Pabrik Nizhnekamsk, salah satu pabrik petrokimia terbesar di Eropa, merupakan pabrik yang memproduksi bahan-bahan plastik dan karet sintetis. Foto: Slava Stepanov/GELIO
Konferensi United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC) ke-20 yang diselenggarakan di Lima, Peru, dibuka pada Senin (1/12) lalu. Misi utama konferensi tersebut adalah merumuskan perjanjian internasional yang bertujuan memerangi pemanasan global. Apa saja yang ditawarkan oleh Moskow terkait isu tersebut? Hal itu terjawab dalam wawancara salah satu wartawan RBTH, Andrey Ilyashenko, bersama Aleksander Bedritskiy, Penasihat dan Perwakilan Khusus Presiden Vladimir Putin di bidang perubahan iklim berikut ini.
RBTH: Bagaimana Rusia melihat dokumen perjanjian yang akan menggantikan Protokol Kyoto tersebut?
Aleksander Bedritskiy (A.B.): Pertama, Rusia berpendapat bahwa perjanjian baru itu harus bersifat mengikat bagi seluruh negara anggota konvensi dan elemen utama perjanjian itu adalah pengambilan tindakan yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Kedua, tindakan-tindakan tersebut juga ditujukan sebagai proses adaptasi negara-negara di dunia terhadap perubahan iklim.
Kami menilai bahwa konvensi baru harus mengikat secara hukum dan kewajiban yang ditanggung oleh masing-masing negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian baru ini. Kewajiban itu bisa saja berbeda-beda, sesuai tingkat kemajuan suatu negara. Bagi negara-negara maju, kewajiban itu terwujud dalam bentuk jumlah pasti pengurangan emisi gas rumah kaca, sedangkan untuk negara-negara berkembang hal itu berupa pengambilan tindakan yang tidak dibatasi dengan angka namun ditujukan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi mereka menggunakan teknologi yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kami yakin bahwa perjanjian yang tidak mengikat secara hukum tidak akan memberikan efek apapun.
RBTH: Apakah mungkin ada kompromi terkait hasil konvensi tersebut?
A.B.: Instrumen hukum internasional yang ideal adalah berupa protokol baru dari konvensi PBB di bidang iklim dengan kewajiban internasional yang tetap. Namun, kemungkinan protokol baru itu hanya akan berupa penetapan prinsip dengan kewajiban yang tidak mengikat. Bagi Rusia, protokol seperti itu tidak akan mengubah apapun.
Rusia telah mengeluarkan pernyataan politik mengenai penurunan emisi gas hingga 2030. Tahun lalu, Rusia mengeluarkan kebijakan berupa keputusan presiden, yang bertujuan menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca hingga kisaran 75 persen dari angka pencemaran pada 1990 pada 2020 nanti. Angka tersebut sudah didasari oleh skenario pertumbuhan ekonomi.
RBTH: Jika prediksi Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) PBB mengenai peningkatan ketinggian samudera dunia benar-benar terjadi, maka dalam beberapa dekade ke depan pulau-pulau dan beberapa wilayah di seluruh dunia akan tenggelam. Apakah Rusia siap membantu negara-negara yang terancam terkena bencana itu, contohnya dengan memberikan wilayah Rusia untuk mereka?
A.B.: Sesuai dengan pragnosa dari IPCC PBB, ketinggian air samudera dunia dapat meningkat hingga 60 cm menjelang akhir abad ke-21. Tanpa diragukan lagi, itu akan mengancam negara-negara kepulauan kecil dan negara yang memiliki garis pantai panjang. Sebagian wilayah kami juga akan tertutup oleh air.
Namun di lain sisi, migrasi tidak hanya tergantung dari perubahan iklim. Sebagai contoh,migrasi dari Afrika ke Eropa tidak berhubungan dengan iklim, namun berhubungan dengan faktor lain seperti kemiskinan, kekurangan makanan, serta tidak adanya akses mendapatkan air dan energi. Itu adalah sejumlah alasan penyebab migrasi.
RBTH: Masih ada satu butir pragnosa penting lain, yakni penurunan hasil panen di negara-negara yang terletak di selatan dunia akibat kekeringan berkepanjangan dan degradasi kualitas tanah. Rusia berpotensi memasok produk-produk pertanian terutama bagi negara-negara yang terkena bencana. Apakah Anda siap dengan skenario tersebut?
A.B.: Masalahnya, para pakar tidak menerangkan apa dampak positif dan negatif yang jelas terhadap pertanian dari kenaikan temperatur tersebut. Bagi Rusia, para pakar memperkirakan dengan kondisi seperti yang disebutkan sebelumnya kemungkinan akan terjadi peningkatan produktivitas dan perubahan struktur pertanian, dikarenakan batas utara (iklim dingin) akan lebih menyempit ke atas.
Namun jika kita tidak menjaga kesuburan tanah produksi saat ini dari sekarang, maka produktivitas panen pun akan menurun akibat peningkatan temperatur dan perubahan kelembaban. Selain itu, wilayah selatan kami juga dapat terancam mengalami desertifikasi akibat kenaikan temperatur, dan itu sudah terlihat saat ini. Kami harus siap menghadapi hal tersebut.
RBTH: Para ilmuwan Rusia membuat kesimpulan awal bahwa kemunculan lubang besar di Yamal yang mengehebohkan itu disebabkan oleh degradasi permafrost yang bisa jadi merupakan akibat dari kenaikan temperatur. Mayoritas populasi manusia benua Arktik terdapat di Kutub Utara Rusia. Perusahaan-perusahaan besar beroperasi di sana dan terdapat pula kota-kota besar. Jika memang demikian, apakah dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi gelombang bencana tektonik dan ekologi di wilayah utara Rusia?
A.B.: Kenaikan temperatur permafrost adalah masalah yang sangat serius, karena di zona tersebut terdapat 60 persen wilayah Rusia. Perubahan temperatur tanah menyebabkan perubahan kemampuan tanah saat ini. Hal ini mengancam ketahanan bangunan seperti jembatan, jalan, rumah-rumah, dan sebagainya. Kami akan mengawasi kondisi permafrost dan mengoreksi peraturan konstruksi pembangunan dengan memperkokoh dan meningkatkan perhitungan masa kerja bangunan.
Tertarik pada isu alam dan lingkungan? Baca lebih lanjut. >>>
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda