Setiap musim semi, para rabi muda dan siswa yeshiva melakukan perjalanan ke berbagai kota Rusia yang tidak memiliki rabi. Tugas mereka adalah melakukan Seder, sebuah jamuan makan meriah untuk merayakan Passover, hari raya kebebasan memperingati eksodus dari Mesir. Seder berlangsung dua kali - pada malam pertama dan kedua Paskah.
Ya, rabbi tidak dapat ditemukan di setiap kota - hal ini adalah kekhasan komunitas Yahudi Rusia yang membedakannya dari komunitas di negara lain.
“Di New York, di satu sisi, terdapat komunitas besar Yahudi Ortodoks; namun, sejumlah kecil orang juga pergi ke sinagoga, tetapi bukan ortodoks. Di Rusia, hal itu sebaliknya,” kata Borukh Gorin, kepala hubungan masyarakat untuk Federasi Komunitas Yahudi Rusia.
“Kebanyakan orang Yahudi di Rusia menyimpang jauh dari tradisi Yahudi, dan kecenderungan ini juga dapat dikenali di negara-negara pasca-Komunis seperti Hongaria atau Polandia; tetapi itu tidak lazim di Eropa, di mana komunitas Yahudi pasti Ortodoks, atau jika tidak mereka berasimilasi dan lenyap,” kata Gorin, menambahkan bahwa 90 persen anggota komunitas Yahudi Rusia adalah orang-orang yang tidak religius, dan banyak yang hidup dalam perkawinan campuran.
Juga, tidak ada "tempat Yahudi" di kota-kota Rusia. Sebaliknya, ada komunitas Yahudi kecil, sekitar 1.000 orang, di hampir setiap kota, seringkali tak punya sinagoga. Alasannya adalah sejarah aneh keberadaan orang Yahudi di Rusia.
Matzo ilegal dan 'agama Holocaust'
Setelah Revolusi, Gereja Ortodoks, yang dengan sendirinya dilarang, berhenti mempromosikan anti-Semitisme. Tetapi ada juga "ekonomi" anti-Semitisme: orang-orang melihat banyak orang Yahudi di kalangan elit Soviet dan mengira mereka mengambil pekerjaan terbaik. Ini adalah alasan paling umum untuk sikap anti-Semit Soviet, kata Borukh Gorin.
Banyak orang bahkan mencoba menyembunyikan akar Yahudi mereka, yang sekali lagi, mencegah pembentukan sebuah komunitas. Yudaisme, secara umum, tidak diterima karena itu adalah agama. Tidak ada tempat di orde baru untuk yeshiva, yang dilarang. Akibatnya, orang Yahudi Soviet tidak bisa mengajar dan belajar bahasa Ibrani secara sistematis. Bahkan roti matzo tradisional Yahudi, yang dianggap penting untuk merayakan Paskah, dijual secara sembunyi-sembunyi pada masa Uni Soviet. Tak heran, inilah yang membuat orang Yahudi tetap solid pada masa represi.
“Saya pikir jika tidak ada sikap anti-Semitisme di Uni Soviet, maka tidak akan ada orang Yahudi. Kami tidak akan merasa berbeda dari yang lain,” kata Anna Russ, seorang penyair dari Kazan (450 mil dari Moskow). Borukh Gorin setuju: “Anti-Semitisme mencegah orang Yahudi yang tidak Ortodoks dari asimilasi selama masa Soviet. Mereka disatukan oleh masalah bersama terkait pekerjaan dan pendidikan. Juga, banyak orang menganggap Yahudi sebagai tanda solidaritas dengan mereka yang tewas di tahun 1930-an dan 1940-an, apa yang disebut 'agama Holocaust'."
“Nenek buyut saya tewas di Kiev pada masa perang, dan bukan di Babiy Yar [sebuah jurang di Kiev yang merupakan tempat pembantaian oleh pasukan Jerman selama Perang Dunia II - red.]. Sebaliknya, tetangga terdekatnya yang melemparkannya ke bawah tangga,” kata Irina, seorang wanita Yahudi setengah baya dari Moskow. “Bagaimana Anda bisa lupa bahwa Anda orang Yahudi jika Anda tahu hal seperti itu?”
Bertahan atau pergi?
"Sikap anti-Semitisme kembali meningkat di sejumah negara Eropa," kata Gorin. “Tetapi di Rusia, secara mengejutkan, situasi lebih aman bagi orang Yahudi dibanding hampir di mana pun. Di kota-kota besar, kaum muda berasimilasi, bukan karena kesukaran. Mereka tidak merasa seperti orang Yahudi, sampai mereka diingatkan baik dalam hal positif (seperti perjalanan ke Israel) atau cara negatif.”
Pada tahun 1970-an, lebih dari 100 ribu orang Yahudi Soviet beremigrasi ke Israel. Setelah 1989, angka tersebut tumbuh menjadi lebih dari 1 juta. Pada saat yang sama, organisasi seperti Badan Yahudi untuk Israel (HaSochnut Ayeudit) atau Hillel International mulai mempromosikan budaya Yahudi di Rusia.
"Yudaisme datang ke dalam hidup kita bersama dengan HaSochnut dan Hillel, pada awal 1990-an," Russ mengenang. “Habad mulai mengirim rabbi. Saya belajar tentang Holocaust untuk pertama kalinya ketika saya berusia 13 tahun, di kamp HaSochnut.”
Gorin mengatakan bahwa pada 1990-an, sebagian besar orang Yahudi di bawah usia 40 tahun memutuskan untuk tinggal di Rusia - hanya kerabat mereka yang lebih tua yang pergi meninggalkan Rusia. “Kala itu ada kesempatan besar di sini, dan anak muda di masa mengerti itu dan memutuskan untuk tetap tinggal. Inti dari komunitas Yahudi kontemporer adalah orang-orang yang masih remaja ketika Uni Soviet runtuh. Mereka memanfaatkan peluang mereka sepenuhnya.”
Namun, Hillel dan HaSochnut Ayeudit tidak menyebarkan emigrasi sebagai tujuannya, kata Irina. “Kita harus mempertahankan kehidupan Yahudi kita di sini,” ia menekankan. "Bahkan jika seseorang tidak pergi ke sinagog setiap hari, ia memiliki ikatannya dengan masa lalu."
Anna mengatakan ia takut beremigrasi karena bahasa: “Saya pikir saya akan kehilangan segalanya dalam budaya asing. Saya bahkan tidak memikirkan program Naale. Dan sekarang, saya meyakinkan putri saya untuk mencobanya. Saya pikir Anda tidak bisa menjadi orang Yahudi dan tidak memperlakukan Yudaisme dengan hormat sepenuhnya.”