Soratnik dapat dilengkapi dengan banyak jenis senjata mulai dari meriam 7,62 milimeter hingga senapan mesin 12,7 milimeter.
Press PhotoKalashnikov Concern, perusahaan pembuat senjata terbesar di Rusia, telah membuat robot seberat tujuh ton yang disebut ‘Soratnik’, dirancang untuk membantu militer negara memerangi teroris di dalam dan luar negeri. Ia menggunakan roda rantai dan lapis baja tebal supaya lebih mudah melintasi medan yang kasar dan menangkis serangan artileri dan granat.
Dengan ukuran kecil dan sistem tak berawak, Soratnik dapat dilengkapi dengan banyak jenis senjata mulai dari meriam 7,62 milimeter hingga senapan mesin 12,7 milimeter. Para perancangnya juga berencana untuk menghiasnya dengan senapan tempur jet 30 milimeter dan misil antipesawat.
Robot ini dapat bekerja sama dengan pesawat tak berawak (UAV) untuk terbang di atas medan perang, dikontrol oleh operator dari bungker atau tempat yang lebih aman.
Perangkat lunak Soratnik menggunakan artificial intelligence (kecerdasan buatan) dan ia mampu bekerja di tiga mode berbeda. Yang pertama adalah dengan operator, yang mampu mengendalikan mesin metal ini dari jarak hingga 10 kilometer.
Yang kedua adalah mode semiotomatis, namun informasi mengenai ini masih dirahasiakan. Analis militer Izvestia Alexei Ramm mengatakan kepada RBTH bahwa robot itu dapat mencari dan memangsa target secara mandiri, dan mengidentifikasi perbedaan kawan dan lawan. Robot ini juga dapat menyimpan informasi mengenai target. Berdasarkan data yang tersimpan, orang pengendali dapat memberitahu robot apakah harus menyerang atau tidak.
Yang ketiga: sepenuhnya otomatis. Soratnik dapat bekerja secara mandiri, seperti Terminator. “Ini hal paling menarik karena para pakar dan pejabat militer di seluruh dunia belum siap membuat mesin yang membuat keputusan yang sepenuhnya mandiri. Terlepas dari fakta bahwa memberikan robot kebebasan total di medan perang membutuhkan berbagai macam peraturan, masih belum jelas bagaimana membuat robot ini mampu membedakan yang mana target atau masyarakat sipil,” Ramm menambahkan. Ia percaya bahwa dibutuhkan bertahun-tahun sebelum artificial intelligence ini digunakan untuk perang.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda