Hubungan pemerintah Suriah dan oposisi semakin tidak stabil dalam beberapa bulan terakhir.
AFPDalam diskusi mengenai Suriah yang diadakan di Astana, Kazakhstan pada 3 – 4 Mei, Moskow dan mitranya mengajukan “daerah deeskalasi konflik” di Suriah, sebuah program yang akan dipantau oleh pihak penjaga perdamaian asing. Gencatan senjata di Suriah — andil Rusia, Turki, dan Iran — sedang tidak stabil dalam beberapa bulan terakhir. Untuk beberapa minggu, tentara pemerintah Suriah dan pihak oposisi terlibat perang dengan frekuensi yang meningkat. Situasinya semakin menegang setelah serangan kimia di Idlib pada 4 April yang mengorbankan 89 jiwa — di mana pemerintah dan oposisi saling menyalahkan.
Di putaran keempat diskusi di Astana, Rusia-Turki-Iran mengajukan peraturan yang sepenuhnya baru: penciptaan empat daerah deeskalasi, di mana penggunaan senjata jenis apa pun akan dilarang, infrastruktur akan diperbaiki, dan organisasi kemanusiaan akan turut membantu di sana. Garis demarkasi akan diletakkan di perbatasan untuk menghindari pertikaian. Selain itu, Kremlin juga menyatakan bahwa daerah-daerah deeskalasi ini juga akan menjadi zona larangan terbang.
Rusia-Turki-Iran menandatangani memorandum penciptaan zona deeskalasi ini pada 4 Mei. Perwakilan Presiden Suriah Bashar Assad mendukung inisiatif ini, sementara delegasi oposisi menentangnya — secara spesifik, mereka menentang peran Iran sebagai negara penanggung jawab gencatan senjata. Namun begitu, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan bahwa ia telah mendiskusikan ide ini dengan Presiden AS Donald Trump, yang turut setuju dengan inisiatif ini.
Sergei Balmasov, pengamat dari Dewan Hubungan Internasional Rusia dan akademisi ilmu Arab, percaya bahwa baik pemerintah Suriah mau pun oposisi tidak akan setuju pada praktik inisiatif ini dan akan melakukan segala cara untuk merusaknya. “Gagasan untuk menciptakan zona deeskalasi telah ada selama beberapa tahun. Tapi konflik tidak pernah selesai dan bentuk persetujuan apa pun akan dilanggar meski ada surat resmi,” ujarnya. Menurutnya, perang sipil di Suriah masih di tahap di mana kedua pihak belum siap berkompromi.
Di sisi lain, jika Rusia-Turki-Iran memberi tekanan yang cukup kuat, ditambah dukungan dari Washington dan negara-negara Teluk Persia, pihak eksternal akan mampu memberikan solusi terhadap Damaskus dan oposisi, demikian menurut Leonid Isaev, profesor senior di Departemen Ilmu Politik Sekolah Tinggi Ekonomi (HSE) di Msokow.
“Pihak eksternal yang harus menyetujui peraturan permainannya. Suriah tidak perlu ikut campur dan hal tersebut wajar karena mereka tidak pernah mampu menyetujui perjanjian selama sejak beberapa tahun. Inilah mengapa sekarang mereka harus setuju dengan apa yang pihak lain ajukan.”
Memorandum zona deeskalasi itu mencantumkan kemungkinan pengiriman pihak asing ke Suriah untuk menjaga garis demarkasi, namun tidak menerangkan lebih lanjut dari mana pihak itu akan datang. Dalam wawancaranya dengan Svobodnaya Pressa, Kirill Semenov selaku Direktur Pusat Kajian Islam Institut Pembangunan Inovatif mengatakan bahwa pihak asing itu dapat “negara-negara netral seperti Malaysia, Indonesia, dan negara Arab Maghrib”. Menurutnya, gencatan senjata harus dilakukan secara paksa tidak hanya untuk oposisi, tapi juga tentara pemerintah. Barulah ia bisa berhasil.
Upaya merealisasikan isi memorandum baru saja dimulai. Delegasi Rusia mengatakan bahwa perang di daerah-daerah deeskalasi akan dihentikan mulai 6 Mei mendatang, dan sementara itu mereka akan mendiskusikan garis demarkasi serta pekerjaan-pekerjaan lainnya. Jika program ini jadi terlaksana, Suriah akan terbagi menjadi dua: pemerintah mengendalikan beberapa daerah, sementara oposisi Suriah menduduki daerah lain. Di antara kedua pihak, akan ada pasukan penjaga perdamaian.
“Secara de facto, ini akan berujung pada pemisahan di Suriah, meski sebenarnya ia tak pernah bersatu lagi sejak beberapa tahun yang lalu,” ujar Balmasov. Ia menambahkan bahwa baik pemerintah Suriah mau pun oposisi tidak pernah membayangkan hidup bersama dengan damai, dan bahwa partisipasi mereka dalam diskusi di Jenewa dan Astana hanyalah formalitas. Ia menambahkan: “Suriah sebagai sebuah negara hanya ada di Google Maps, di kelas-kelas geografi, dan di papan nama di PBB. Namun kenyataannya negara tersebut sudah hancur.”
Di saat yang bersamaan, Isaev meragukan bahwa pihak yang menentang pemerintah Suriah, baik oposisi mau pun Kurdistan, benar-benar berpikir untuk menciptakan negara baru yang independen. “Ia akan menjadi negara yang gagal, karena tidak memiliki kemampuan untuk menjadi independen (dari Suriah),” ujar Isaev. Ia percaya bahwa ada kemungkinan Suriah akan memulihkan dirinya sebagai negara, namun hal tersebut masih belum akan terjadi dalam waktu dekat.
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda