Kesuksesan Donald Trump menandai berakhirnya sebuah era dan perubahan dalam politik global. Hal ini adalah perubahan yang akan menentukan banyak hal, termasuk apa yang akan terjadi antara Rusia dan Amerika Serikat.
IorshKemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden AS membuat semua orang kelengar. Namun Rusia, sebaliknya, malah bergembira. Hal ini dapat dimengerti karena dalam kampanye pilpres, pihak Demokrat sendiri sering menyatakan bahwa kemenangan Trump akan menjadi kemenangan bagi Putin.
Namun, prospek sesungguhnya — baik dalam hubungan bilateral (yang secara konsisten bergerak sepanjang kurva yang sama dari peningkatan ketegangan ke pengenduran dan kembali menegang) maupun konteks global secara keseluruhan — belum terungkap.
Kesuksesan Donald Trump menandai berakhirnya sebuah era dan perubahan dalam politik global. Hal ini adalah perubahan yang akan menentukan banyak hal, termasuk apa yang akan terjadi antara Rusia dan Amerika Serikat.
Kemenangan elektoral Trump secara politik setara dengan jatuhnya Lehman Brothers (bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat) pada September 2008.
Pendapat umum saat itu ialah bahwa kebangkrutan Lehman Brothers tak mungkin terjadi karena hal itu secara prinsip mustahil. Krisis keuangan global yang terjadi akibat hal itu menciptakan hitungan mundur bagi globalisasi neoliberal yang mulai menguap dengan berakhirnya komunisme dan runtuhnya Uni Soviet. Peningkatan peran negara, nasionalisasi kerugian pasar demi mendukung stabilitas secara keseluruhan, pertumbuhan (meski tak dramatis pada awalnya) dalam proteksionisme — semua ini mengubah tren ke arah yang lain, ke arah yang berlawanan dengan liberalisasi lebih lanjut perekonomian dunia.
Tren ekonomi, yang terus menguat, mengikuti tren politik. Atau, terdapat perubahan dalam sikap politik negara-negara terkemuka, terutama AS dan Eropa, tapi mereka tertutupi oleh peningkatan retorika sebelumnya, tipikal tahun-tahun puncak pada tatanan dunia liberal.
Contoh yang paling mencolok adalah Barack Obama. Ia memenangkan pemilu presiden pada November 2008, dengan kata lain pada puncak krisis keuangan, dan ia menyadari lebih baik daripada orang-orang sebangsanya bahwa dunia sedang mengalami perubahan radikal dan Amerika tak bisa terus bersikap seperti sebelumnya. Dominasi menjadi sebuah hal di masa lalu dan pendekatan baru dibutuhkan. Namun, Obama gagal mengubah pemahaman ini menjadi strategi yang efektif, dan aspek kebijakan luar negeri dalam pemerintahannya malah terbilang aneh.
Dampaknya, kebijakan Obama ialah pendekatan yang sangat hati-hati untuk menghindari risiko besar, realisasi bahwa Amerika harus berurusan dengan sungguh-sungguh dalam masalah domestik, bahwa ia tak bisa ada di mana-mana dan mampu melakukan segalanya. Namun, Obama juga tidak atau tak bisa menyatakannya dengan keras. Kemudian, tantangan sesungguhnya dikompensasi dengan mengangkat retorika tentang eksklusivitas Amerika dan penilaian masyarakat mengenai negara dan pemimpin negara lain, dan presiden Rusia menjadi salah satu subjek paling digemari untuk dibicarakan.
Pada akhirnya, semua pihak kecewa: baik pendukung setia maupun oposisi Obama. Hal yang paling penting, seluruh dunia merasa bahwa Amerika tak tahu apa yang mereka inginkan dan tak lagi jelas apakah ia bisa diandalkan.
Akibatnya, Obama mulai merombak kewajiban global AS, mengeluarkan hal yang sebaliknya secara publik. Trump secara terbuka menyatakan hal-hal yang tak berani disampaikan Obama: AS hendak fokus pada kepentingannya sendiri dan tak ingin terus menanggung beban sebagai bos dunia.
Trump memberi perhatian khusus pada pengertian mengenai harga diri dan kehormatan (dalam semangat intepretasi klasik hubungan internasional), sehingga penggunaan kekuatan tak sepenuhnya dicoret. Namun untuk alasan ideologis, ide ‘penyesuaian’ militer negara-negara lain demi menciptakan model politik tertentu sungguh asing bagi sang presiden terpilih.
Ide ‘kehebatan’ (slogan sang presiden terpilih adalah “Menjadikan Amerika Kembali Berjaya”) dalam pengertiannya tak sesuai dengan kepemimpinan global.
Hal ini lebih bersifat simbolis, bahwa Trump mengalahkan Clinton: nama yang diasosiasikan dengan perkembangan dominasi global Amerika pasca-1992. Dengan kata lain, sama seperti Lehman Brothers delapan tahun lalu, hal yang terlihat seperti konsep yang tak bisa tenggelam ternyata berakhir di saluran pembuangan.
Era Clinton-Bush, di luar semua antagonisme mereka, membentuk sebuah periode — pembangunan dan kebangkitan AS sebagai polisi global tunggal, yang berhak mencampuri semua urusan demi menciptakan tatanan global. Ini adalah hasil dari kemenangan Washington dalam Perang Dingin yang tak disangka-sangka. Kemenangan tersebut juga sangat mudah pada akhirnya dan menciptakan perasaan bahwa kini semuanya menjadi mungkin.
Era Obama-Trump — tak peduli seberapa lama ini akan berlangsung — adalah kembali ke ekspresi kepentingan nasional yang lebih moderat, pemahaman mengenai ‘kekaisaran yang terlalu melelahkan’, dan membawa cangkang politik dan retorika sejalan dengan tren ekonomi.
Untuk penguasa Gedung Putih di masa depan, kehebatan adalah sesuatu yang mirip dengan ‘keegoisan luar biasa’.
Amerika menghadapi masalah domestiknya sendiri. Amerika pun menunjukkan pada semua pihak bagaimana menyelesaikan isu-isu dalam negeri. Ia mendemonstrasikan bahwa ia sungguh layak mencampuri urusan negara-negara lain di dunia hanya untuk mengingatkan orang-orang siapa yang paling kuat dan siapa yang mampu mencegah munculnya musuh sistemik. Fokus utamanya ialah sesuatu yang mirip dengan ‘Kesepakatan Baru’ F.D. Roosevelt (beberapa program domestik yang diberlakukan di Amerika Serikat pada periode 1933 hingga 1936, dan beberapa waktu setelahnya -red.), tapi tentu sesuai dengan penerapan kondisi abad ke-21: pembentukan infrastruktur skala besar di AS, meningkatkan permintaan, kembalinya produksi industri dan lapangan pekerjaan. Semua ini jauh dari standar ideal global dalam periode sebelumnya.
Apa makna keputusan AS untuk menyerahkan intervensionisme asing ekstrem yang mereka terapkan pada 1990-an dan 2000-an bagi seluruh dunia? Tak peduli seberapa besar kritik muncul, selama lebih dari dua dekade, semua orang sudah terbiasa dengan hegemoni Washington (tapi bukan berarti menerimanya). Sehingga, kini muncul kebingungan di mana-mana: di Eropa (depresi mendalam), di Asia (kurangnya pemahaman).
Moskow harus bersiap menghadapi Trump, yang merupakan seorang pragmatik, untuk mencoba, dan menyalahkan semua masalah pada pendahulunya, menyeret Rusia ke era baru AS pada arena global.
Hal ini terutama mengkhawatirkan bagi Tiongkok dan proposal untuk ‘pergi’ dari Beijing sebagai ganti atas beberapa konsesi dari pihak Amerika.
Hal ini tidak boleh terjadi karena di luar dunia Barat, Rusia sudah punya reputasi sebagai mitra yang siap mendesak AS, mengabaikan pihak lain, sewaktu Washington mengundangnya. Dalam beberapa tahun terakhir, reputasi ini perlahan tergantikan dengan gambaran yang lebih jelas, tapi dapat dengan mudah dihancurkan.
Jebakan lain adalah Timur Tengah. Rencana ideal Trump adalah melupakan wilayah tersebut sebagai mimpi buruk. Tak mungkin hal itu menjadi kenyataan, tapi jelas akan ada penurunan drastis kepentingan dan kesiapan secara tak terhindarkan, bahkan untuk menyerahkan kawasan itu pada Rusia. Lagi pula, Amerika sangatlah jauh, sedangkan pemain regional sepertinya cukup siap melihat Rusia sebagai reinkarnasi Uni Soviet, yang memiliki kehadiran sistemik di Timur Tengah.
Beban ini bisa ditanggung, tapi tak jelas apa yang perlu dilakukan dengan realitas yang tak padu.
Uni Soviet setidaknya punya jantung ideologi: ideologi membentuk struktur, entah benar atau salah, yang diajukan pada para mitra. Kini tak ada hal semacam itu.
Ancaman dari cobaan terbesar datang dari Eropa, sumber inspirasi abadi dan kompleks Rusia. Trump memiliki ketertarikan jauh lebih kecil terhadap Dunia Lama dibanding pendahulunya. Selain itu, bagi seorang politikus yang berorientasi pada serangan fenomena Eropa modern, yang saat ini seperti negara yang hancur-lebur, tentu tak bisa dimengerti.
Eropa sendiri sedikit panik atas fenomena Trump. Konstruksi Uni Eropa berada dalam periode penurunan, sehingga Rusia bisa kembali memutuskan untuk ambil bagian, memulihkan beberapa posisinya yang hilang. Ini adalah tren yang menguntungkan: belu lama ini, dalam pemilu presiden di Moldova dan Bulgaria, politisi yang menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan Rusia menang.
Namun, sejarah Rusia menunjukkan bahwa tiap kali Rusia masuk ke dalam hubungan Eropa dan berharap dapat menjadi salah satu pihak yang memutuskan nasib benua Eropa, itu berakhir buruk: mereka terseret dalam perang, berakhir dengan upaya yang terlalu keras dan kekalahan. Dan terganggu untuk menyelesaikan masalah pengembangan yang selanjutnya.
Peristiwa selama beberapa tahun terakhir membuat Rusia mulai mendiversifikasi kebijakannya, mulai dengan beralih ke Asia dan meluruhkan obsesinya terhadap Barat selama 200 tahun terakhir. Selain itu, ketidakpastian di Asia, yang saat ini berkaitan dengan faktor Amerika, membuka kesempatan baru bagi Rusia, membuatnya menjadi mitra yang lebih menarik. Di sanalah Rusia perlu menjejakkan langkahnya, dibanding di Eropa Timur.
Kehadiran para miliarder nonkonvensional menggambarkan garis di bawah dunia yang Amerika-sentris, yang di situ Moskow gagal untuk menemukan tempat yang jelas bagi dirinya sendiri. Sama seperti kegagalan menduduki slot dalam ‘Eropa yang Besar’ — selalu tak cukup tempat baginya di sana. Rusia terlalu lemah untuk mengklaim peran sebagai lawan sistemik AS, tapi ia menolak untuk ditempatkan pada posisi yang lebih rendah. Kegagalan inilah yang sesuai dengan semua format yang diajukan, yang memicu krisis akut pada pertengahan 2010-an.
Jika AS menurunkan ambisinya, atau mengubahnya menjadi ambisi domestik, Rusia secara efektif akan mendapatkan apa yang diinginkan: sistem internasional dengan opsi yang jauh lebih banyak, yang tak bermain dengan aturan yang sebelumnya diadopsi tanpa keterlibatan Rusia. Dengan demikian, masih perlu dilihat bagaimana peraturan permainan baru ini dan apakah Rusia punya cukup kartu truf untuk itu.
Artikel ini tidak merefleksikan opini resmi RBTH.
Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Rusia oleh Gazeta.ru.
Hak cipta milik Rossiyskaya Gazeta.
Berlanggananlah
dengan newsletter kami!
Dapatkan cerita terbaik minggu ini langsung ke email Anda