‘Fartsa’: Bisnis Ilegal Anak Muda Terpelajar Semasa Soviet, Cari Cuan dari Barang-Barang Impor

Alexander Makarov/Sputnik
“Fartsovka”, upaya memperoleh dan menjual kembali barang-barang buatan luar negeri, lebih dari sekadar aktivitas ilegal di Uni Soviet — itu adalah gaya hidup.

Moskow, Uni Soviet, tahun 1960-an. Seorang pria muda nan necis berkeliaran di mal GUM atau di luar sebuah hotel mewah. Matanya jelalatan mencari turis asing. “Selamat datang di Moskow! Bolehkah saya membantu Anda? Bisakah saya menunjukkan Anda berkeliling? Apakah Anda ingin melihat pesta rumah Soviet yang sebenarnya?”

Begitulah cara seorang fartsovschik memperkenalkan dirinya kepada tamu asing: ramah, tersenyum, berbicara sedikit bahasa Inggris, dan siap menunjukkan sisi ibu kota yang tidak terjamah oleh kelompok turis resmi. Tujuan mereka satu: mendapatkan barang-barang buatan luar negeri, seperti permen karet, celana jin, mata uang asing, dan kantong plastik bermerek.

Sebagian besar pakaian buatan Soviet tidak menarik dan standar, sementara barang-barang yang bergaya sangat langka. Bagaimanapun, ada dua cara untuk menemukan sesuatu yang keren: membeli saat berada di luar negeri (sangat tidak mungkin karena Anda harus mendapatkan visa keluar) atau membeli pakaian impor dari fartsovschik.

“Tidak ada yang bisa dipilih di toko-toko Soviet,” kenang Ekaterina Danilova, yang masih remaja pada awal 1980-an. “Ketika orang-orang melihat antrean di depan toko, mereka berhenti dan menunggu, sama sekali tidak tahu apa yang akhirnya akan mereka beli: Terkadang topi, terkadang riasan wajah ….”

Sebaliknya, kaum fartsovschik adalah orang-orang ambisius yang mencari nafkah dengan berdagang dengan orang asing yang membawa barang-barang yang didambakan ke negara itu, seperti celana jin Levi’s. Kemudian, mereka menjualnya kembali di dalam negeri dengan margin keuntungan yang besar.

Fartsovka adalah bisnis berisiko yang dilakukan oleh para pemuda yang berani dan banyak akal, tetapi juga progresif dan berpendidikan. Tidak seperti bisnis gaya Barat yang diatur oleh tangan pasar yang tak kasatmata, fartsa adalah gaya hidup dengan kode etiknya sendiri. Seorang fartsovschik tidak pernah menjual barang palsu atau terlalu mahal kepada sesama fartsovschik atau pelanggan tetap. Meski begitu, mereka dapat menipu harga kepada para pembeli amatir atau menipu mereka begitu saja.

“Teman-teman saya dan saya pernah menjual satu set celan jin anak-anak di dekat Stasiun Kievskaya, menawarkannya seolah-olah ia terbuat dari karet (untuk menambah daya tahan),” kenang Vasiliy Utkin, mantan fartsovschik.

Semuanya dimulai pada akhir 1950-an ketika subkultur stilyagi, kaum hipster Soviet yang terpikat dengan gaya hidup Amerika, muncul di kota-kota besar. Mereka menyukai kain dan merek buatan luar negeri yang berwarna-warni. Merekalah penjual dan pelanggan generasi pertama gerakan fartsa yang kemudian menyebar ke seluruh negeri.

Kadang-kadang, bisnis itu sangat menguntungkan dan berbahaya. Yan Rokotov, seorang fartsovschik yang terkenal, dieksekusi oleh regu tembak pada 1961 gara-gara skema yang menyerupai fartsovka yang kelihatannya sepele, tetapi melibatkan transaksi besar-besaran dalam mata uang asing. Ketika polisi Soviet menggeledah apartemennya, mereka menemukan jumlah yang mencengangkan sebesar $1,5 juta (sekarang bernilai $12,5 juta) dalam bentuk uang kartal dan emas. Meskipun para fartsovschik biasanya jarang diseret ke meja hijau, mereka masih menghadapi tekanan berat oleh polisi karena seluruh bisnis ini ilegal.

Meskipun kebanyakan fartsovschik tidak seberani Rokotov, mereka tak jarang mendapat untung besar. Celana-celana jin bermerek bisa dijual seharga 150 rubel. Angka tersebut setara dengan gaji bulanan rata-rata pada tahun 1980-an. Anak-anak Soviet pun terkadang terinspirasi oleh “kecerdikan” para fartsovschik.

“Pada 1982, saya masih duduk di bangku sekolah dasar, dan suatu hari seorang guru memberi tahu kami: ‘Ada orang yang menjual Tanah Air kita — mereka menawarkan lambang negara Soviet kepada orang asing.’ Dan dia memberi tahu kami harga yang mereka minta. Setelah sekolah usai, saya bergegas ke toko terdekat dan menghabiskan semua uang saku saya untuk membeli pin Soviet, dan menghasilkan 50 rubel dengan menjualnya kepada turis-turis asing; gaji bulanan rata-rata waktu itu adalah 120 rubel,” kenang Evgeniy Semyonov, yang kemudian menjual kembali celana jin, majalah, permen karet produksi luar negeri, dan barang-barang lainnya.

Selain celana jin, sepatu bot, dan barang-barang modis lainnya, fartsovschik juga menjual piringan hitam, alkohol impor, sistem audio, rokok (terutama Marlboro), bahkan kantong plastik bermerek yang berwarna-warni. Di negara yang pemerintahnya membatasi akses terhadap barang-barang itu, orang-orang tak pernah betul-betul puas dan ingin terus mendapatkan segala sesuatu yang berbau asing.

Pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, isolasi Soviet berakhir dan orang-orang mulai lebih banyak bepergian. Barang dan pakaian asing perlahan memasuki pasar Soviet. Alhasil, fartsa tak lagi dibutuhkan.

“Pada awal 1990-an saya berhasil membeli beberapa raket pingpong Vietnam yang sangat langka. Namun, yang mengejutkan, saya menemukan bahwa toko-toko (di dalam negeri) sudah penuh dengan barang-barang itu,” kata Gennady Zhitnikov, mantan fartsovschik.

Di Rusia yang baru, fartsa akhirnya berubah menjadi bisnis legal pertama. Yang tersisa hanyalah kenangan dan sumber inspirasi bagi para sineas Rusia.

Pada abad ke-18 hingga abad ke-19, pekerja anak menjadi ciri khas masyarakat industri Rusia. Bacalah selengkapnya!

Pembaca yang budiman,

Situs web dan akun media sosial kami terancam dibatasi atau diblokir lantaran perkembangan situasi saat ini. Karena itu, untuk mengikuti konten terbaru kami, lakukanlah langkah-langkah berikut:

  • ikutilah saluran Telegram kami;
  • berlanggananlah pada newsletter mingguan kami; dan
  • aktifkan push notifications pada situs web kami.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Baca selanjutnya

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki