahwa mereka tidak melindungi tubuh — dan martabat — mereka seperti halnya perempuan di Barat. Saya berpendapat, perempuan Rusia tahu apa yang mereka inginkan dan harus lakukan. Ini semua tentang persepsi. Memakai lipstik di ruang dewan yang didominasi pria di negara yang secara militan feminis sering kali membuat publik meratapi apa yang harus dilalui seorang perempuan supaya didengar atau diperhatikan. Rusia, di sisi lain, tak memiliki masalah itu. Itulah perbedaan utama kami dengan kaum progresif Amerika: kami menerima kenyataan tertentu tanpa melabel mereka dengan nama-nama tertentu. Amerika, pada dasarnya, melakukan hal yang sama secara diam-diam, tetapi kemudian dengan keras menolak keadaan.
Ingatkah Anda dengan foto telanjang selebritas-selebritas Hollywood yang bocor secara online sekitar lima tahun lalu? Ingatkah Anda bagaimana beberapa selebritas itu kemudian memilih untuk “mengambil kendali” dan memublikasikan foto-foto mereka sendiri? Mengapa Jennifer Lawrence layak berbicara tentang kontrol, sedangkan perempuan Rusia tidak? Sebelum dia merilis foto “bermartabat” lainnya, Amerika harus terlebih dahulu membaca esai mengenai bagaimana menanggalkan pakaian tak ada hubungannya dengan terlihat menarik, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan “kontrol”. Benar, 'kan? Amerika, coba beri tahu saya di kolom komentar bagaimana kalian mengatasinya setelah kalian berhasil menyembunyikan gairah seksual kalian!
Saya percaya perempuan Rusia juga tak kalah berjuang dari teman-temannya di Barat, tetapi dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak hanya belajar untuk melepaskan diri dari sistem kodependensi yang patriarki (dewasa ini, Rusia memiliki lebih banyak perempuan di posisi manajerial pemerintahan daripada kebanyakan negara Barat), tetapi mereka juga berhasil melakukannya tanpa menumbuhkan bulu ketiak atau secara militan menulis blog-blog feminis yang menyebut ‘pujian laki-laki sebagai bentuk penghinaan’, misalnya.
Ingat, objektifikasi seksual di Rusia tak selalu berarti dosa. “Gampang” adalah kata yang Anda gunakan ketika berbicara tentang mangsa, untuk mendapatkan keunggulan intelektual. Dalam masyarakat di mana perempuan sendiri yang menjadi predator, “gampang” ada di mata yang melihatnya.
Ketika seorang bintang Hollywood dalam gaun terbuka berpose di sebelah Harvey Weinstein, sementara dia mengetahui betul orang macam apa dia, apakah itu membuatnya lebih bermartabat karena dia kemudian menulis esai tentang itu lima tahun kemudian? Apakah menggunakan seksualitas untuk memajukan karier Anda lebih bermartabat di Barat daripada di Rusia? Saya tanya lagi, bagaimana Anda bisa mengatasinya?
Perempuan Rusia telah belajar memanipulasi realitas yang didominasi pria dengan cara yang menarik tanpa kerangka politik (setidaknya tidak selama seratus tahun terakhir). Sikap kami terhadap feminisme Barat berbeda dan itu membuat sejumlah perkembangan positif dan negatif.
Salah satu faktor yang jelas adalah penolakan untuk mengorelasikan seks dengan martabat atau harga diri sebagai kesatuan yang tak terpisahkan: sebeuah perkembangan modern dan kurang Kristen. Kenapa harus bercinta kalau itu berarti bahwa Anda secara simbolis “menyerahkan sesuatu” kepada si agresor? Orang Rusia modern tidak memandang seksualitas sebagai sesuatu yang merendahkan citra dirinya sebagai perempuan seutuhnya.
Ketika kualitas laki-laki sebagai pencari nafkah gagal terpenuhi pada era ekonomi pasca-Soviet yang baru, perempuan Rusia dibiarkan duduk di bar atau berselancar di dunia mana, menunggu seorang pangeran. Karena mereka telah diajarkan sejak kecil bahwa pernikahan adalah ikatan yang sebenarnya, sesuatu yang menjamin bahwa seorang perempuan tak harus menjadi pemangsa seksual demi menemukan kebahagiaan. Realitas itu kini hilang, baik di Barat maupun di sini.
Menurut martabat perempuan versi Barat, perempuan bisa dan harus ‘menikmati hidup semaksimal mungkin’ dengan bertindak seperti laki-laki. Kita tak akan menemukan acara Netflix atau HBO tanpa adegan beberapa kali per episode yang menunjukkan seorang tokoh perempuan dibuat untuk berperilaku seperti seorang pria yang sedang bermain, mencari kepuasan seks, mencintai kekerasan, orang yang memecahkan masalah, semata-mata dengan tujuan memutarbalikkan naskah (sementara tokoh sampingan pria ditampilkan menunjukkan rasa takut, tidak aman, keterampilan memecahkan masalah yang buruk, kekuatan fisik di bawah rata-rata, dan keinginan untuk terus-terusan meminta nasihat yang lebih baik sebelum memutuskan sesuatu).
Mungkin, memperlihatkan perempuan bersendawa dan buang gas dimaksudkan untuk membuktikan bahwa kesenjangan upah berbasis gender tidak bisa dibenarkan selama ini? Saya tidak tahu. Yang bisa saya katakan, perempuan tak perlu memakai kemeja dan melakukan manspreading hanya untuk memberikan diri Anda hak untuk bercinta satu malam.
Saya berani bertaruh bahwa ada martabat yang jauh lebih tinggi dalam mempertahankan gagasan feminitas Anda sendiri (betapa pun terbatasnya itu) daripada membiarkan politik menahan Anda dari apa yang Anda cari dalam kehidupan pribadi Anda — atau untuk secara dramatis menjatuhkan sanksi atas penggunaan atribut keperempuanan Anda atau kualitas semacamnya untuk mengambil kuasa. Perempuan Rusia tidak pernah merasa bahwa mereka kurang berkuasa atas pria. Menyebut mereka “gampang” betul-betul bentuk kultur sentris, dan banyak dari mereka setuju dengan itu.
Artikel ini tidak merefleksikan pandangan resmi Russia Beyond.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda