Saat ini Indonesia memiliki 16 pesawat tempur Su-27SK/SKM dan Su-30 MK/MK2. Hingga 2024, akan ada delapan skuadron yang berisi 16 unit pesawat tipe “Su” per skuadronnya. Kemungkinan skuadron tersebut akan diisi oleh pesawat unggulan saat ini, yakni Su-35.
Sukhoi.orgPesawat siluman Amerika F-35 Lightning II mungkin hanya akan menjadi sasaran empuk pesawat Sukhoi Rusia, demikian disampaikan laporan yang diliris Agustus lalu oleh National Security Network (NSN) yang berbasis di AS.
Dalam laporan ‘Thunder without Lightning: The High Costs and Limited Benefits of the F-35 Program’ (Guntur Tanpa Petir: Biaya Mahal dan dan Keuntungan Terbatas Program F-35), analis kebijakan Bill French dan peneliti Daniel Edgren menyebutkan F-35 sepertinya akan dengan mudah ‘dikalahkan’ dan ‘ditaklukan’ oleh ‘teman sebayanya’ seperti jet tempur Rusia seri Su-27 Flanker.
Laporan tersebut mendukung pernyataan sejumlah pakar aviasi independen yang menyebutkan bahwa F-35 adalah pesawat yang benar-benar tak berguna, yang akan menjadi sasaran empuk pesawat musuh dalam pertempuran udara.
“Karakteristik kinerja F-35 sungguh buruk dibanding pesawat tempur generasi keempat dari negara lain seperti pesawat Rusia MiG-29 Fulcrum dan Su-27 Flanker misalnya,” terang laporan tersebut.
“Kedua pesawat itu merupakan musuh potensial F-35 dalam pertempuran udara. Dibanding Su-27 dan MiG-29, F-35 sangat inferior dalam beberapa hal, termasuk percepatan transonik. F-35 juga sangat lambat, hanya bisa mencapai kecepatan maksimum Mach 1,6 cukup jauh dibanding Su-27 (Mach 2,2) dan MiG-29 (Mach 2,3).
Simulasi pertempuran udara telah menunjukan hal tersebut. “Pada 2009, Angkatan Udara AS dan analis Lockheed Martin mengindikasikan bahwa kemampuan F-35 dalam mengalahkan musuh seperti MiG-29 yang sudah tua dan Su-27 ialah tiga banding satu.”
Hasil simulasi bahkan jauh lebih buruk. “Dalam satu simulasi yang dilakukan oleh RAND Corporation, F-35 memiliki rasio kekalahan 2,4 banding 1 berhadapan dengan pesawat AU Tiongkok SU-35s. Ini berarti, setiap Su-35 dapat mengalahkan lebih dari dua pesawat F-35.”
"Meski simulasi ini memperhitungkan sejumlah faktor lain, termasuk asumsi lokasi pertempuran, mereka tetap menggarisbawahi bahwa kemampuan udara-ke-udara F-35 perlu disikapi dengan skeptis."
Pertempuran Udara Jarak Jauh atau Dekat?
Laporan tersebut sesuai dengan filosofi pertempuran udara Rusia: pilot lebih suka melakukan pertempuran jarak dekat dibanding bergantung pada kemampuan jangkauan visual jarak jauh (beyond visual range/BVR) misil udara-ke-udara. “Untuk sukses dalam pertempuran udara, F-35 harus bisa mengalahkan musuh yang berada di jarak pandang (within-visual-range/WVR) seperti pertempuran udara jarak dekat,” kata laporan tersebut. Namun, F-35 tak terlalu andal melawan pesawat musuh dalam pertempuran jarak dekat, karena pertempuran tersebut membutuhkan kelincahan dan manuver.
Uji coba telah menunjukan buruknya kemampuan manuver pesawat tempur ini dibanding pesawat tempur generasi keempat milik Amerika yang akan ia gantikan, seprti F-16, F-15, dan F-18. “Data yang tersedia mengindikasikan kemampuan manuver F-35 jauh lebih rendah dibanding pesawat tempur asing. F-35 didesain untuk bertempur jarak jauh, sehingga kemampuan manuvernya seharusnya tak terlalu signifikan, namun sejarah menunjukan pertempuran udara selalu berlangsung di jarak dekat. Di luar preferensi perancang F-35 untuk pertempuran jarak jauh, menghindari pertempuran jarak dekat terbukti sulit.”
Militer India menyimpulkan hal tersebut setelah menjalankan latihan tempur udara dengan pilot AU Inggris di Waddington pada 2007.
Pilot Barat yang tak mengasah kemampuan tempur mereka akan mendapat kejutan tak menyenangkan saat berhadapan dengan pilot andal dari AU Rusia, India, atau Tiongkok.
Misil yang Hilang
Menurut French dan Edgren, rencana Amerika untuk menggunakan F-35 sebagai platform tempur jarak jauh – yang dilengkapi misil BVR – bukan rencana yang baik, karena misil udara-ke-udara AS tak punya catatan baik dalam berperang. “Di masa Perang Dingin, persentase keberhasilan rudal jejalah memusnahkan musuh pada pertempuran jarak jauh ialah 6,6%. Persentase tertinggi diraih oleh Israel pada 1982 dalam Perang Lebanon, kesuksesan mereka mencapai 20%. Di era pasca-Perang Dingin, efektivitas misil BVR mengalami peningkatan. Sepanjang 2008, efektivitas rudal jelajah AS meningkat menjadi 46%, dengan menggunakan AIM-120AMRAAM (markas misil BVR AS). Namun, angka ini didapat dari sampel yang kecil, yakni hanya enam pertempuran”.
Laporan tersebut mengingatkan, AS tak bisa berharap angka tersebut akan meningkat saat menghadapi konflik melawan ‘kompetitor sebaya’ yang diperkirakan termasuk Rusia, Tiongkok, dan India, serta negara-negara yang memiliki pesawat tempur canggih Rusia. “Menurut analisis RAND, jejak rekam AIM-120 AS menunjukan mereka tak pernah berhasil menaklukan musuh yang memiliki rudal BVR yang sama; pilot yang jatuh tidak bisa melakukan perlawanan, dalam beberapa kasus mereka harus melarikan diri, tanpa manuver, atau dalam kondisi tak punya radar."
Kondisi tersebut menunjukan AS tak bisa berharap mereka bisa lebih mudah menang melawan musuh yang tangguh dalam pertempuran jarak jauh. "Serangan elektronik jelas merupakan ancaman, menurunkan potensi pesawat AS menghancurkan musuh seperti pesawat tempur Rusia dan Tiongkok, yang saat ini memiliki teknik serangan elektronik balasan menggunakan gangguan memori frekuensi radio digital (digital radio frequency memory/DRFM). Serangan tersebut yang dikabarkan benar-benar menghambat efektivitas rudal jelajah.
“Kami, AS, belum memiliki metode yang cukup untuk melawan serangan elektronik selama bertahun-tahun,” demikian disampaikan pejabat senior di AU AS yang berpengalaman mengendalikan F-22 (pesawat tempur siluman AS yang paling mahal), pada The Daily Beast. “Jadi, meski kita memiliki kemampuan siluman, kita masih kesulitan mencari cara untuk melakukan serangan elektronik terhadap target seperti Rusia dan misil kami kesulitan mengalahkan mereka.”
Gangguan DRFM yang dimiliki pesawat Rusia dan Tiongkok dilaporkan ‘efektif mengingat sinyal radar yang masuk dan mengulangnya ke pengirim, menghambat kinerja radar secara serius. Lebih buruk lagi, gangguan tersebut bisa membutakan radar kecil yang dimiliki misil udara-ke-udara seperti Raytheon AIM-120 AMRAAM, yang merupakan senjata jarak jauh utama untuk semua pesawat tempur AS dan sebagian besar sekutu.’
Akhir Permainan
Laporan itu menyimpulkan, “Meski rencana F-35 menggantikan sebagian besar pesawat tempur dan serang Amerika, platform ini terlalu mahal untuk melawan militer asing yang setara dengannya. Pesawat ini memiliki kekurangan dalam kemampuan manuver, besar muatan, kemampuan melakukan serangan mendadak, serta jangkauan untuk berkompetisi secara efektif dengan kompetitornya, padahal biaya operasional yang harus dikeluarkan sepanjang hidupnya mencapai 1,4 triliun dolar AS.
“Kemampuan bertahan pesawat sangat bergantung pada karakteristik siluman, namun hal itu berisiko karena dalam 50 tahun mendatang musuh akan meningkatkan sistem radar dan deteksi infra merah mereka, dan F-35 akan menjadi pesawat usang. Melihat faktor-faktor kegagalan yang sangat mendasar pada program F-35, dan mengingat harganya sangat mahal, pesawat ini merupakan sebuah investasi yang buruk. Realisasi program pembelian sekitar 2.500 unit pesawat – atau skala besar yang mendekati jumlah tersebut – harus dihindari.”
Penemuan lembaga tersebut meramalkan implikasi serius bagi pertahanan Amerika. “Dengan tetap mempertahankan program F35, Amerika menginvestasikan sumber dayanya untuk pesawat yang salah, di saat yang salah, untuk alasan yang salah,” terang laporan tersebut.
Jika AS tetap melanjutkan produksi skala penuh, yang dijadwalkan pada 2019, F-35 akan menjadi penemuan besar paling tak berguna dalam sejarah militer, membuat AS dan sekutu harus menghadapi berbagai risiko dan posisi berbahaya.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda