Setelah Serangan di Suriah: Tiga Skenario yang Bisa Terjadi Antara Rusia-AS

AS telah merencanakan unjuk kekuatan terhadap tentara Suriah sejak 2013.

AS telah merencanakan unjuk kekuatan terhadap tentara Suriah sejak 2013.

Mikhail Voskresenskiy/RIA Novosti
Para pakar Rusia yakin bahwa serangan tak terduga dari AS ke landasan udara Suriah setelah presiden Suriah dituduh menggunakan senjata kimia akan berdampak serius ke hubungan Rusia-AS. Berikut beberapa skenario yang mungkin terjadi setelah serangan tersebut, dengan yang paling berbahaya adalah bentrok langsung antara tentara kedua negara.

Pakar Rusia menjabarkan tiga skenario situasi yang mungkin akan terjadi setelah serangan udara AS terhadap pemerintah Suriah yang dipimpin Bashar Assad.

Skenario 1: Konflik bersenjata antara Rusia dan AS

Pakar Rusia tidak memungkiri bahwa terhadap serangan AS di Suriah, respons Moskowakan berbentuk demonstrasi kekuatan militer. Dalam serangan AS lainnya, Rusia mungkin akan memutuskan untuk menembak jatuh misil jelajah AS, ujar Alexei Fenenko, pakar di Institut Permasalahan Keamanan Internasional RAS. Untuk saat ini Moskow akan menunjukkan peningkatan intensitas militernya di Suriah.

AS telah merencanakan unjuk kekuatan terhadap tentara Suriah sejak 2013, sehingga serangan yang diluncurkan Jumat dini hari dapat dilihat sebagai awal mula petualangan militer baru AS di luar negeri. Namun begitu, Fenenko mengatakan bahwa cepat atau lambat logika konfrontasi akan memaksa Rusia merespons dengan kekuatan.

Potensi bentrok antara kedua kekuatan besar bukan berarti bencana nuklir global. Ia mungkin lebih mirip dengan Perang Sipil Spanyol yang terjadi pada tahun 1936 hingga 1939, ketika aviasi Soviet bertempur dengan tentara fasis Italian dan tentara Nazi Jerman tanpa ada deklarasi perang yang resmi.

Di saat yang bersamaan, kita tidak dapat memungkiri bahwa senjata nuklir bisa saja digunakan di perang proksi ini. Fenenko memperingatkan bahwa militer kedua negara memperbolehkan diri mereka untuk menggunakan senjata nuklir taktis.

Skenario 2: Sempoyongan di pinggir lubang

Para pakar mengatakan bahwa AS menyerang tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Rusia, dan tidak memperhitungkan bagaimana serangan itu dapat mempengaruhi situasi di Suriah dan hubungan Moskow-Washington di masa depan. Pakar hubungan internasional di Sekolah Tinggi Ekonomi Rusia, Dmitri Suslov, mengatakan serangan ini mengartikan bahwa Presiden AS Donald Trump akan “mengimplementasikan kebijakan unilateralisme yang keras dengan menggunakan kekuatan militer tanpa memedulikan hukum internasional, dan pada dasarnya ini versi ringan dari pemerintahan George Bush Jr.”

Setelah mengubah pendekatannya terhadap Assad hanya dalam waktu singkat, Washington sekali lagi akan berupaya membuatnya turun dari jabatannya. Namun Rusia tidak akan menyerahkan aliansinya itu dan akan meningkatkan kehadiran militernya di Suriah. Sebaliknya, AS juga tidak akan mundur karena tujuan Trump saat ini adalah “tidak terlihat lemah, dan mendemonstrasikan kekuatan”.

Dalam situasi seperti itu, sangat mungkin terjadi eskalasi militer-politik yang serius dalam hubungan Rusia-AS. Suslov mengatakan bahwa situasi ini dapat menjadi “pengulangan tensi” yang terjadi saat Krisis Rudal Kuba, ketika 55 tahun yang lalu kedua negara hampir terlibat perang setelah Uni Soviet mengerahkan misil ke Kuba. Namun, saat itu, perang dapat dihindari saat Moskow menarik misilnya dari Kuba dan Washington menarik misilnya dari Turki.

Skenario 3: Solusi diplomatik

Namun demikian, tidak semua pakar percaya bahwa Rusia mempersiapkan respons militer terhadap AS di Suriah. Alexander Konovalov, Presiden Institut Evaluasi Strategis, berpendapat bahwa Moskow akan membatasi tindakannya sampai apa yang ia sudah lakukan: penangguhan nota kesepahaman (MoU) dengan militer AS terkait keselamatan penerbangan di langit Suriah. Rusia tidak akan mengekspansi militernya di Suriah karena “AS tidak memulai perang di Suriah, tapi, seperti yang mereka bilang, mengadakan operasi tunggal”, kata Konovalov.

Dalam situasi apa pun, Rusia akan mengajukan banding ke institusi-institusi internasional, mengangkat isu agresi AS terhadap Suriah di Dewan Keamanan PBB, dan berdiskusi dengan Washington mengenai investigasi penggunaan senjata kimia di Suriah. Namun begitu, pertanyaannya tetap sama: bagaimana AS akan merespons tindakan Rusia ini?

Vladimir Sotnikov dari Institut Studi Timur Tengah RAS berkata bahwa hubungan kedua negara akan bergantung pada kunjungan Menlu AS Rex Tillerson ke Moskow dalam waktu dekat. Ia akan memiliki “misi yang sensitif”.

“Di satu sisi, Tillerson harus menjelaskan keputusan Trump (untuk mengadakan serangan udara di Suriah), sedangkan di sisi lain ia harus menjaga hubungan dengan Moskow,” ujarnya. Menurut Sotnikov, AS membutuhkan Rusia untuk mengatasi krisis Suriah. Washington harus mencari kesamaan pandangan dengan Moskow di Suriah.

Ketika mengambil atau mengutip segala materi dari Russia Beyond, mohon masukkan tautan ke artikel asli.

Situs ini menggunakan kuki. Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.

Terima kuki