Banyak orang Afganistan yang pro-Soviet kabur dari kelompok mujahidin dan pindah ke Uni Soviet.
Yevgeny Nederya/TASSMoskow adalah tujuan populer mahasiswa Indonesia pada akhir 1950-an dan awal 1960-an ketika Presiden Soekarno hendak menguber sosialisme dan mendekat dengan Uni Soviet. Pada pertengahan 1965, ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan di Indonesia, ia mulai menyapu bersih komunisme. Sementara, ada ribuan mahasiswa Indonesia yang terdaftar di berbagai universitas Uni Soviet.
“Terancam dihukum atau dieksekusi jika mereka pulang ke tanah air, golongan kiri Indonesia dan para pembelot tersebar di sejumlah negara yang terbentang di wilayah Sino-Soviet dan menjadi orang buangan yang tak diinginkan,” terang David Hill, seorang profesor emeritus Studi Asia Tenggara sekaligus seorang fellow di Pusat Penelitian Asia di Universitas Murdoch Australia dalam sebuah riset berjudul Indonesian Political Exiles in the USSR (Orang-Orang Indonesia Buangan Politik di Uni Soviet).
“Banyak dari mereka yang menghabiskan separuh abad sebagai orang buangan, berjuang untuk bertahan hidup di tengah perubahan Perang Dingin dan kemudian transformasi global yang berakhir dengan bubarnya Uni Soviet pada Desember 1991,” tulis Hill.
Tak banyak informasi mengenai jumlah pasti warga Indonesia yang memilih untuk tetap tinggal di Uni Soviet, tapi komunitas yang menentang rezim Soeharto di Indonesia tetap aktif hingga 1970-an, dan mereka mendapat dukungan dari pemerintah Soviet.
“Saya perkirakan jumlahnya sekitar dua ribu orang,” kata Alexey Dudnik, seorang sejarawan dari Moskow, yang kini tinggal di Bali, pada Russia Beyond. “Banyak yang menikahi warga Soviet dan kemudian mendapat kewarganegaraan. Mereka yang ingin pulang setelah kejatuhan rezim Soeharto sangat aktif secara politik.”
Orang-orang Indonesia buangan di Moskow bahkan menerbitkan jurnal berbahasa Rusia dan Indonesia pada 1970-an berjudul OPI, singkatan dari Organisasi Pemuda Indonesia. Jurnal tersebut fokus pada politik Indonesia dan peran generasi muda.
“Diaspora Indonesia berbaur di antara beragam etnis dan kewarganegaraan di Uni Soviet,” kata Dudnik. “Kebanyakan dari merena mendapat izin tinggal jangka panjang karena mereka tak dilihat sebagai ancaman oleh pemerintah.”
Setelah jatuhnya Uni Soviet, keturunan pasangan-pasangan Rusia-Indonesia menetap di Rusia. Sementara, generasi tua kembali ke Indonesia.
“Kami dihampiri banyak orang yang ingin mendapat paspor pada awal 1990-an karena banyak orang-orang Indonesia buangan di Moskow tak punya status kewarganegaraan yang jelas saat Uni Soviet runtuh,” terang Agosh Suharpanto, mantan diplomat Indonesia yang tinggal di Jakarta pada Russia Beyond. “Termasuk mereka yang berusia 60-an.”
Selain orang Indonesia, ada pula orang-orang Afganistan yang kabur ke Uni Soviet untuk menghindari pasukan antikomunis. Mereka adalah orang-orang yang loyal terhadap orang Rusia.
Tak seperti orang Indonesia, orang-orang Afganistan pindah ke Moskow saat Uni Soviet telah memasuki masa senja, yaitu setelah Uni Soviet menarik diri dari negara mereka dan rezim Najibullah runtuh.
“Kebangkitan kekuasaan di barisan kelompok mujahidin di Kabul juga membuat kehidupan di Afganistan berbahaya, khususnya bagi individu dan keluarga yang diasosiasikan dengan rezim pro-Soviet,” tulis Magnus Marsden, profesor Antropologi Sosial dan direktur Pusat Asia di Universitas Sussex. “Hasilnya, banyak pejabat dari era tersebut meninggalkan Afganistan dan menjadi pedagang di area bekas Uni Soviet.”
Menurut Marsden, orang-orang Afganistan memelopori impor komoditas Tiongkok yang murah dan berkualitas rendah, mereka pergi ke kota Urumqi di Xinjiang dan membawa barang-barang yang mereka beli dengan truk menuju Moskow.
Gelombang kecil pengungsi Afganistan mulai datang ke Rusia setelah 2001. Berdasarkan laporan Reuters, komunitas Afganistan di Rusia diperkirakan berjumlah sekitar 150 ribu orang.
Moskow memiliki sebuah masjid, toko kue, bahkan stasiun televisi Afganistan. Dua gelombang imigran telah berbaur menjadi satu diaspora yang sepertinya tak akan kembali ke negaranya dalam waktu dekat.
“Uni Soviet diam-diam memberikan perlindungan terhadap segelintir warga dari negara lain, berharap suatu hari negara-negara itu akan memiliki rezim yang secara ideologi ramah terhadap Soviet di masa depan, hal yang sama yang dikejar oleh Barat,” kata Dudnik.
Sebagai penganut kuat sosialisme, Soekarno banyak terinspirasi oleh Uni Soviet. Lantas, seperti apa jejak pengaruh Soviet di ibu kota Indonesia? Simak selengkapnya!
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda