Hanya sedikit analis yang menduga kemenangan Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat kali ini.
IorshSeperti apa kebijakan luar negeri presiden terpilih Amerika Serikat ke-45 Donald Trump? Pertanyaan tersebut kini tengah menjadi fokus masyarakat dunia setelah Trump meraih kemenangan mengejutkan dalam pemilu AS pada Selasa (8/11) kemarin. Namun bagi Rusia, khususnya Presiden Vladimir Putin, pertanyaan mengenai bagaimana kebijakan AS terhadap Rusia di masa mendatang jauh lebih menarik.
Hanya sedikit analis yang menduga kemenangan Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat kali ini. Karena itulah, pada awalnya semua perhatian tertuju pada kebijakan luar negeri kandidat presiden dari Partai Demokrat sekaligus mantan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton.
Mengenai Trump, para pakar menilai ia tak memiliki pengalaman dalam mengambil kebijakan luar negeri, begitu pula para penasihatnya yang kebanyakan bukan berasal dari kalangan populer. Namun, tugas untuk menemukan penasihat yang kompeten bagi pemerintahan Trump dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Komunitas pakar AS memiliki banyak orang yang berbakat di bidang ini dan jumlah mereka yang akan menyeberang (atau sedang berjalan) mendekati kubu Trump dirasa lebih dari cukup.
Pada saat yang sama, presiden AS sudah sewajarnya mampu memengaruhi kebijakan luar negeri, dengan peran yang lebih besar dibanding lembaga internal lain. Karena itu, kebijakan luar negeri Trump diharapkan memberi pencerahan dalam berbagai pengertian, meski hal itu cukup meragukan mengingat rentetan pernyataan Trump yang mencengangkan sepanjang masa kampanye.
Meski demikian, Trump tidak mungkin, misalnya, langsung mulai membangun 'tembok' di perbatasan Meksiko pada esok hari untuk mencegah arus imigran ilegal. Konstruksi skala besar semacam itu membutuhkan dana yang besar pula, sedangkan kewenangan untuk mengalokasikan anggaran adalah hak eksklusif parlemen AS. Di saat yang sama, Trump akan memperketat kebijakan imigrasi dan tentu tak akan merealisasikan rencana Obama untuk memberikan amnesti kepada tujuh juta imigran gelap yang berada di Amerika Serikat.
Trump juga tak akan mengedepankan rencana rencana perdagangan dan integrasi global seperti Kemitraan Trans-Pasifik. Sebaliknya, ia akan mencoba untuk memperbaiki tren saat ini dengan secara bertahap mengembalikan lahan pekerjaan yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan AS. Ia tak akan melonggarkan kompetisi perdagangan dengan Tiongkok, tapi justru akan mencoba mencari kesempatan kompromi dan sejumlah konsesi.
Terkait hubungan Amerika dengan Rusia, jika Clinton terpilih sebagai presiden, masyarakat kemungkinan besar akan mengutuknya, atau setidaknya tercipta stagnasi. Kasus terburuk ialah degradasi lebih lanjut, atau bahkan eskalasi yang berbahaya.
Terpilihnya Trump menghindarkan terjadinya eskalasi tersebut. Sesuai karakter ekstrovert-eksentrik yang dimiliki Trump, tampaknya ia akan hadir sebagai antitesis dari karakter introvert dan tertutup Vladimir Putin.
Tak hanya di Amerika, di Moskow pun banyak yang menganggap Clinton 'tidak jujur' dan munafik. Selain itu, masyarakat menduga bahwa Clinton memprakarsai aksi protes "berbayar" terhadap Moskow beberapa tahun lalu.
Setelah melontarkan sejumlah pernyataan keras mengenai Rusia dan Putin secara pribadi sepanjang kampanye pemilu kemarin, bahkan menuduh Kremlin berupaya 'menggagalkan' pemilu serta mengupayakan 'boneka' Trump berkuasa di dalam Gedung Putih, tidak jelas bagaimana Putin dan Clinton mampu berkomunikasi dengan aman dan tanpa saling mengganggu.
Komunikasi Putin dengan Trump dinilai lebih baik dan diharapkan Rusia-Amerika kini dapat memulai lembaran baru.
Dalam situasi ini, Trump mengingatkan kita pada mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi. Di satu sisi, ia merupakan seorang pria impulsif dan tidak berpengalaman dalam diplomasi. Ia dapat melontarkan pernyataan yang menyinggung orang lain, termasuk kepada Presiden Rusia.
Hubungan Rusia-AS berhubungan cukup erat dengan hubungan pribadi antara para pemimpinnya, dan memburuknya situasi bisa terjadi dengan cepat seperti prinsip 'hanya butuh satu langkah untuk mengubah cinta menjadi benci'. Saat ini, Putin merupakan salah satu pemimpin dunia yang pertama kali menghubungi Trump untuk mengucapkan selamat atas kemenangannya.
Beberapa tahun silam, Putin pulalah yang pertama kali menelepon Presiden Bush pada tragedi 11 September 2001 untuk mengungkapkan solidaritas dalam memerangi terorisme dan rasa belasungkawa terhadap korban yang jatuh akibat serangan teroris. Namun kemudian, muncul 'Pidato Munich' yang menyatakan kekecewaan besar Rusia terhadap pada Barat, khususnya AS.
Kini dengan slogan Trump "Membuat Amerika Kembali Berjaya", masih belum jelas apa yang akan berubah. Jika sesuai perkiraan, Trump akan mengedepankan sisi neo-isolasionis dan mengurangi campur-tangan dari masalah di seluruh dunia, hal tersebut merupakan nilai positif bagi hubungan AS dengan Moskow.
Jika Trump tetap pada pendiriannya sebagaimana yang ia ungkapkan saat kampanye bahwa AS tidak perlu lagi ikut campur dalam urusan di Ukraina, dan bahkan nasib Krimea tak lagi menarik bagi Amerika, maka hal ini akan menjadi batu loncatan yang kuat untuk memulihkan kembali hubungan Rusia-AS. Penghentian tekanan AS terhadap Eropa agar tidak melunakkan sanksi anti-Rusia juga tidak kalah penting.
Sementara, sanksi AS untuk Rusia tidak bisa dengan mudah dikurangi atau dibatalkan sekalipun jika Trump menginginkannya. Banyak pihak yang akan menentang Trump, termasuk para afiliasi partai, mayoritas anggota Partai Republik, serta anggota Partai Demokrat di kedua majelis Kongres AS.
Sebagai gantinya, setelah menghentikan dukungan terhadap Kiev, AS dapat bertemu dengan Moskow untuk membicarakan mengenai Suriah — jika Suriah masih berada dalam rancangan kebijakan luar negeri Trump.
Di sisi lain, seruan Trump di masa kampanye mengenai pergeseran beban tanggung jawab militer dan keuangan dalam NATO pada sekutu Eropa sejalan dengan kepentingan Moskow. Namun, Trump diragukan akan meninggalkan penyebaran sistem pertahanan rudal global yang mengganggu Moskow — hal ini justru sejalan dengan retorika neo-isolasionis Trump.
Rencana sang presiden terpilih untuk mengaktifkan kembali produksi minyak di Alaska juga akan yang merugikan perekonomian Rusia karena menciptakan penurunan harga minyak global yang menjadi sumber utama dari pendapatan ekspor Rusia.
Dengan demikian, Trump, meski memiliki banyak 'ketidakpastian', diharapkan dapat memperbarui hubungan Rusia dan Amerika Serikat. Bagaimanapun, pemerintahan Trump di kancah internasional akan terlihat berbeda dari pemerintahan Obama, dan bahkan dibandingkan pendahulunya, George W. Bush.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Dia menganggap Putin sebagai pemimpin yang kuat
Trump mau bekerja sama dengan Rusia melawan ISIS
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda