Piala Dunia di Depan Mata, Kenapa Timnas Rusia Masih Belum Menemukan Rumus Kesuksesan yang Pas?

Pelatih Stanislav Cherchesov dan tim nasional saat latihan.

Pelatih Stanislav Cherchesov dan tim nasional saat latihan.

Anton Denisov/Sputnik
Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, Piala Dunia digelar di Rusia. Lantas, bagaimana peluang timnas Rusia pada Piala Dunia kali ini? Melihat penampilan buruk Rusia pada Piala Eropa 2016, inilah alasan mengapa “Sbornaya” (julukan timnas Rusia) masih harus berjuang keras demi tak dipermalukan di kandang sendiri.

Untuk sebuah negara yang akan menggelar Piala Dunia pertama kalinya, Rusia kelihatan sangat tenang. Padahal, negara itu diam-diam khawatir akan penampilan tim nasional mereka sendiri.

Sebetulnya, kondisi timnas Rusia tak selalu sepayah kini. Orang-orang yang gemar bernostalgia sering kali memuji-muji timnas Uni Soviet. Padahal, baru satu dekade berlalu sejak aksi heroik Andrei Arshavin pada menit ke-116 saat melawan tim Belanda yang bertabur bintang berhasil mengirim Rusia ke perempat final Piala Eropa. Kala itu, sepak bola Rusia berada pada puncaknya. Para penggemar menjadi saksi bagaimana Arshavin, Zhirkov, dan Pavlyuchenko mewarnai Liga Inggris setelah dibeli dengan harga tinggi pada musim panas kala itu.

Seiring waktu, kondisi timnas justru berubah 180 derajat. Setelah kalah 3-0 dari Wales pada Euro 2016, pelatih Leonid Slutsky secara terbuka menyebut timnya “sampah”. Bagaimana semua itu tiba-tiba berubah drastis?

Zona Nyaman

Pada suatu pagi bulan Juni tahun lalu, Presiden Putin yang tampak santai ditanya oleh seorang wartawan dalam konferensi pers tahunan mengenai penilaiannya atas kegagalan tim nasional sepak bola Rusia. “Ketika saya berbicara dengan para ahli,” ujarnya, “mereka mengatakan kepada saya bahwa ada terlalu banyak pemain asing.”

Pada 2015, ditetapkan bahwa jumlah pemain asing di Liga Primer Rusia dibatasi maksimal enam orang per tim. Langkah tersebut diambil terlepas dari fakta bahwa Rusia adalah salah satu liga yang paling ‘lokal’ di Eropa, dengan pemain asing hanya mencapai 43 persen dari keseluruhan (dibanding 66,4 persen di Inggris). Hal ini membuat Rusia menjadi pengecualian di dunia sepak bola modern yang kacau, ketika para pemain bisa kaya mendadak dalam semalam berkat tawaran senilai seperempat miliar dolar dari klub lain.

Gelandang kelahiran Belanda, Quincy Promes, merupakan pemain asing yang luar biasa di Liga Primer Rusia. Ia telah mencetak 58 gol dalam 115 pertandingan untuk Spartak Moskow.

Meski dilatarbelakangi niat yang mulia, patriotisme sepak bola Rusia menuntun para pemainnya ke kehidupan yang nyaman. Semua pemain yang menonjol dalam timnas Rusia saat ini bermain di Liga Primer Rusia, dan hal tersebut menjadi kunci untuk memahami kegagalan mereka baru-baru ini. “Gaji di Liga Rusia sangat tinggi, bisa mencapai hampir 900 juta per tahun,” tutur Ilya Zubko, asisten editor rubrik olahraga di Rossiyskaya Gazeta, menjelaskan. “Namun karena batasan pemain asing, persaingan untuk mendapatkan posisi tersebut tidak terlalu tinggi.”

Uang yang mengalir deras untuk mempertahankan para pemain, seperti Igor Denisov dan Artyom, di kandang memberi mereka zona nyaman yang terlalu mudah didapat.

Tak Lagi Dicari London

Tak perlu dikatakan lagi bahwa impian pemain-pemain Rusia untuk pindah ke Inggris untuk meningkatkan karier mereka sudah lama berlalu. “Mereka tahu bahwa mereka tak akan didekati klub-klub besar Inggris,” kata Zubko, “dan mereka tidak melihat keuntungan pindah ke sana untuk mengisi posisi menengah, karena gajinya jauh lebih rendah, sementara mereka harus bekerja jauh lebih keras untuk itu.”

Andrei Arshavin, pemain Rusia terakhir di Liga Inggris, meninggalkan Arsenal pada 2013.

Salah satu contoh adalah Arshavin sendiri. Setelah empat musim bermain untuk Arsenal (2008 – 2012), Arshavin tak berhasil meyakinkan rekan-rekannya untuk pindah ke Barat. Tak terbiasa dengan intensitas yang dituntut Liga Inggris, Arshavin gagal memenuhi potensi maksimalnya. Ia hanya mencetak 30 gol dalam 133 penampilan. Pemain depan itu akhirnya tak disukai penggemar Arsenal karena sikap pemalasnya dan kembali ke klub masa kecilnya, Zenit Sankt Peterburg, dan hanya meninggalkan sedikit kesan di benak penggemar Arsenal dengan mencetak empat gol melawan Liverpool. Dulu, pindah ke Inggris menjadi ambisi setiap pemain Rusia, tapi kini hal itu tampak terlalu melelahkan. Jika Arshavin saja tak mampu melakukannya, siapa yang bisa?

Alih-alih “mencetak” lebih banyak Arshavin, sistem Rusia yang picik mengimbau para pemain terbaiknya untuk bertahan dengan kemampuan rata-rata. Pemain-pemain, seperti Igor Akinfeev, Alan Dzagoev, dan Aleksandr Kokorin, masing-masing sempat ditawar oleh Manchester United, Everton, dan Arsenal. Sayang, mereka lebih memilih kenyamanan dibanding perkembangan karier dan lebih senang bertahan di Rusia, melihat saldo bank mereka terus menggunung meski bakat mereka pas-pasan. Namun, mereka diperlakukan seperti raja atas kesetiaan mereka, dan masuk di antara 23 pemain nasional Rusia musim panas ini. Dengan hanya beberapa pertandingan Eropa yang mereka jalankan musim ini, para bintang Rusia itu hanya punya sedikit pengalaman bermain di liga terkemuka.

Kendala Kepemilikan Publik

Sementara konglomerat Roman Abramovich mengucurkan miliaran dolar AS untuk Chelsea, klub-klub di tanah Rusia sendiri harus menghadapi perjuangan aneh atas kepemilikan publik: 31 dari 36 tim di dua divisi teratas Rusia dikuasai entah oleh pemerintah lokal atau perusahaan yang dikelola negara. Dengan kehadiran penonton pertandingan rata-rata di bawah 12 ribu orang di Liga Rusia dan royalti TV hanya sepuluh persen dari keuntungan liga, investasi publik memberi negara kontrol yang belum pernah terjadi sebelumnya atas klub-klub sepak bola.

Seperti yang dapat dibayangkan, reformasi publik dari sistem yang tidak kompetitif bukan hal utama dalam agenda sebuah negara yang masih berusaha keluar dari resesi ekonomi. “Jika satu daerah harus memotong pengeluaran sosialnya, pendanaan tim sepak bola akan menjadi hal pertama yang mereka potong,” kata Igor Lebedev, anggota komite eksekutif federasi sepak bola Rusia kepada The Financial Times pada 2017.

Suleiman Kerimov, mantan pemilik Anzhi Makhachkala yang menjadi tokoh di balik penjualan pemain-pemain besar, seperti Willian dan Samuel Eto'o. Ia menjual klubny pada 2016.

Prospek untuk berurusan dengan pemerintah membuat para pihak swasta yang tak akrab dengan birokrasi Rusia tak tertarik untuk membeli klub. “Pilihan Prancis” (yang dengan cepat meningkatkan daya tarik liga melalui investasi swasta), membutuhkan bantuan para oligarki sejenis Abramovich, seperti (mantan pemilik Anzhi) Suleiman Kerimov. Namun dengan kondisi rubel saat ini, hal itu tampaknya tak mungkin terjadi. Baik Kerimov maupun Abramovich sama-sama telah mengurangi keterlibatan mereka dalam sepak bola Rusia sejak beberapa tahun terakhir.

Terperangkap dalam Sistem

Satu-satunya harapan baru Rusia terletak pada generasi muda, yang menghadapi masalah kuno dengan kesabaran dan perfeksionisme. Perkembangan kaum muda Rusia adalah perjalanan yang menyenangkan bagi para pemain, seperti Dzagoev dan Aleksandr Golovin dari CSKA, yang sudah terlihat seperti pemain kelas dunia sejak masa remaja. Namun, para manajer tidak bisa bereksperimen dengan mereka yang kemampuannya kurang sejak awal.

Gelandang CSKA Moskow Aleksandr Golovin yang sempat diincar Arsenal.

Sistem registrasi sangat penting untuk pelatihan sepak bola yang konservatif. Sistem ini memaksa klub-klub untuk menentukan tim pertama dan kedua mereka di awal setiap bursa transfer. Hal ini mencegah para pemain bermigrasi antara kedua tim dan meninggalkan klub, seperti Spartak Moskow dan Zenit Sankt Peterburg, yang tim kedua mereka bermain di Divisi Satu, tidak bisa menarik pemain mereka dari tim kedua untuk berlaga di liga utama.

Karena para manajer khawatir menyia-nyiakan tempat dalam tim mereka, para pemain muda yang tidak menonjol saat tampil pertama kali sering berakhir terjebak di putaran tim kedua selama bertahun-tahun dan dipinjamkan untuk tim lain. Semua itu menimbulkan pertanyaan: mungkinkah penerus Arshavin di luar sana terjebak di klub Siberia tingkat kedua, dan ia tidak bisa pergi karena surat pendaftarannya tidak mengizinkan ia untuk melakukannya?

Menyembuhkan Luka?

Dari sudut pandang taktis, status sebagai negara tuan rumah Piala Dunia membuat pelatih Rusia Stanislav Cherchesov seharusnya tak terlalu pusing musim panas ini. Misinya jelas: Sbornaya harus mencetak gol, dan butuh energi pemain muda untuk melakukan hal ini.

Juni mungkin datang terlalu cepat, tetapi setelah mengadopsi pendekatan baru Jerman untuk pengembangan para pemain mudanya pada 2015, klub-klub Rusia akhirnya mengambil langkah ke arah yang benar. “Perkembangan infrastruktur bagi para pemain muda jelas semakin baik,” kata Pelatih Tim U-21 Rusia Evgeniy Bushmanov. “Klub-klub papan atas lebih memperhatikan bakat individu. Anda bisa melihat hal tersebut dari Anton (Lokomotiv Moskow) dan Aleksei Miranchuk, yang berkembang dengan sangat cepat selama beberapa tahun terakhir.”

Cherchesov juga memiliki pendekatan yang longgar dalam mengasah bakat, yang muncul pada saat yang tepat, tambah Ilya Zubko. “Ia senang bekerja dengan para pemain muda, dan memberi kepercayaan pada mereka dengan penuh semangat. Roman Zobnin adalah contoh yang menonjol. Ia bermain buruk dalam debutnya untuk Dynamo (Moskow) melawan Napoli, tapi Cherchesov terus memberinya kepercayaan dan menurunkannya ke lapangan.”

Anton Miranchuk (kiri) dan Stanislav Cherchesov.

Zobnin dan si kembar Miranchuk hanyalah segelintir anak muda yang bersaing untuk mendapatkan tempat di tim Cherchesov musim panas ini. Sulit untuk menilai bagaimana mereka akan dipertimbangkan di tingkat atas, tetapi sebagai cadangan bagi para veteran, seperti Denis Glushakov dan Igor Denisov, para calon pemain nasional ini dapat meningkatkan kedalaman permainan dan energi bagi anak-anak didik Cherchesov. Jika pemain penyerang Fyodor Smolov dan Aleksandr Kokorin mengulang penampilan buruk mereka di Euro 2016, Aleksei Miranchuk juga menutup lubang tersebut, mengingat kiprahnya sebagai pemain depan yang mencetak gol saat melawan Spanyol November lalu.

Menahan Serangan Ganas

Perhatian terbesar Rusia terletak di sisi pertahanan — masih ada keraguan mengenai siapa yang akan diberi tugas sederhana untuk menghentikan orang-orang, seperti Luis Suarez, Mo Salah, dan Edinson Cavani pada babak penyisihan grup. Tim nasional Rusia didera cedera besar pertamanya pada Januari lalu ketika bek tengah Spartak Georgi Dzhikiya (24) merobek ligamennya dalam pertandingan persahabatan. Pemain bek yang lebih senior Fyodor Kudryashov dan Viktor Vasin kemungkinan akan menggantikan Dzhikiya, dan hal itu membuat para penggemar kecewa. “Dzhikiya adalah harapan terakhir Rusia, satu-satunya bek yang separuh layak di tim,” kata pemegang tiket musim Spartak Nikolai Soloviev. “Ia berada di daftar tambahan untuk Piala Dunia, tapi saya ragu ia akan bermain di sana.”

Anggota timnas Georgi Dzhikiya kemungkinan akan absen pada laga Piala Dunia menyusul cedera ligamen yang ia derita pada Januari lalu.

Permainan Rusia mungkin tak akan penuh keajaiban, tetapi jika Cherchesov bisa membuat para pemainnya bersemangat dan mencetak gol, Rusia mungkin memiliki peluang untuk setidaknya lolos dari babak penyisihan grup. Dengan harapan tipis menang melawan Arab Saudi pada pembukaan dan perlunya upaya mati-matian melawan Uruguay, peluang sedikit terbuka dalam pertandingan melawan Mesir di Sankt Peterburg pada 19 Juni mendatang.

Namun, jika para pemain Rusia mempelajari sesuatu dari Euro 2016, setidaknya itu adalah kesadaran bahwa mereka tidak memiliki pilihan selain pergi melewati garis nasional. Jika tidak, semua orang dari Siberia hingga Kremlin akan terus membahas aib mereka.

Bukan maksud memberi tekanan, tapi ada alasan yang masuk akal kenapa timnas Rusia diprediksi gagal pada Piala Dunia kali ini.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki