Tsar Ivan yang Mengerikan tidak bahagia dengan pernikahannya. Tiga istri pertamanya meninggal (yang ketiga bahkan meninggal 15 hari setelah pernikahan). Namun, menikah untuk keempat kalinya bertolakn belakang dengan aturan Gereja Ortodoks Rusia. Karena itu, sang tsar harus mengumpulkan seluruh Dewan Gereja demi mendapatkan restu untuk pernikahannya yang keempat dengan Anna Koltovskaya. Pada akhirnya, Dewan Gereja menekankan bahwa mereka hanya memberikan restu pernikahan keempat kepada Tsar. “Semoga (tak seorang pun) berani melakukan hal seperti menikah untuk keempat kalinya”, jika tidak “mereka akan dikutuk sesuai hukum agama”.
Meski begitu, pernikahan keempat Ivan yang Mengerikan pun kandas — alasannya tak diketahui secara pasti, tetapi itu bukan karena istrinya tidak subur, melainkan karena sikap sang tsar berubah setelah 4,5 bulan. Namun, bagaimana menceraikan istri dan membatalkan pernikahan yang ditahbiskan gereja? Pada zaman itu, ini sama sekali bukan perkara mudah, bahkan bagi seorang tsar sekali pun.
“Busana Pengantin” oleh Konstantin Makovsky, 1890
Museum Seni dan Sejarah SerpukhovGereja Ortodoks Rusia enggan memberikan persetujuan cerai kepada pasangan yang dinikahkan oleh Gereja kecuali ada alasan yang sangat kuat yang mendorong perceraian. Aturan perceraian ditentukan oleh hukum agama, seperti Statuta Gereja Yaroslav yang Bijak (abad XI—XII), misalnya. Statuta tersebut dengan jelas menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan tidak dapat menikah lagi kecuali pernikahan yang pertama telah berakhir. Tidak ada pengecualian, bahkan jika salah satu di antara mereka mengidap penyakit yang tak dapat disembuhkan, mereka tak boleh menceraikan pasangannya.
Berdasarkan Statuta, Gereja menetapkan bahwa semua pernikahan, bahkan yang tidak secara resmi ditahbiskan di gereja, harus mengikat selamanya. Meski begitu, Statuta memang menetapkan alasan perceraian “karena kesalahan istri”, seperti percobaan pembunuhan atau perampokan terhadap suami, menghadiri “pesta pora”, atau mengunjungi rumah orang lain tanpa ditemani suami, dan, tentu saja, perzinaan.
Menurut sejarawan Natalia Pushkareva, pada abad ke-17, “seorang suami dianggap pezina jika ia memiliki kekasih dan anak dari hubungan terlarang tersebut”, sedangkan seorang istri disebut pezina jika ia bermalam jauh dari rumah. Apabila seorang suami mengetahui istrinya telah berbuat “zina”, ia harus menceraikannya.
“Boyaryshnya” oleh Firs Zhuravlev, 1897
Museum Seni Rupa TatarstanDahulu, masyarakat memandang rendah perempuan yang bercerai. Mereka tidak bisa menikah untuk kedua kalinya di gereja untuk kedua kalinya demi memulai hidup baru dengan seseorang. Pada abad ke-17, ada pepatah populer yang berbunyi “Kamu boleh menikah, tetapi tidak bisa bercerai”. Pepatah tersebut betul-betul menggambarkan keadaan pada masa itu. Teks-teks Gereja memang menyebutkan kemungkinan perceraian karena kesalahan suami, seperti impotensi (“jika suami tidak menggauli istrinya, mereka harus bercerai” — abad ke-12) atau ketidakmampuan suami dalam menafkahi keluarga (karena mabuk, misalnya). Namun, tidak ada satu pun dokumen perceraian dari zaman sebelum kepempimpinan Pyotr yang Agung yang diajukan oleh seorang perempuan atas dasar perselingkuhan suaminya atau kesalahan suaminya, yang ditemukan.
Di kalangan rakyat biasa — petani atau penduduk kota yang miskin — masalah ini dapat diselesaikan dengan cara salah satu pasangan menjauh dari pasangan lainnya. Hukum menetapkan bahwa istri yang kabur harus ditemukan dan dikembalikan kepada suaminya, tetapi tidak ada aturan serupa terhadap suami yang pergi meninggalkan istrinya begitu sja. Dengan kata lain, ada jalan keluar atas situasi tersebut. Namun bagi kaum bangsawan, terutama pangeran dan tsar yang kehidupannya dianggap saleh, perceraian lebih sulit dilakukan. Dari abad XII—XIV, praktik memaksa istri yang tidak diinginkan untuk memakai kerudung (diasingkan menjadi biarawati -red.), yang sering kali dilakukan secara paksa, lazim terjadi.
“Solomonia Saburova. Kehinaan” oleh Polina Mineeva
Koleksi pribadiTsar Ivan yang Mengerikan sebetulnya lahir setelah ayahnya, Pangeran Agung Moskow Vasili III Ivanovich (1479—1533) bercerai. Istri pertamanya, Solomonia Saburova (1490—1542), tak dapat memberikan keturunan selama 20 tahun pernikahan mereka. Ketiadaan anak dalam keluarga mengancam kelangsungan Dinasti Rurik. Vasili bahkan mengajukan banding kepada Patriark Konstantinopel untuk izin cerai atas dasar ketidaksuburan istrinya, tetapi sang patriark tidak menganggap ini sebagai alasan kuat untuk perceraian.
Vasili akhirnya memutuskan untuk menceraikan Solomonia, memaksanya untuk menjadi biarawati karena tidak ada dalih lain yang bisa dijadikan alasan perceraian. Tindakan Vasili tentu menuai kecaman keras dari pimpinan Gereja Rusia. Namun demikian, pada 1525, Solomonia diterima sebagai seorang biarawati di Biara Kelahiran Bunda Allah di Moskow. Pada awal 1526, Vasili III menikahi seorang putri muda Lituania, Elena Glinskaya, dan tiga tahun kemudian melahirkan seorang putra dan pewaris takhta, Ivan Vasilyevich.
Pengambilan sumpah biara sebagai cara untuk bercerai mungkin terinspirasi dari kaisar-kaisar Byzantium. Misalnya, Maria dari Amnia (770—821), istri pertama Konstantinus VI (771—797/805), dipaksa mengambil sumpah biara dan dikirim ke pengasingan setelah patriark menolak permintaan cerai Konstantinus. Konstantinus kemudian menikah untuk kedua kalinya.
Ivan yang Mengerikan melakukan cara serupa untuk menceraikan Anna Koltovskaya. Anna terpaksa mengambil sumpah biara dan menggunakan nama Daria, dan kemudian dipindahkan ke Biara Pokrovsky di Suzdal. Istri Ivan berikutnya, Anna Vasilchikova (meninggal tahun 1577), "dijebloskan" ke biara yang sama.
Pelukis anonim. Potret Tsarina Yevdokiya Lopukhina abad ke-18 (1669—1731)
Museum Nasional HermitageTsar terakhir yang menggunakan taktik pengasingan ke biara sebagai instrumen perceraian adalah Pyotr yang Agung. Istri pertama Pyotr, Yevdokiya Lopukhina, dipilihkan oleh ibunya, Natalya Naryshkina, tanpa melibatkan sang putra. Menurut ibunya, Pyotr harus segera menikah karena telah muncul kabar bahwa Praskovia Fyodorovna (1664—1723), istri kakak tiri dan sekaligus rekan penguasanya (pada masa itu Rusia dipimpin oleh dua tsar muda -red.), Ivan Alekseyevich (1666—1696), sedang mengandung. Natalya Kirillovna takut hak penerusan takhta akan beralih ke garis keturunan Ivan dan dalam waktu singkat mengatur pernikahan Pyotr dengan Yevdokiya Lopukhina, keturunan dari keluarga militer terpandang. Selain itu, menurut tradisi Rusia, seorang kaisar baru dianggap cukup umur dan dapat bertindak sebagai penguasa penuh apabila sudah menikah. Pyotr dan Yevdokiya menikah pada 27 Januari 1689. Dua bulan kemudian, Praskovia, istri Ivan, melahirkan seorang anak, tetapi bukan ahli waris. Anak itu adalah seorang putri, Tsarevna Maria (1689—1692).
Beginilah Pangeran Boris Kurakin, kakak ipar Pyotr (menikah dengan adik Yevdokiya, Ksenia Lopukhina), menggambarkan pernikahan Pyotr dan Yevdokiya: “Cinta di antara mereka, TsarPyotr dan pasangannya, pada awalnya cukup baik, tetapi mungkin hanya bertahan setahun. Setelah itu, padam; apalagi, Tsaritsa Natalya Kirillovna makin membenci menantunya dan lebih suka melihat perselisihan daripada cinta antara dia dan anaknya.” Meski pada 1690 mereka dianugerahi seorang anak laki-laki, Tsarevich Aleksei Petrovich (1690—1718), Pyotr meninggalkan istrinya pada 1692 dan mulai tinggal dengan “kekasihnya”, Anna Mons. Setelah kematian sang ibu pada 1694, Pyotr berhenti menghubungi Yevdokiya.
Biara Pokrovsky, Suzdal, Rusia
Walking catastrophe (CC BY-SA 3.0)Ketika Pyotr berada di London pada 1697, ia menulis surat kepada pamannya, Lev Naryshkin, dan boyar ‘bangsawan’ Tikhon Streshnev. Pyotr meminta keduanya membujuk Yevdokiya untuk masuk biara, tetapi dia menolak. Saat kembali ke Moskow pada 1698, Pyotr membutuhkan waktu seminggu penuh sebelum dia berkenan menemui istrinya, yang sekali lagi menolak mengikrarkan sumpah biara. Namun, dalam tiga minggu, dia dikawal ke Biara Pokrovsky dengan penjagaan. Tsar sendiri tampaknya malu dengan apa yang telah dia lakukan, dan dia menikah lagi pada 1712. Istri barunya adalah Martha Skavronskaya (Ekaterina I).
“Sebelum Dimahkotai” oleh Firs Zhuravlev, 1874
Museum RusiaPada masa Pyotr yang Agung, Gereja berada di bawah otoritas sekuler dan, setelah Patriarkat dibubarkan, mulai dikelola oleh Sinode Mahakudus. Sejak era kepemimpinan Pyotr yang Agung dan seterusnya, undang-undang Rusia mendefinisikan alasan perceraian yang “pantas” dengan lebih jelas: perzinaan yang terbukti oleh salah satu pasangan, penyakit pranikah yang membuat hubungan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan (penyakit kelamin yang serius atau impotensi), perampasan hak milik dan pengusiran oleh salah satu pasangan, dan kepergian salah satu pasangan tanpa kejelasan dalam tempo lebih dari lima tahun.
Untuk “meresmikan” perceraian atas dasar ini, pemohon harus mengajukan permohonan ke konsistori (dewan gereja) dioses (keuskupan) tempat mereka tinggal. Keputusan akhir tentang apakah perkawinan bisa dibubarkan — bahkan perkawinan antarpetani sekali pun — kini ditentukan oleh Sinode Mahakudus.
Namun, dilihat dari statistik, jelas bahwa kasus perceraian di Kekaisaran Rusia sangat sedikit dan jarang terjadi. Pada 1880, ada 920 perceraian yang didaftarkan di negara berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa tersebut. Sensus tahun 1897 mengungkapkan hanya satu kasus perceraian tiap 1.000 laki-laki, dan dua perceraian tiap 1.000 perempuan. Pada 1913, sebanyak 3.791 perceraian (0,0038 persen) terdaftar di seluruh Kekaisaran Rusia, sementara jumlah penganut Ortodoks Rusia pada masa itu mencapai 98,5 juta jiwa.
Selain itu, yang tak kalah menarik, anak-anak yang lahir di luar pernikahan yang sah tetap didaftarkan dalam catatan sipil. Misalnya, 22,3 persen anak-anak di Sankt Peterburg pada 1867 adalah hasil hubungan di luar pernikahan, sedangkan pada 1889 angka ini naik hingga 27,6 persen. Namun, anak-anak ini dapat menjadi bukti langsung perselingkuhan dan menjadi dasar perceraian sekalipun angkanya tidak meningkat seiring berjalannya waktu. Pada masa itu, percerain tetap tidak mudah, bahkan untuk anggota elite sosial sekali pun.
Pada 1859, Putri Sofia Naryshkina memutuskan untuk menceraikan suaminya karena alasan yang serius. Sang suami telah memberitahunya bahwa dalam perjalanannya ke luar negeri dia mengidap penyakit kelamin yang membuatnya impoten. Penyelidikan Sinode Mahakudus terkait masalah ini memakan waktu 20 tahun dan pada akhirnya Naryshkina gagal bercerai.
Pangeran Grigory Aleksandrovich diperiksa oleh dokter dan dia diketahui menderita sifilis yang, jika dilihat dari lokasi luka, tertular “melalui hubungan dengan seorang perempuan”. Namun, menurut pandangan para dokter, penyakit tersebut dapat disembuhkan dan fungsi seksualnya akan pulih. Yang mengherankan, Sinode kemudian memutuskan bahwa perzinaan tidak dapat dibuktikan hanya atas perkataan sang pangeran sendiri dan, mengingat faktor tambahan bahwa sudah ada anak dari pernikahan tersebut, perceraian tidak dikabulkan. Ternyata, penyakit menular semacam ini pun masih dianggap sebagai alasan yang “tidak pantas” untuk membubarkan perkawinan. Seorang suami “diharuskan untuk menjaga istrinya meskipun sang istri kerasukan dan dikurung”.
Alhasil, kaum bangsawan Rusia harus berurusan dengan bisnis perceraian. Solusi yang paling umum adalah salah satu pasangan dalam pernikahan tersebut pergi begitu saja. Masalahnya, tanpa pembubaran perkawinan, sang suami tetap bertanggung jawab secara materi terhadap istrinya, memelihara, dan bahkan berbagi harta benda.
Begitu kaum Bolshevik mengambil alih kekuasaan, masalah perceraian langsung diselesaikan secara radikal. Di bawah keputusan “Pembubaran Pernikahan”, perceraian kini diresmikan bukan oleh otoritas gereja, melainkan oleh otoritas sekuler, dan, terlebih lagi, itu dapat dilakukan atas permintaan salah satu pasangan saja. Prosedur untuk membuat kontrak dan membatalkan pernikahan kini lebih efektif dan hanya menghabiskan waktu beberapa menit saja.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda