Presiden AS Donald Trump di Ruang Oval Gedung Putih pada 21 April 2017.
APSebuah rilis dari Gedung Putih mengklaim bahwa salah satu pencapaian utama pemerintahan Presiden AS Donald Trump adalah keberhasilan mengucilkan Suriah dan Rusia di PBB melalui “diplomasi yang sukses dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping”.
Jack Goldstone, sosiolog, pengamat politik, dan profesor asal AS dari Universitas George Mason mengatakan kepada RBTH bahwa Trump mungkin mengacu pada Resolusi PBB tanggal 12 April yang menyatakan pertentangan mereka terhadap “penggunaan senjata Kimia oleh pemerintah Suriah” pada 4 April di Idlib. Resolusi yang dirancang Inggris, Perancis, dan AS itu diveto oleh Rusia.
Tiongkok abstain dalam pemungutan suara resolusi itu, sehingga AS merasa itu adalah pencapaian pribadi mereka, ujar Alexey Fenenko, profesor madya di Fakultas Politik Dunia di Universitas Negeri Moskow.
“Tentu saja, tidak ada yang mengucilkan Rusia,” kata Dmitry Polikanov, Wakil Presiden Pusat Penelitian Kebijakan (PIR), kepada RBTH. “Rusia adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan tidak ada satu pihak pun yang dapat memisahkannya, meski hal itu benar-benar diinginkan.”
“Selain itu, seluruh negara anggota (dewan keamanan) selalu berubah posisinya. Ini adalah proses yang dinamis dan fleksibel. Jadi, terlalu dini dan gegabah bila (AS) menganggap ‘pengisolasian’ sebagai sebuah pencapaian,” terang Polikanov.
Menurut Goldstone, resolusi tersebut di atas mungkin saja diinterpretasikan sebagai pengisolasian Rusia dan Suriah dari PBB, tapi kenyataannya itu merupakan langkah mundur dari perjanjian yang pernah ditandatangani pemerintahan AS di bawah Barack Obama terkait kooperasi Rusia dan AS dalam pencegahan penggunaan dan pembelian senjata kimia oleh Suriah.
“Trump meniti kariernya sebagai seorang pemeran sandiwara dan promotor diri sendiri,” kata Goldstone. “Pernyataan yang berlebih-lebihan mengenai sebuah pencapaian adalah hal yang normal untuk Trump, dan sekarang itu juga sudah menjadi hal yang lumrah di pemerintahannya.”
Politisi di Washington berpikir Moskow ingin menciptakan sebuah koalisi anti-AS untuk menghalangi hegemoni AS, sehingga mereka mendukung hilangnya bantuan sebuah negara terhadap Rusia, ujar Fenenko.
Pembuat kebijakan Amerika menganggap aliansi politik Rusia-Tiongkok sebagai penghalang utama AS dalam memperluas kekuatannya. Inilah mengapa Gedung Putih terus berusaha menghancurkannya.
“Salah satu tujuan utama serangan AS ke Suriah adalah untuk menghancurkan kepercayaan yang dibangun antara Moskow dan Beijing; supaya Rusia melihat bahwa Xi Jinping bertemu dengan Trump, dan tidak berpihak dengan Rusia dalam mengutuk Washington,” tutur Fenenko.
Namun aksi Trump belum menghasilkan dampak apa-apa ke hubungan Rusia-Tiongkok, yang terus berjalan dengan egoisme rendah kedua negara, ujar Goldstone.
“Trump sama sekali tidak sukses dalam diplomasinya dengan Tiongkok, dan Rusia juga tidak terisolasi sedikit pun,” Goldstone menambahkan. “Hubungan Suriah dengan Turki juga membaik, bersamaan dengan hubungan (Suriah) yang istimewa dengan Iran.”
Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda