Para jurnalis termasuk berada dalam deretan penumpang pesawat Tu-154 yang hendak menuju Latakia, Suriah.
Maxim Blinov/RIA NovostiSebuah pesawat Tu-154 milik Kementerian Pertahanan Rusia tujuan Suriah jatuh ke Laut Hitam pada Minggu (25/12) pagi, hanya beberapa kilometer dari lepas pantai dekat Sochi.
Laporan terkait jumlah dan identitas penumpang pesawat masih bervariasi. Namun, telah dikonfirmasi bahwa para penumpang yang berada dalam pesawat itu termasuk 68 anggota Ansambel Alexandrov yang terkenal, sembilan orang wartawan, dan delapan awak pesawat. Kementerian Situasi Darurat Rusia dan tim SAR setidaknya telah menemukan sepuluh jasad korban kecelakaan.
Presiden Rusia Vladimir Putin telah menginstruksikan Perdana Menteri Dmitry Medvedev untuk membentuk sebuah komisi negara dan menyelidiki persitiwa nahas ini di bawah kendalinya.
Menurut laporan media Rusia, insiden itu terjadi saat pesawat sedang naik menuju ketinggian. Namun, awak pesawat sama sekali tak mengirimkan sinyal mara bahaya apa pun.
Kementerian Situasi Darurat dan para pakar dari Komite Investigasi kini tengah bekerja di lokasi kejadian. Mereka telah mendapatkan segala dokumen yang berkaitan dengan penerbangan dan sekarang sedang menginterogasi pejabat-pejabat terkait dan staf teknis bandara.
Mereka melihat tiga teori yang mungkin telah menyebabkan kecelakaan itu.
Menurut Kepala Asosiasi Penerbangan Sipil Aeroflot Viktor Gorbachev, pesawat mungkin telah mengalami kekurangan pasokan daya selama penerbangan.
"Pasti ada sesuatu yang salah dengan mesin. Kita masih belum tahu dan sulit untuk berspekulasi: apakah itu berhubungan dengan bahan bakar atau kegagalan mesin. Lepas landas memang, tentu saja, periode yang paling sulit. Pesawat (bisa jadi) tidak memiliki daya atau kecepatan yang memadai dan jatuh berputar-putar," kata sang ahli.
Tu-154 diproduksi pada 1984, diperbaiki pada Desember 2014, dan menjalani proses pemeliharaan rutin pada September 2016. Namun menurut Gorbachev, usia tua pesawat ini tidak menjadi masalah.
"Ada pesawat di seluruh dunia yang usianya 30, 50, bahkan 60 tahun lebih tua dan masih beroperasi. Dalam hal ini, itu tidak menjadi masalah. Pesawat itu layak terbang, ia memenuhi semua persyaratan," tambah sang ahli.
Namun, tidak semua analis sependapat. Seorang pakar militer TASS dan sekaligus pensiunan kolonel Viktor Litovkin menunjukkan bahwa armada pesawat sipil milik Kementerian Pertahanan Rusia tidak dalam kondisi terbaik — berbeda dengan pesawat tempur yang terawat dengan baik.
"Sebagian besar pesawat sipil Kementerian Pertahanan Rusia adalah Tu-154 buatan Soviet. Karena industri pembuatan pesawat terbang hampir hancur pada 1990-an, tidak ada pesawat angkut militer atau pesawat penumpang baru yang diproduksi selama bertahun-tahun," kata sang ahli.
Menurut Litovkin, Kementerian Pertahanan Rusia tidak ingin membeli pesawat sipil buatan luar negeri. Namun di sisi lain, mereka tidak punya pengganti Tu-154.
"Setelah segala pemeriksaan yang dibutuhkan tim investigasi selesai, pihak militer akan kembali menggunakan pesawat ini," kata Litovkin.
Kapten Tu-154, Roman Volkov, adalah seorang pilot kelas satu dengan lebih dari 3.000 jam terbang, kata Kementerian Pertahanan Rusia.
"Para awak pesawat juga merupakan awak-awak yang paling berpengalaman. Mereka telah beberapa kali menerbangkan pesawat yang sama, memimpin pengiriman Su-30, Su-35, dan Su-24 ke Pangkalan Udara Hmeimim," terang seorang narasumber di lembaga penegak keamanan dan hukum kepada surat kabar Izvestia.
Namun, para analis mengatakan, penyelidikan kecelakaan ini juga akan mempertimbangkan kemungkinan faktor kesalahan manusia.
"Tidak ada teori yang dikesampingkan, mulai dari bahan bakar berkualitas rendah hingga serangan teroris, termasuk faktor kesalahan pilot, yang menyebabkan pesawat jatuh berputar-putar akibat naik menuju ketinggian terlalu cepat dan membuat belokan yang terlalu tajam," kata Litovkin.
Beberapa ahli mengindikasikan kemiripan antara kecelakaan Tu-154 dan meledaknya pesawat penumpang Airbus 321-231 dalam perjalanan dari Sharm-el-Sheikh, Mesir, ke Sankt Peterburg pada 30 Oktober 2015.
Pada tragedi di Mesir tahun lalu, para teroris telah menanam bom di bagian ekor pesawat yang merupakan bagasi barang-barang besar. Sekitar 20 menit setelah lepas landas, pesawat meledak, dan jatuh dari ketinggian beberapa ribu meter.
Pada kasus Tu-154. kecelakaan terjadi hanya tujuh menit setelah pesawat lepas landas.
"Kondisi cuaca sangat baik. Jika ada masalah dengan pesawat, misalnya dengan mesin, pesawat seharusnya bisa berbalik arah dan kembali mendarat di lapangan terbang, atau bisa juga mendarat di lepas pantai. Padahal dalam kasus ini, pesawat jatuh begitu saja, seperti ada keadaan darurat di pesawat, ketika ada sesuatu yang meledak atau sesuatu terlepas dari badan pesawat. Berdasarkan peraturan, hanya bagian ekor yang bisa lepas pada pesawat-pesawat semacam ini," kata instruktur penerbangan Mayor Andrei Krasnoperov kepada stasiun radio Kommersant FM.
Dalam situasi lainnya, lanjut Krasnoperov, pilot bisa menginformasikan pengontrol lalu lintas atas kerusakan di dalam pesawat dan mengirim sinyal mara bahaya. Namun dalam kasus Tu-154, itu tidak terjadi.
"Ini berarti ada sesuatu yang tiba-tiba dan diharapkan terjadi pada tujuh menit pertama penerbangan. Jadi, saya tidak bisa menyalahkan kru, dan ketika ada masalah teknis, jarang sekali hal itu terjadi begitu tiba-tiba. [...] Mereka bahkan menemukan seorang pria dekat pantai yang terluka akibat pecahan badan pesawat. Ini menunjukkan bahwa fragmen pesawat itu tersebar sedemikian rupa saat mereka terjatuh, dan menunjukkan bahwa pesawat meledak di udara.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda