Penduduk Moskow berdemonstrasi di Lapangan Teatralnaya saat revolusi 1917.
RIA NovostiSaat revolusi Bolshevik terjadi pada tahun 1917, sekelompok kecil orang Rusia terjebak di Jepang. Kelompok tersebut terdiri dari teknisi militer dan staf Kedutaan Besar Kekaisaran Rusia.
Para teknisi tersebut datang ke Tokyo awal 1914, saat Jepang merupakan salah satu pemasok utama senjata dan amunisi ke tentara Rusia. Mereka melakukan pembelian senjata untuk Perang Dunia I serta berbagai jenis urusan administratif dan teknis.
Saat revolusi terjadi, kelompok tersebut terjebak dalam situasi dan putus komunikasi dengan Moskow. Mereka menolak mengakui Bolshevik, dan Kedubes Rusia beroperasi hingga 1925.
Salah satu orang di kedubes tersebut adalah Zoya Popova, diplomat wanita pertama dalam sejarah Rusia. Ia datang ke Tokyo pada 1916 setelah menyelesaikan pendidikan perguruan tingginya di Sankt Peterburg. Ia berpikir untuk pergi dari Jepang setelah revolusi, namun memilih untuk tetap di Tokyo setelah bertemu dan jatuh cinta dengan Mikhail, seorang teknisi militer. Mereka tidak jadi meninggalkan Jepang setelah Popova hamil.
Tahun 1922, Mikhail kembali ke Uni Soviet, di mana ia dieksekusi. Popova dan anak perempuannya tetap di Tokyo dan turut mengalami gempa bumi besar Kanto tahun 1923.
Menderita kelaparan dan menjadi pengangguran, Popova akhirnya mendapatkan pekerjaan di Kedubes AS. Ia menetap di Jepang hingga 1930-an saat peningkatan militerisme membuat kehidupan di sana sulit.
Popova dan anaknya kemudian bertolak ke Australia via Filipina. Setelah menghabiskan sebagian besar hidupnya di luar negeri, ia kembali ke Uni Soviet pada 1950-an.
Petr Podalko, sejarawan Rusia dengan spesialisasi diaspora Rusia dari Universitas Aoyama Gakuin, telah mkenulis secara rinci mengenai gelombang pengungsi dari Rusia ke Jepang setelah revolusi.
Dalam bukunya yang berjudul The Russian Community in Kobe: A Historical Overview (Komunitas Rusia di Kobe: Ringkasan Sejarah), Podalko menulis tentang tiga gelombang.
Gelombang pertama dimulai pada musim semi, saat sekitar 100 ribu tahanan (baik tahanan politik mau pun pelaku kriminal) dibebaskan karena Revolusi bulan Februari. Mereka meninggalkan Rusia dan mengungsi ke tempat lain.
Sebagian yang mendarat di Jepang memutuskan untuk tidak menetap di sana karena mereka takut akan perbedaan bahasa dan budaya. Pengungsi Rusia yang mampu berbahasa Eropa memutuskan untuk kembali membangun hidup mereka di Eropa, Amerika Utara, atau bahkan Australia.
Gelombang migrasi kedua terjadi segera setelah Revolusi Bolshevik. Namun begitu, data akurat mengenai jumlah pengungsi di gelombang ini tak tersedia. Para pengungsi mencoba menghindari pendaftaran resmi di Jepang, karena mereka takut pemerintah setempat dapat mengirim mereka kembali ke Rusia.
Seperti mereka yang dari gelombang pertama, para pengungsi ini hanya tinggal sementara di Jepang. Beberapa memilih mendaftar ke pemerintah sebagai ‘penumpang transit’ dan menunggu beberapa bulan sebelum berangkat ke AS, Australia, atau Tiongkok.
Harus diketahui bahwa Kekaisaran Rusia itu multinasional dan multietnik. Ini mempengaruhi pendaftaran pengungsi dari Rusia ke Jepang.
Podalko menulis dalam bukunya bahwa orang Polandia, yang sebelum revolusi merupakan bagian dari Rusia, terdaftar sebagai orang Polandia, bukan orang Rusia. Sejumlah besar Muslim Rusia mendaftar untuk tinggal di Jepang sebagai orang Turki. Inilah mengapa banyak kuburan Turki di Jepang. Yahudi mendaftarkan baik kewarganegaraan dan agama mereka ke pemerintah.
Imigrasi Jepang membeludak hingga pemerintah Jepang mengharuskan seluruh imigran untuk menunjukkan bukti dukungan keuangan. Dari Februari 1920, setiap orang asing yang datang, kecuali untuk transit, diwajibkan untuk menunjukkan uang tunai negara mereka masing-masing dengan nilai tukar 1,500 yen.
Dengan kekalahan Laksamana Alexander Kolchak dari Tentara Siberia (tentara antikomunis) pada 1920, serta kemenangan final para komunis di Timur Jauh Rusia pada 1922, Jepang kemudian menerima gelombang ketiga pengungsi Rusia.
Beberapa ribu pengungsi datang di gelombang ini, dan dalam waktu singkat Rusia menjadi etnik minoritas terbesar di Jepang. Mayoritas pengungsi ini terdiri dari petani Siberia atau mantan tentara yang loyal ke Kekaisaran Rusia.
Mereka tidak mampu berbahasa asing, namun mereka giat dan rajin. Yang memperlambat proses penetapan mereka di Jepang hanyalah cuaca musim panas di Jepang yang panas dan lembab serta keterbatasan berbahasa Jepang.
Banyak orang Rusia yang datang di gelombang ini menjadi terkenal di Jepang dan memperkenalkan budaya Rusia, beberapa diantaranya coklat dan balet.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda